MATRANEWS.id — “Poor communication can exact a cost on your productivity, opportunities, and success. The problem increases when bad communication becomes habitual”
Kalimat di atas merupakan kristalisasi pengalaman para praktisi komunikasi. Para pakar yakin bahwa komunikasi yang buruk berkorelasi positif dengan pemborosan biaya produksi, kesempatan, dan kesuksesan.
Jika tidak segera direduksi atau dieliminasi dalam hitungan hari, ia akan bermetamorfosis ke bentuk lain berupa kebiasaan (habitual).
Jika sudah menjadi kebiasaan, durasi waktu untuk recovery tentu jauh lebih panjang dan tidak terukur.
Itulah sebabnya, ketika embrio komunikasi yang buruk tengah menunjukkan eksistensinya, instrumen komunikasi empirik harus segera menjadi obat penawarnya sebelum ia berkembang ke stadium yang lebih berat dan akut.
Menurut DR. Ponijan Liaw, M.Pd., Komunikator No. 1 Indonesia, paling sedikit ada lima embrio komunikasi buruk yang harus diwaspadai.
- Menghubungi ketika hanya membutuhkan
Melakukan hal seperti poin di atas merupakan sebuah kebiasaan komunikasi yang buruk.
Orang yang diberi informasi atau penawaran produk baru atau pun akan dimintai pertolongannya tentu akan merasa tidak simpati.
Karena ia merasa hanya diperlukan pada saat jika ia dibutuhkan.
Beda halnya jika ia selalu mendapatkan up-dated information, ia akan menjadi seperti berada dalam lingkaran dalam sang penghubungnya.
- Tidak menindaklanjuti pesan/janji
Lain lagi dengan poin yang satu ini. Banyak kalangan, termasuk para Customer Service Officer (CSO) korporasi yang tidak mencatat keluhan, kritikan, pelaporan barang/jasa yang rusak.
Akhirnya, pesan dan janji yang diucapkannya ketika menerima keluhan pelanggan itu pun berlalu bersama angin.
Kebiasaan ini, jika diteruskan, akan menambah deret juru kampanye negatif terhadap korporasi dimaksud.
Muaranya jelas, semua khalayak akan mempersepsi perusahaan tersebut secara negatif.
Ingatlah bahwa ‘pelanggan yang puas akan bercerita kepada 3 orang, yang tidak puas akan bercerita kepada 3000 orang!’
Tidak fair memang, tapi itulah kejamnya dunia jika etika komunikasi diremehkan.
- Tidak menelepon kembali
Janji untuk menghubungi kembali karena petugas atau barang/jasa yang ditanyakan belum tiba di lokasi, sering sekali tidak dipenuhi.
Ini kebiasaan buruk yang harus dihindari. Caranya tidak sulit sebenarnya.
Setiap telepon yang masuk, dicatat dengan lengkap beserta alternatif solusinya: menelepon pada waktu tertentu, misalnya.
Dengan demikian, kebiasaan buruk ini bisa dihindari.
- Tidak menjawab email/SMS
Kebiasaan buruk komunikasi lainnya yang juga mengganggu adalah tidak menjawab email/SMS yang diterima.
Berapa banyak orang yang masih merasa tidak berkewajiban menjawab email/SMS yang masuk jika isinya bukan berupa pertanyaan.
Pertanyaannya adalah untuk apa seseorang mengirimkan email/SMS kepada Anda, jika ia tidak merasa bahwa Anda adalah orang yang sepantasnya mengetahui pesan/informasi itu?
Pertanyaan berikutnya lagi adalah apakah ketika ia mengirimkan email/SMS kepada Anda, ia tidak mengeluarkan biaya?
Lalu, mengapa Anda tidak memberikan sekadar apresiasi kecil dengan membalasnya dan mengucapkan terima kasih atas apa yang telah dikirimkannya kepada Anda?
Inilah kebiasaan buruk yang harus diatasi. Ia bukan hanya akan merusak relasi antarinsani, dalam jangka panjang ia juga akan merusak citra korporasi.
- Tidak pernah mengucapkan “Terima Kasih”
Kebiasaan buruk komunikasi terakhir adalah tidak pernah mengucapkan kalimat apresiasi berupa ucapan “Terima Kasih”.
Dua kata itu tanpa disadari sesungguhnya dalah kalimat magis yang bisa meluluhkan hati orang yang tengah marah.
Menambah kebahagiaan mereka yang tengah senang dan menghibur mereka yang tengah sakit.
Namun sayang, dua kata magis itu sering luput dari ungkapan sehari-hari ketika berkomunikasi. Dan kebiasaan ini akan menjadi fatal jika dibiarkan dalam waktu yang lama.
Kelima kebiasaan buruk dalam berkomunikasi tersebut harus segera diatasi saat ia mulai menunjukkan eksistensinya (baru berupa embrio).
Jika tidak, dalam jangka waktu tertentu, ia akan menjadi bumerang yang akan menipiskan pundi-pundi korporasi, karena para pelanggan atau calon pelanggan akan berpindah ke lain hati. (*)