*Sebuah catatan Industri Penyiaran
Tiba-tiba saja sahabat yang juga kawan kuliah saya yang bekerja di stasiun televisi Whats up. “Bro, Mulai minggu depan gue udah enggak kerja di ***** (menyebut stasiun televisi).
Kaget, tentu saja.
Lah kenapa ? tanyaku ? “Enggak apa-apa,” jawabnya seolah menutupi sesuatu yang terjadi di Industri Penyiaran, terutama televisi.
Sebelumnya, saya juga terlibat pembicaraan serius dengan seorang pimpinan media televisi. Topik yang dibahas, yang seperti ini. Dan yang sangat mengejutkan, ketika diajak membahas detilnya, ia menolak membahas lebih lanjut.
“Aduh, sudah lah kang, jangan membahas industri televisi,” ia mengelak. “Enggak nutup biaya operasional, sama pendapatan iklan, sudah enggak menarik,” katanya, sedikit menyentak.
Benar saja, tiga bulan kemudian banyak pemberitaan tentang media televisi yang meminta karyawannya mundur.
Ramai dan menjadi pembicaraan, mengenai keluh kesah sumber daya manusia di dunia televisi. Ada yang bonus akhir tahun, tidak keluar atau bahkan ada stasiun televisi yang menunda pembayaran gaji karyawannya.
“Kalau insentif siaran mah, udah tiap bulan telatnya,” kata seorang Presenter yang tidak mau disebut namanya.
Namun, tidak semua stasiun televisi mengalami keterpurukan, ada juga beberapa stasiun televisi yang bertahan walaupun dalam kondisi yang tidak stabil.
“Di sisi lain, isi program stasiun televisi yang kebanyakan politik dan bukan hiburan, membuat pemirsa malas nonton televisi,” katanya.
Fenomena media sosial
Era stasiun televisi, mungkin saja masuk dalam era sunset, pemirsa atau orang sekarang ini lebih menyukai mendapatkan informasi atau hiburan melalui telepon selular atau jaringan internet.
Tidak perlu mendapatkan informasi atau hiburan dengan menonton di depan televisi.
Langkah era internet ini, sebenarnya telah dimanfaatkan oleh stasiun televisi dengan melakukan konvergensi atau memadukan antara siaran televisi dengan menampilkannya juga di tayangan media sosial atau youtube.
Namun, hal tersebut ternyata, tidak hanya dilakukan oleh stasiun televisi. Dan ini, juga dilakukan oleh perorangan atau banyak dikenal sebagai youtuber.
Terbukti, jumlah viewer atau subscriber terbanyak di media sosial yang memanfaatkan jaringan internet justru berasal dari perorangan.
Bukan dari stasiun televisi yang mengadopsi program televisi yang dimasukan ke dalam mediasosial atau youtube.
Ambil contoh Atta Halilintar, yang kini memiliki subscriber terbanyak di Indonesia dan masuk dalam 10 youtuber terkaya di dunia, dengan penghasilan miliaran rupiah perbulan.
Untuk beberapa peristiwa besar seperti debat presiden atau pemilu, televisi masih menjaring pemirsa paling banyak di banding media sosial. Namun, itu kegiatan atau perhelatan yang bisa dibilang jarang-jarang alias lima tahun sekali.
Data APJII (Asosiasi penyelengaran jasa Internet Indonesia) menunjukan dari populasi sebanyak 264 juta jiwa penduduk Indonesia, ada sebanyak 171,17 juta jiwa atau sekitar 64,8 persen yang sudah terhubung internet.
Ini artinya, pengguna internet dari tahun ke tahun akan mengalami kenaikan artinya pengguna media sosial melalui handphone.
Fakta dan data ini, akan terus meningkat dan orang akan lebih memilih mendapatkan informasi melalui telepon genggam, bukan melalui televisi.
“Dari tahun ke tahun angka pengguna internet akan terus naik,” ungkap Sekjen APJII, Henri Kasyfi.
Menurut penulis, sunset stasiun televisi sebenarnya sudah terjadi sejak lama sejak teknologi Smartphone terus berkembang.
Di saat, media televisi atau industri penyiaran harus melakukan revolusi besar agar tidak ditinggal pemirsanya. Sesungguhnya, banyak cara yang bisa saja dilakukan dengan strategi broadcast yang jitu.
Bagaimana, agar pemirsa kembali lebih memilih stasiun televisi sebagai sumber informasi atau hiburan utama?
Catatan akhir saya adalah sebuah pertanyaan: “Siapa mampu membantu, memecahkan masalah ini?” Anda barangkali!
baca juga: majalah MATRA edisi cetak — klik ini