MATRANEWS.id — Berguru kepada Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam berbangsa dan bernegara.
Saat tulisan ini berada di hadapan Anda, saya berharap anda dalam keadaan baik dan tenang.
Kemungkinan besar, kita masih sedang mengkarantina diri di rumah, atau beraktifitas diluar rumah tetapi tetap menjaga social distanching.
Kita memang masih dalam situasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB merupakan keputusan yang diambil presiden dalam menghadapi wabah Covid-19.
Sudah lebih sebulan lalu covid-19 mengobrak-abrik perasaan kita, bangsa Indonesia. Rasa aman dan rasa saling percaya seolah rontok dalam sekejap.
Luka akibat Pilpres 2019 yang sudah mulai sembuh, seperti teriris kembali.
Covid-19, ternyata tidak hanya sekedar virus yang menginveksi tubuh, tetapi juga perasaan dan batiniah kita.
Tulisan ini, tidak akan mengupas tentang covid-19. Selain bukan ahli di bidang itu, informasi tentang hal tersebut telah cukup banyak.
Saya hanya akan fokus pada satu titik: bagaimana kita membangun pola pikir, pola sikap dan pola tindak dalam menghadapi setiap persoalan bersama yang datang.
Hal ini penting, sebab seringkali sikap kita dalam menghadapi masalah justeru jauh lebih berbahaya ketimbang masalahnya itu sendiri.
Dalam situasi perang memghadapi covid-19 ini saya tertarik kepada sikap dan tindakan yang dilakukan oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra (Yim), seorang “Begawan Hukum Indonesia”.
Sejak sekira dua bulan lalu ketika tersebar berita tentang adanya serangan virus corona di berbagai negara, sepanjang pengamatan saya, Yim adalah tokoh yang paling produktif melalui tulisan-tulisannya menyampaikan pemikiran, pandangan, saran, masukan bahkan kritik kepada pemerintah selaku pengambil kebijakan.
Dan, dalam setiap kali menyampaikan pandangan dan kritiknya, Yim selalu memberikan alternatif solusi.
Hampir setiap hari kita membaca pandangan-pandangannya di media. Mulai dari pemikirannya yang filosofis dan religius, hingga saran-saran taktis dan kritik-kritik keras, santun dan solutif.
Saya — dan kita — paham dengan cara yang ditempuhnya. Semua karena rasa cinta kepada bangsa dan negara yang sedang menghadapi bahaya.
Posisinya yang sedang di luar lingkar kekuasaan menjadi tidak mudah mengungkapkan rasa cinta kepada bangsa dan negara.
Setiap hari ruang publik seolah dipenuhi oleh pikiran-pukiran dan pandangannya. Berhari-hari, berminggu-minggu.
Teriakannya berhenti pada 1 April 2020. Ya, saat itu Presiden Joko Widodo telah mengambil keputusan dalam menghadapi wabah Covid-19: Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Jalan yang diputuskan presiden berbeda dengan yang diteriakkan Yim. Yim lebih merekomendasi Lockdown atau Karantina Wilayah, akan tetapi Presiden memilih PSBB. Walaupun mengandung kesamaan, tetapi sangat jauh berbeda.
Apakah Yim kecewa?
Mungkin iya. Tapi apakah Yim marah? Tidak sama sekali. Justru Yim hari itu mengakhiri berondongan tulisan-tulisannya.
Tulisan terakhir Yim setelah presiden mengumumkan keputusannya, berjudul “BISAKAH PSBB MENGHADAPI VIRUS CORONA?”. Setelah itu Yim tidak menuliskan (mempublikasikan) lagi pemikiran-pemikirannya.
Hanya, pada alinea terakhir tulisan terakhirnya tersebut Yim menulis, “Karena itu selama masa penerapan PSBB ini, saya sarankan agar Pemerintah mulai bersiap-siap menghadapi risiko terburuk.”
“Kalau akhirnya tidak punya pilihan lain menghadapi wabah virus Corona, kecuali memilih menerapkan Karantina Wilayah, jika pandemi ini ternyata tidak mampu dihadapi dengan PSBB”.
Kalimat tersebut berupa warning sekaligus jalan menuju solusi. Dan sampai hari ini, kita belum membaca lagi tulisan Yim terkait hal tersebut.
Lalu dimana letak pelajaran berharganya? Ialah pada cara yang ditempuh dan sikap yang diambilnya.
Selama Presiden Jokowi sebagai pemimpin belum memgambil keputusan, Yim sekuat tenaga dan pikiran menyampaikan semua hal yang dianggap benar dan baik.
Tak peduli dia dipuji atau dimaki. Tetapi ketika presiden telah mengambil keputusan, walaupun hal itu tidak sesuai dengan pemikirannya, Yim diam.
Keputusan pemimpin negara harus dihargai dan dihormati. Jangan dirongrong. Harus didukung. Setidaknya, diam. Inilah pelajaran yang sangat tinggi nilainya dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara.
Saya yakin hari ini Yim adalah orang yang paling tenang dan lega. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin.
Bebannya telah ditumpahkan. Tugasnya telah ditunaikan. Usahanya telah dijalankan. Tinggal bertawakkal kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tentu Yim tidak lantas berleha-leha. Pikiran dan hatinya pasti terus diperas untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi beberapa waktu kedepan. Hari-hari pasti diamatinya dengan cermat.
Seandainya kita mampu meniru sikap dan caranya dalam berbangsa dan bernegara, sepertinya bangsa ini akan lebih cepat dewasa. Saya merasa kita memang patut berguru kepadanya, Sang Negarawan Sejati.