Budaya  

Sanggar Tari Klasik Di Dusun Pete Diinisiasi Orang Eropa Yang Njawani

Sanggar Tari Klasik Di Dusun Pete Diinisiasi Orang Eropa Yang Njawani
foto-foto: istimewa

MATRANEWS.id — Beliau seorang doktor Geologi. Rachel Harrison namanya. Suaminya Adi Maryono seorang Geolog juga.

Bukan sekedar pendiri Sanggar Seni Joglo Pete. Tapi, merupakan penari tari klasik Jawa yang langka dan unik.  Bisa disebut, orang Eropa yang begitu ”keras kepala” ingin melestarikan tari klasik Jawa.

Sosok cantik ini, oleh orang-orang di sekitarnya disebut sudah benar-benar menjadi Jawa. Ia mungkin lebih Jawa daripada kebanyakan orang Jawa.

Apalagi jika sudah berbicang dan menggali idealisme dan sisi lain. Bagaimana dirinya,  punya rencana membuat semacam tempat pertunjukan tari klasik di Borobudur.

”Mungkin dengan cara itu tari-tari klasik Jawa bisa terus dihidupkan,” kata Rachel Harrison.

Alumnus Geology dari University of Tasmania ini mengaku, datang ke tanah Jawa awalnya sebagai Ahli Geologi yang bertugas mencari emas.

Ternyata, tidak hanya emas yang ia temukan, tetapi juga “mas-mas” dan mbak-mbak yang membawa dia mengembara ke pusat-pusat kebudayaan Jawa.

***

“Untuk meraih kesuksesan, tidaklah cukup dengan melakukan yang terbaik. Terkadang kita harus melakukan apa yang diperlukan.” Demikian Winston Chucrchill sempat berucap.

Rangkaian hidup perempuan ini memang hidup di desa yang tenang sejak kecil. Ia lahir dan menghabiskan masa kecilnya di Allexton, sebuah kampung di Leicester, sebelah timur Inggris.

Allexton jika diibaratkan kampung atau desa,  sebagai kampung yang berbukit-bukit dan dialiri banyak sungai sehingga penduduknya ke mana-mana naik kuda. Kecil dan sunyi, lebih kecil dari Dusun Pete, tempat tinggal Rachel sekarang.

”Hanya ada 10 keluarga yang tinggal di sana, total penduduknya hanya 30-an orang. Mungkin lebih banyak domba dibanding manusia di sana, ha-ha-ha,” ujar Rachel, membuat perbandingan.

Selain itu, Allexton juga amat dingin. Rachel menggidikkan badannya untuk menggambarkan bagaimana dinginnya Allexton mampu menusuk hingga persendian.

Namun, dinginnya kampung itu diimbangi oleh kehangatan warganya. ”Mungkin, karena penduduknya sedikit, kami terbiasa hidup bersama,” kenang Rachel.

Baca juga :  SKETSA: N Riantiarno (Telinga)

Selepas SMA di Leicester, Rachel mengembara ke Bristol, sekitar 200 kilometer dari Leicester, untuk meneruskan kuliah di bidang geologi.

Selanjutnya, ia terbang amat jauh ke selatan Bumi untuk meraih master dan doktor di bidang geologi di Universitas Tasmania, Australia.

Setelah lulus kuliah, ia bekerja sebagai ahli geologi yang bertugas mencari urat-urat emas di berbagai belahan Bumi.

Ia keluar masuk hutan, bukit, gunung, dan sungai di sejumlah negara untuk menemukan emas, hingga akhirnya berlabuh di Banyuwangi, Jawa Timur, pada 2008.

Begitu menginjakkan kaki di tanah Jawa, ia langsung jatuh cinta pada budaya dan orang-orangnya.

Salah seorang di antara orang Jawa yang ia temui, yakni Adi Maryono, belakangan menjadi suaminya. ”Jauh-jauh mencari emas ke Jawa, saya berjodoh dengan mas-mas Jawa, ha-ha-ha.”

Suaminya juga seorang geologis dari Kudus. Ia berperan besar mengenalkan budaya Jawa berikut tarian-tariannya kepada Rachel.

Mereka menikah pada 2014 dengan adat Jawa di sebuah rumah joglo yang mereka bangun sebelumnya di Dusun Pete.

Rachel memutuskan berhenti bekerja dan menetap di dusun yang tenang dan damai itu. ”Saya enggak mau pindah ke tempat lain. Saya jatuh cinta pada tempat ini.”

Enam bulan setelah itu, ia serius untuk belajar menari tari Jawa klasik kepada Wisnu Wahyudi dan dan Medy Mardiana dari ISI Yogyakarta.

Setelah itu, ia belajar tari dari Eko Sunyoto di Desa Tingal, Borobudur, dan Ratih Dewayani. Dia juga belajar gamelan dari sejumlah guru, seperti Ki Yulius Gunawan, Heri Widiyanto, dan Agnesia Tutik Utami.

