Intermezo, Hari Ini

Intermezo, Hari Ini
  • Oleh :Herry Tjahjono

Ada cerita, dari Anthony De Mello, tentang seorang serdadu Jepang yang tertangkap musuh. Di dalam sel, semalaman ia tak bisa tidur karena yakin esok harinya akan mendapatkan siksaan yang kejam. Ia gelisah semalaman, tak mampu memicingkan matanya.

Untunglah ia segera teringat akan kata-kata sang guru.

Hari esok bukanlah kenyataan. Kenyataan hanya ada pada hari ini. Maka, beberapa detik berikutnya, serdadu itu telah bisa tertidur nyenyak.

“Hari ini”, rasanya sudah menjadi barang langka. “Hari ini” sulit sekali dinikmati. Benak kita sudah penuh sesak oleh hari esok, lusa, tahun depan, sepuluh tahun ke depan, dan seterusnya.

Era informasi semakin mengondisikan relung pribadi kita dengan “segenap antisipasi dan kesiapan untuk hari-hari dan masa mendatang.” Informasi kita perlukan agar kita bisa menyiasati hari esok.

Jika hari ini bangun di pagi hari, yang muncul bukan lagi pertanyaan “Apa yang akan kulakukan hari ini?” melainkan “Besok atau lusa, saya akan apa?”

Kita sudah menjadi manusia perencana (planner) yang hebat. Bahkan, kita sendiri pun sudah menjadi “terencana” secara tidak sadar oleh semua conditioning tersebut.

Otak sudah kesulitan untuk bertanya.

 

Yang paling sering muncul adalah, “Besok saya makan siapa, ya?”

Dan dari momentum future questions itulah perencanaan mulai disusun. Semua dinamika itu terjadi dalam segala dimensi hidup, di bidang bisnis, politik, sosial, ataupun budaya.

Obsesi akan hari esok atau masa depan itu memang melahirkan kemajuan dan perkembangan kebudayaan manusia secara luar biasa. Namun, pada saat yang sama, secara inheren, semua aksi destruktif berhamburan di segala prosesnya.

Baca juga :  Maudy Ayunda Jubir G20

Sebagai contoh, jika kemajuan dunia kedokteran dan pengobatan melesat demikian cepat, itu harus juga beriringan dengan kecepatan melajunya obat-obatan destruktif. Inex, putauw, dan Aica Aibon tak mau kalah melesat.

Ini karena “kedua versi dimensi kehidupan” itu selalu sama-sama bersaing memikirkan masa depan.

Sejak masih merangkak pun seorang anak manusia telah dikondisikan untuk memikirkan hari esok, agar “kelak” menjadi manusia hebat.

Dunia bisnis menjadi contoh paling konkret dari obsesi masa depan itu. Siapa yang memegang informasi di masa depan, dialah yang akan merajai dan memonopoli lahan.

Di Sekolah dasar, tiap sore atau malam, anak sudah dicecar dengan pertanyaan klise: “Besok ada PR apa?”

Saat ini, anak sudah tak sempat memikirkan “hari ini”-nya. Anak tak sempat melihat dan menikmati “kenyataan” yang ada pada hari ini.

Perencanaan, yang menjadi unsur utama harmonisasi kehidupan dan alam semesta, seolah sudah menjelma menjadi pedang bermata dua bumerang.

Sebelumnya, yang namanya “masa lalu” sangat ditakuti, apalagi yang bersifat negatif,  traumatis,  menekan, dan sebagainya.

Rumusnya, masa lalu tak perlu dan memang tak bisa dilupakan tapi juga jangan sampai kita hidup di masa lalu.

Tapi memang itu sulit di aras implementatif. Jadi, masa lalu ibarat hantu. Post-power syndrome juga salah satu bentuk “hantu masa lalu” bagi manusia. Namun, sekarang masa lalu bukan momok lagi. Masa depanlah sebagai gantinya.

