Sensasi Berlebihan PN Jakpus, Itu Kata Mahfud MD

Sensasi Berlebihan PN Jakpus, Itu Kata Mahfud MD

Mahfud MD Tentang Sensasi Berlebihan PN Jakpus

Prof. Dr. H. Mahfud Mahmodin, pria kelahiran 13 Mei 1957 yang lebih dikenal dengan nama Mahfud MD merupakan seorang politisi, akademisi dan hakim berkebangsaan Indonesia.

Dia saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Maju periode 2019–2024 Pemerintahan Presiden Joko Widodo-K.H Ma’ruf Amin.

Pria yang dilantik sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan oleh Presiden Joko Widodo pada 23 Oktober 2019 dan menjadi orang berlatar belakang sipil pertama yang mengemban jabatan tersebut menegaskan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat sensasi yg berlebihan.

“Masak, KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dlm perkara perdata oleh PN,” ujarnya.

Bahwa vonis itu salah, logikanya sederhana, mudah dipatahkan tapi vonis ini bisa memancing kontroversi yg bisa mengganggu konsentrasi. Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar.

“Saya mengajak KPU naik banding dan melawan habis-habisan scr hukum. Kalau secara logika hukum pastilah KPU menang,” masih kata pria yang lahir di daerah Madura dan memulai jenjang pendidikannya di dua jenis sekolah sekaligus, yaitu pendidikan umum dan pendidikan agama.

Mengapa?

“Karena PN tidak punya wewenang utk membuat vonis tersebut,” kemudian Mahfud MD menyebut alasan hukumnya begini:

Pertama. Sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri.

Baca juga :  2 Hari Hilang, Nelayan Tewas Mengambang di Pantai Cipalawah Garut

Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses admintrasi yang memutus hrs Bawaslu tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN.

Nah Partai Prima sdh kalah sengketa di Bawaslu dan sdh kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara.

Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK).

Itu pakemnya.

Tak ada kompetensinya Pengadilan Umum. Perbuatan Melawan Hukum scr perdata tak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dlm pelaksanaan pemilu.

Kedua. Hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sbg kasus perdata. Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN.

Menurut UU penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia.

Misalnya, di daerah yg sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu.

Ketiga. Menurut saya, vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan scr hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekuasi.

Mengapa?

Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU.

Keempat. Penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata parpol bukan hanya bertententang dengan UU tetapi, juga bertentangan dgn konstitusi yang telah menetapkan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali,

Baca juga :  Anang Iskandar: Kecelakaan Legislasi Dalam Pembuatan UU no 35 tahun 2009 Tentang Narkotika (bag 1)

Kita harus melawan secara hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul.”

Tinggalkan Balasan