Dari hasil belajar bertahun-tahun, Rachel menguasai 12 tari klasik, antara lain tari Gambyong, Bedaya, Bambangan Cakil, Srikandi Larasati, dan Lambangsih.

Ia telah tampil di banyak pentas, mulai dari dusun nan jauh hingga hotel supermewah di Borobudur. Tahun 2017, ia malah menarikan tari klasik di pinggir jalan untuk memeriahkan Borobudur Marathon.

Baca juga :  Orang Kaya Zaman Now

”Saya paling senang menari di dusun-dusun. Selain itu, saya senang menari di candi dan gunung karena energinya besar sekali,” katanya.

Ketika menari di dusun, termasuk di hajatan perkawinan, Rachel merasakan benar keakraban dan keramahan orang-orang dusun.

Mereka semua tampak bahagia melihat Rachel menari. Lalu, mereka dengan tulus memberi bayaran Rp 50.000. Ia menerima dengan ikhlas apa pun yang mereka berikan. ”Biasanya uangnya saya berikan lagi ke rombongan saya.”

Rachel mengaku menari bukan untuk mencari uang. Ia menari karena mencintai tari-tarian klasik Jawa. Dengan menari tarian Jawa, ia berproses menjadi orang Jawa.

Sehari-hari ia berbahasa Jawa halus. Ia gemar makan makanan Jawa, termasuk mendoan dan nasi goreng pete. ”Nasi goreng tanpa pete seperti bukan nasi goreng,”  kelakarnya.

Ia juga menjalani beberapa tradisi Jawa seperti ngrowot , yakni tidak mengonsumsi nasi dan menggantikannya dengan umbi-umbian sebagai simbol keprihatinan. Setiap mau tampil menari tarian klasik, ia juga memastikan dirinya sedang tidak datang bulan.

”Pernah saya pingsan karena saya tidak sadar menari dalam keadaan haid,” kata Rachel dengan malu-malu. Ia menutup bibirnya dengan tangan. Bahkan, cara dia mengekspresikan malunya sudah mirip seperti yang dilakukan kebanyakan perempuan Jawa.

***

Suara gamelan terdengar pelan dari beranda rumah joglo di kaki bukit di Dusun Pete, Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada Kamis (29/11/2018) siang yang basah oleh guyuran hujan.

Di antara para penabuh gamelan, Rachel menarikan tari klasik Jawa dengan gerakan amat lembut. Rambutnya yang sewarna emas ia biarkan jatuh tergerai.

”Saya suka sekali tari klasik Jawa yang menuntut kesabaran dan konsentrasi tinggi. Saya tidak suka tari modern,” ujar Rachel, ketika diwawancara sebuah koran nasional terbitan Jakarta.

Baca juga :  Peringatan HUT ke30 Sanggar Sekar Wangi

Rachel juga bercerita biasa menari dengan iringan gamelan yang ditabuh anggota Sanggar Seni Joglo Pete. Sanggar itu ia dirikan dua tahun lalu bersama suaminya, Adi Maryono.

Anggota sanggar terdiri dari ibu-ibu dan bapak-bapak yang dihimpun Rachel dari sejumlah dusun di kawasan Magelang seperti Dusun Kerug Batur.

“Dusun itu jauh dari sini. Mereka harus jalan kaki satu jam untuk datang ke sini melewati jalan yang curam. Meski jauh, mereka rajin datang ke sini,” cerita Rachel.

Mereka rutin latihan tiap Kamis siang hingga menjelang sore. Setiap Sabtu, Sanggar Seni Joglo Pete juga menggelar latihan tari klasik dan karawitan untuk anak-anak muda.

Siapa saja boleh datang dan tidak perlu membayar. Semua biaya latihan termasuk konsumsi dan honor untuk pelatih ditanggung Rachel.

”Saya membuat sanggar antara lain untuk menemukan penari laki-laki. Di sini penari laki-laki jarang sekali, padahal beberapa tari klasik Jawa mesti dibawakan secara berpasangan, laki-laki dan perempuan,” tutur perempuan kelahiran Leicester, 13 November 1984 itu.

Pasangan Rachel untuk menari tari klasik Jawa selama ini berasal dari Prambanan dan Boyolali. ”Saya ingin suatu saat ada lagi penari laki-laki dari Borobudur.”

Rachel mengatakan, kegiatan berkeseniannya bersama Sanggar Seni Joglo Pete mengalir begitu saja.

Dulu, setiap malam Tahun Baru, Rachel dan suami menyewa seperangkat gamelan untuk membuat pertunjukan di rumah joglonya.

”Akhirnya kami membeli gamelan sendiri agar bisa dimainkan setiap hari. Lalu, kami membuat sanggar. Tidak ada niat sama sekali untuk berbisnis,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang amat fasih.

#Kenthir Amin

sumber: Kompas (Budi Suwarna)

baca juga: majalah MATRA edisi cetak terbaru – – klik ini!

 

 

Tinggalkan Balasan