Baca juga :  Jokowi Beri Pesan Rahasia ke Pejabat Untuk Lebaran 2022 ini

“Kita bukanlah kita” karena kita tidak hidup lagi di hari ini.

Kita adalah “Kita masa depan” yang kebetulan hidup di hari ini . maka, tak usah heran bila kita masing-masing sering merasa asing dan tak kenal dengan diri sendiri.

Sebab, kita bukanlah “kita hari ini”, yang merupakan kenyataan , yang justru sedang dijalani.

Dan pada saat rasa asing itu muncul, semua proses internal kejiwaan destruktif mendapatkan peluang besar untuk teraktualisasi.

Lepas dari kenyataan itu indentik dengan disorientasi. Kita tak usah heran dengan lahirnya “Sindrom hbb” (= habis bikin bingung).

Disorientasi hanya melahirkan chaos. Ini semua karena kita sudah sulit memijakkan kaki pada “hari ini”.

Kita sudah menjadi manusia-manusia hebat yang berpijak pada “masa depan”. Kenyataan sudah tak terlalu diperlukan lagi.

Jika kita menonton film-film fiksi ilmiah tentang dunia dan kehidupan di masa depan, sebenarnya kita tak perlu terkagum-kagum dan bingung. Sebab, pada hari ini, kitalah pelaku utama dalam film-film tersebut.

Kita sudah membawa masa depan kepada hari ini. Fiksi ilmiah tak perlu dibuat lagi. Nguyahi segoro!

Kloning, misalnya, merupakan salah satu puncak dari obsesi masa depan yang ditarik ke hari ini. Kloning dibuat oleh orang yang sudah hidup dalam belenggu masa depan.

Kenyataan hari ini bagi pembuatnya sudah tak berlaku lagi. Kloning juga merupakan bentuk dari “ sindrom hbb”. Kita adalah pemimpi hebat, day dreamer sejati dan ulung!

Pada saat “hari ini” masih hidup, anak kita selalu mencium tangan kita ketika akan berangkat ke sekolah. “tapi, “hari ini”, anak juga sudah hidup di masa depan.

Baca juga :  EN'S ROOM, Apartemen Mewah Untuk Staycation Kawula Muda

Jika anak ingin berangkat ke sekolah, cium tangan tak berlaku lagi. Anak langsung menstater sepeda motor peretelannya, memain-mainkan gas keras-keras, dan langsung melesat ke luar halaman rumah.

Kita berang, Anak dimarahi habis-habisan: “kenapa kau tak pamit, hah? Dengan tenang anak menjawab bahwa ia sudah pamit. Kita berang lagi: “mana? Kau tak cium tangan bapak!”

Masih tanpa ekspresi, anak menjawab, “saya sudah pamit, Tuh, tadi suara motor saya, itu tanda saya pamit, Pak!”

Hampir semua orang bijak sepakat akan suatu aksioma hidup: bahwa Tuhan hanya ada pada hari ini Tuhan “hanya mampir” dan ada pada “kenyataan”.

Itu sebabnya Tuhan itu riil, bukan angan-angan. Tuhan bukan ide imajiner.

Maka, sesungguhnya, “hari ini” -“kenyataan”- harus selalu ada dan hidup dalam diri kita. Kita mesti hidup dalam “hari ini”.

Jika diletakkan dalam suatu garis kontimum, semuanya akan lebih gamblang. Hidup dalam hari ini berarti di titik tengah, bersama Tuhan.

Hidup di masa lalu berarti kita di belakang Tuhan. Hidup dimasa depan berarti kita meninggalkan. Menyinggung lagi soal kloning, itu berarti kita sudah meninggalkan Tuhan jauh di belakang.

Dan tentu itu tidak sehat! Pertanyaannya jadi sederhana: apakah kita masih memerlukan-nya atau tidak? That’s all! Saya sendiri jadi ragu menjawabnya pertanyaan ini!

Majalah eksekutif edisi Maret 2022, klik ini

 

Tinggalkan Balasan