IT  

Unicorn Dalam Catatan SS Budi Raharjo


MATRANEWS.id — Tulisan di atas adalah “yu-ni-kon” (di mana bunyi huruf r di akhiran tidak jelas). Padahal seharusnya pronunciation-nya adalah “yuu-ni-kawrn”…

“Unicon” itu beda dengan Unicorn.

Unicon itu adalah bahasa pemrograman yang dirancang oleh Clint Jeffery dengan bantuan Shamim Mohamed, Jafar al-Gharaibeh, Robert Parlett, etc.

Sedangkan “Unicorn” itu adalah makhluq dalam mitologi yang menyerupai kuda yang mempunyai tanduk tunggal di tengah ubun-ubun kepalanya…

Unicorn adalah sebuah perusahaan start-up yang usianya kurang dari 10 tahun, namun valuation-nya oleh investor atau publik sudah melebihi $ 1 milyar (atau Rp 14 trilyun).

Catatannya adalah, Lazada itu milik siapa mayoritas sahamnya? Tokopedia itu milik siapa mayoritas sahamnya? OLX itu milik siapa mayoritas sahamnya?

FYI, investasi saham terbesar untuk dunia eCommerce di Indonesia mayoritas dilakukan oleh orang asing, terutama oleh Mr Jack Ma dari RRC.

Begitu juga berbagai jenis layanan aplikasi berbayar, hampir semua mayoritas sahamnya dimiliki oleh asing. Memang sih web hosting kebanyakan adalah lokal, seperti: IDWEBHOST, RUMAHWEB, etc… tetapi mereka juga membeli cloudspace dari luar negeri, seperti dari Singapura, US, dll…

Belum lagi jika sudah dicodingkan CMS kemudian jadi sebuah olshop berbasis web, lalu didukung dengan aplikasi mobile, dan… voilà…! Tetiba saja perusahaan olshop tersebut dilirik oleh investor luar negeri, lalu dibeli, dan tentunya keuntungannya yang pasti akan mereka bawa ke negeri asalnya dong?

So, pengembangan startup Unicorn untuk bisnis online, harus diawasi dengan cermat, karena kalau salah-salah, tahu-tahu diakuisisi oleh investor asing, dan ujung-ujungnya akan merugikan orang Indonesia!

Pemerintah itu pada dasarnya adalah “policy maker”, bukan kontraktor infrastruktur.

Tahukah Anda bahwa perusahaan startup yang sudah mencapai valuasi Unicorn, ternyata semuanya didanai dan dikuasai oleh asing… dengan hanya satu pengecualian adalah BukaLapak yang sahamnya masih lebih besar dimiliki founder-nya, dan kebijakan juga masih dipegang oleh anak negeri.

Adalah lumrah kalau pendanaan industri startup itu didanai oleh investor, namun sekarang yang penting adalah bagaimana caranya agar keuntungan yang didapat oleh investor tersebut tidak dilarikan keluar negeri (negara asalnya investor), atau paling tidak adalah perputaran modal dulu di Indonesia…

Any other opinion? Let’s have a good discussion, shall we?

Tinggalkan Balasan