Praktik Licik Bisnis Karya Seni

Bisnis Karya Seni
foto ilustrasi

Puluhan mobil tampak terparkir rapi di halaman sebuah balai lelang di kawasan Jakarta Selatan. Hari sudah beranjak siang ketika para pemilik kendaraan tersebut memasuki pintu utama gedung bercat putih itu.

Meski rata-rata mengenakan baju kasual, namun  gaya orang berkantong tebal tetap saja tersirat dari mereka. Yang laki-laki menenteng tas kulit yang dicanglongkan  di pundaknya sembari menyelipkan pipa rokok di mulutnya. Sementara yang perempuan, beberapa di antaranya yang mengenakan  longdress sebatas mata kaki, berkacamata hitam, sembari menyelipkan dompet berukuran agak besar di ketiaknya.

Siang itu, balai lelang tersebut tengah mengadakan lelang beberapa karya lukisan. Karya siapa gerangan yang akan dilelang? Beberapa di antaranya ada hasil karya para maestro seni rupa seperti Basuki Abdullah dan Affandi. Namun ada juga karya beberapa pelukis yang tak dikenal publik.

Jarum jam dinding di ruang lelang menunjuk pada angka 10. Petugas balai lelang masih terlihat sibuk mempersiapkan acara. Beberapa menit kemudian, pemandu lelang tampil di depan dan menyampaikan pengumuman bahwa acara lelang segara dimulai.

Baca juga : Pesta Kesenian Bali 2019 & ‘The Gang Of Three

Puluhan orang yang hadir duduk di kursi deret di ruang utama lelang. Mereka adalah para calon pembeli lukisan yang akan dilelang. Suasana sedikit hening saat pemandu lelang membacakan aturan main lelang. Begitu palu diketuk pemandu lelang, suasana berubah ramai. Tawar-menawar dengan harga lebih tinggi mencuat silih berganti.

Hanya dalam hitungan tak lebih dari satu jam dua lukisan para maestro sudah laku terjual dengan harga ratusan juta rupiah. Berikutnya, pemandu lelang menawarkan sebuah lukisan berukuran 2 x 1,5 m. Nama pelukisanya tak  begitu dikenal.

Berbeda ketika orang menyebut nama Affandi atau Basuki Abdullah yang langsung akrab di telinga. Tapi siapa nyana, lukisan karya pelukis yang satu ini justru membuat ruang lelang gegap gempita.

Setidaknya ada tujuh orang calon pembeli secara bergantian menawar (dengan semangat) dengan harga lebih tinggi. Akhirnya karya lukis itu terjual dengan nilai Rp 250 juta.

Nah, “pemenangnya”adalah perempuan berkacamata hitam dengan tas kecil di tangannya. Ia tampak puas dengan kemenangannya dan langsung mendapat ucapan selamat dari sang pemandu lelang serta beberapa peserta lelang lainnya.

Di pojok ruang lelang, beberapa merupakan para seniman, tapi bukan pelukis dari karya yang dilelangkan hari itu. “Wah, ini benar-benar ‘digoreng’!” itulah ucapan yang Matranews dengar saat mendekati kerumunan seniman ini.

“Digoreng”? Ya, yang baru saja terjadi di balai lelang itu adalah praktek mendongkrak harga sebuah lukisan sampai pada angka yang tak masuk akal.

Permainan Pedagang

Istilahnya, ya “digoreng” itu tadi.  Menurut Sri Warso Wahono, seniman senior, praktek seperti ini sudah lama terjadi di jagat seni rupa di Indonesia. Dengan “digoreng” melalui proses lelang, karya sebuah lukisan yang lazimnya dihargai Rp15 juta, bisa melambung menjadi ratusan juta.

“Ini bagian dari mafia bisnis yang dilakukan oleh para pedagang lukisan,” ujar Warso kepada Matranews. Menurut Warso, sebenarnya balai lelang tidaklah jahat. Lembaga ini hanya memetik komisi sekitar 30% dari harga lukisan yang terjual dalam lelang.

Komisi ini dianggap wajar karena balai lelang juga perlu dana operasional. Tiga bulan sebelum lelang, balai biasanya menerbitkan katalog berisi beberapa karya lukisan yang akan dilelang.

Katalog ini didistribusikan ke para kolektor atau pecinta seni. Adapun setiap seniman yang masuk katalog itu harus membayar ongkos “pasang iklannya” sekitar Rp 5 juta per orang.  Biaya yang dikeluarkan oleh peserta lelang ini akan tertutupi jika lukisannya laku terjual dalam lelang.

Aturan Peserta Lelang

Lantas bagaimana jika lukisannya tak laku jual? Sesuai aturan, peserta lelang harus membayar Rp 6 juta kepada balai lelang sebagai tanda kesertaannya. Dan, tentunya, itu dianggap sebagai kerugian bagi sang seniman.

Untuk menghindari kerugian ini, biasanya, seniman mencari partner yang bisa menjadi “bos” untuk membayari kebutuhan dana tadi. Orang yang dimaksud “bos” ini adalah pedagang lukisan.

Nah, si “bos” inilah yang kemudian memainkan peran “menggoreng” karya seniman tersebut. Dialah yang kemudian menghimpun beberapa orang lain untuk menjadi bagian “tim”nya selama proses lelang berlangsung. Tugas tim ini adalah sebagai pembeli lukisan yang dilelang. Sang bos akan mengatur skenario kerja tim tadi.

“Begitu pemandu lelang mengetukkan palu dan menawarkan harga untuk lukisan yang dimaksud, orang-orang anggota tim tadi seolaholah saling bersaing menyanggupi harga yang lebih tinggi,” papar Warso.

Misalnya, pemandu lelang membuka dengan harga Rp 50 juta, orang  pertama dari tim tadi akan menawar Rp 60 juta. Selanjutnya, orang kedua dari tim itu akan menawar Rp 10 juta lebih tinggi dari penawar pertama. Begitu seterusnya tawar-menawar dilakukan bergantian oleh orang-orang dari tim yang sudah  diskenariokan.

Tim ini pula yang mengkondisikan agar suasana tawar-menawar jadi gegap gempita. Targetnya, agar calon pembeli lain di luar tim itu bisa terpancing untuk menawar

dengan harga lebih tinggi Jika selama proses tawar menawar tu tiba-tiba ada kolektor atau pembeli sesungguhnya (orang di luar tim tadi) berani ikut menawar, maka orang-orang dalam tim akan berhenti melakukan penawaran.

“Jika sudah demikian, berarti proses goreng menggoreng berhasil, karena sudah ada yang kena ‘patuk’, yaitu kolektor sungguhan yang membeli tadi,” ujar Warso.

Itulah salah satu cara praktik culas dalam bisnis karya seni. Cara yang tak patut ini tak hanya mencoreng dunia seni, tapi banyak pihak yang dirugikan. Khususnya adalah para pecinta seni yang membeli dengan harga tak masuk akal. (A. Kholis)

 

Tinggalkan Balasan