MATRANEWS.id — Melindungi Pasar Tradisional: Regulasi Penggunaan Media Sosial dalam E-commerce di Indonesia”
Di tengah kemajuan teknologi yang pesat, Indonesia tengah menghadapi tantangan dalam mempertahankan keberlangsungan pasar tradisionalnya.
Pada Selasa, 26 September, Presiden Joko Widodo mengumumkan rencananya untuk mengeluarkan peraturan baru mengenai penggunaan media sosial untuk menjual barang di dalam negeri.
Keputusan ini diambil untuk mengatasi ancaman yang dihadapi oleh pasar tradisional di Indonesia, negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara.
Dalam beberapa tahun terakhir, penjual e-commerce yang menggunakan taktik harga predator di platform media sosial telah menjadi perhatian utama para menteri di Indonesia.
Beberapa di antara mereka telah secara khusus menyoroti platform video TikTok sebagai sumber masalah.
Dalam sebuah pidato video yang disiarkan pada hari Senin, Presiden Jokowi menyatakan, “Kami baru saja memutuskan penggunaan media sosial untuk e-commerce. Mungkin besok akan keluar.”
Langkah ini diharapkan dapat mengatur dan mengendalikan aktivitas e-commerce yang semakin merajalela di media sosial.
Jokowi menekankan bahwa masyarakat harus melihat perkembangan teknologi sebagai peluang untuk menciptakan potensi perekonomian baru, bukan sebagai ancaman yang dapat merusak perekonomian yang sudah ada, terutama pasar tradisional yang memiliki peran penting dalam ekosistem ekonomi Indonesia.
Meskipun Presiden Jokowi tidak menyebutkan perusahaan tertentu atau memberikan rincian lebih lanjut tentang peraturan tersebut, Kementerian Perdagangan sedang aktif merumuskannya.
Saat ini, peraturan perdagangan belum secara khusus mencakup transaksi langsung di media sosial.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga sebelumnya telah menegaskan bahwa “media sosial dan perdagangan sosial tidak dapat digabungkan,” dan ia berkomitmen untuk melarang penggabungan keduanya.
Salah satu contoh yang diungkit adalah fitur “langsung” TikTok yang memungkinkan pengguna untuk menjual barang secara langsung.
Namun, pihak TikTok Indonesia memiliki sudut pandang yang berbeda. Mereka menganggap perdagangan sosial sangat penting bagi penjual lokal, membantu mereka terhubung dengan pembuat konten lokal yang dapat mengarahkan lalu lintas ke toko online mereka.
Juru bicara TikTok Indonesia menjelaskan, “Meskipun kami menghormati undang-undang dan peraturan setempat, kami berharap peraturan tersebut mempertimbangkan dampaknya terhadap mata pencaharian lebih dari 6 juta penjual dan hampir 7 juta kreator afiliasi yang menggunakan TikTok Shop.”
TikTok, sebagai salah satu platform media sosial terbesar di dunia, memiliki 325 juta pengguna aktif di Asia Tenggara setiap bulannya, dengan 125 juta di antaranya berada di Indonesia. Perusahaan ini dimiliki oleh ByteDance, sebuah perusahaan teknologi asal China.
Kontroversi ini mencerminkan dilema yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam menyeimbangkan antara perlindungan pasar tradisional yang berharga dan potensi ekonomi yang ditawarkan oleh e-commerce dan media sosial.
Langkah-langkah regulasi yang akan diambil akan menjadi penentu arah ekonomi Indonesia di masa depan.
Meskipun tujuannya adalah melindungi pasar tradisional, akan penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa regulasi ini juga mendukung pertumbuhan sektor e-commerce yang berkelanjutan dan membantu ekonomi Indonesia untuk tetap bersaing di tingkat global.