Prof Muhammad Syarifuddin Ketua MA Merayakan Hari Istimewanya

Prof Muhammad Syarifuddin Ketua MA Merayakan Hari Istimewanya

MATRANEWS.id — Hari ini, Prof Muhammad Syarifuddin, Ketua MA merayakan hari istimewanya.

Prof Dr. H. Muhammad Syarifuddin SH., MH adalah orang nomor satu di Mahkamah Agung.

Pria yang dikenal sebagai sosok sederhana. Sifat sederhana itu ternyata telah menjadi bagian perjalanan hidupnya sejak muda hingga puncak karir sebagai pejabat tinggi.

Figur kelahiran Baturaja Sumatera Selatan, tepatnya pada 17 Oktober 1954 itu dikenal tak suka neko-neko.

Ia menjalani hidup apa adanya, selalu dengan rasa syukur, mulai dari bersekolah, bertemu jodoh, membangun keluarga hingga mendidik.

Banyak kenangan indah dan momen yang tak pernah ia lupakan dalam membangun mimpinya.

Tak pernah ada yang bisa menebak kehidupan dan masa depan.

Itulah cara Syarifudin menyikapi perjalanan hidup. Selalu tulus dan ikhlas mengikuti kemana air mengalir dan bagaimana Allah SWT meridhoi atas setiap langkahnya.

Putera ketiga dari enam barsaudara. Ia anak dari seorang penjaga pintu kereta. Anak pasangan Haji Damroh Bin Karap serta Hajah Aimah Binti Johir. Seperti pada anak seusianya, kala itu perawakannya kecil dan cenderung kurus.

Lingkungan sekitar pun tergolong keluarga sederhana. Sekolah dasar hingga SMA di kota kelahiran Desa Laya, kecamatan Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Mendalami ilmu agama, hidup dalam kultur santri, penyuka lagu Pance dan Dewi Yul ini juga rajin berenang ke pantai.

Melakukan kongkow, main gitaran seperti halnya pemuda masa itu. Harapan terpancang, memiliki keinginan kuliah di kampus terbaik. Dengan semangatnya mengejar impian.

Menimba Ilmu di Kota Yogyakarta Dalam Lingkungan Sederhana

Ia mampu mewujudkan mimpinya bisa menimba ilmu di kota Yogyakarta. Kota ini dituju Syarifuddin bukan tanpa alasan.

Pasalnya, orang yang ada di kampung Syarifuddin menyebut bahwa Yogyakarta adalah tempat yang bagus untuk kuliah.

Syarifuddin muda langsung berangkat ke Yogyakarta dengan diantar oleh sang ayah. Syarifuddin akhirnya memutuskan untuk mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Di kampus yang banyak melahirkan tokoh hukum tingkat nasional itu, ia tercatat pernah menjadi mahasiswa terbaik se-Fakultas hukum dan wisudawan terbaik UII.

Momen Bertemu Jodoh Berawal Dari Perpustakaan

Syarifuddin kuliah sembari kerja sebagai staf perpustakaan di IAIN Yogyakarta, yang kini bernama UIN Sunan Kalijaga. Darisanalah ia bertemu jodoh.

Bertemu kekasih hati memang tak bisa ditebak. Ceritanya berawal ketika tanpa disengaja Syarifuddin bertemu perawat cantik ketika bezoek Ibnu Harun, temannya yang sakit.

Sahabatnya opname di rumah sakit Muhammadiyah Yogyakarta. Dari kenalan, terjalinlah hubungan dua insan lain jenis itu, menjadi sepasang kekasih.

Kisah Hidup Penuh Warna Mengadu Nasib

Sosok Syarifuddin sejak dulu punya sifat suka mengasihi. Hidupnya pun ditopang oleh semangat serta “belas kasih” saudara.

Ia menumpang, mengetik dengan sepuluh jari dengan mesin tik pinjaman. Hidup menumpang dengan sikap hidup tirakat, ingin buru-buru lulus kuliah dan menyenangkan orang tua.

Baca juga :  Prabowo dan Jokowi Berpasangan di Rantis Maung

Yang seru, bagaimana ia menggantungkan nasib pada Kapal Tampomas. Tidur selama empat hari di dek bersama ragam orang yang ingin mengadu nasib. Berangkat dari Tanjung Priuk ke Belawan, lalu ke Banda Aceh.

Ijazah saja belum di tangan. Namun, pria yang santun ini nekat mendaftar saat ada pembukaan pendaftaran calon hakim. Dengan menggunakan ijazah sementara, ia pun mendaftar. Ternyata lulus dan ditempatkan di Banda Aceh.

Mengabdi di Daerah Terpencil demi Pengabdian

Syarifuddin memulai karirnya di dunia peradilan setelah lulus kuliah S1 tahun 1980 di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Karirnya di dunia peradilan dimulai sebagai CPNS Calon Hakim pada tahun 1981.

Karir sebagai hakim dimulai pada  PN Kutacane pada tahun 1984 . Pada akhir tahun 1990, Ia berpindah tugas ke PN Lubuk Linggau hingga tahun 1995.

Kenangan Tak Terlupakan Saat Bertugas di Aceh

Sembilan tahun di Aceh, tentu saja mempunyai kenangan tersendiri di Serambi Mekkah itu, hingga menjadi Panitera pengganti lokal di Pengadilan Negeri (PN)  di Banda Aceh.

Sisi lain, yang hingga kini tak dilupa. Saat menjadi hakim di Linggau, ingin pulang ke rumah menuju Baturaja di momen lebaran.

Menyetop bis di pinggir jalan. Dari hasil menabung, ia membawa beberapa oleh-oleh dan kue kering kesukaan keluarga di kampung. Dia duduk paling depan, dekat pintu masuk bus.

Karena lelah naik bus, Syarifuddin terlelap. Tiba-tiba, ia terbangun ketika ada teriakan supir. “Kita terbalik, kita  terbalik,” berkali-kali ucapan itu berulang yang kemudian membangunkan dirinya. Astaghfirullah.

Saat mata terbuka, Syarifuddin sudah tertindih dengan barang-barang. Maklum bis untuk kampung, tentu saja penuh muatan barang bawaan.

Terdengar rintihan, teriakan minta tolong sana-sini. Refleks, Syarifuddin bangun dari tidur, keluar dari bus itu lewat kaca depan bus yang sudah pecah.

Setelah keluar, Syarifuddin baru sadar bahwa bajunya berlumuran darah. Dan, bekas serpihan kaca kecil-kecil bertebaran di sekujur badannya.  Segera, kaca yang mengores dan masuk dalam tubuhnya dicopoti satu-satu.

Dalam situasi itu, secara refleks yang dipikirkan bukan dirinya. Tapi, adalah bagaimana nasib orang-orang di bus yang masih tertinggal.

Pasalnya, suara mesin bus masih mengaung dengan sangat kencang. Sementara supirnya, dilihat malah lari meninggalkan bus.

Pilihannya mengejar supir yang kabur atau memberi bantuan, ke orang-orang yang masih terjebak di dalam bis.

Siang itu, belum ada orang yang datang menolong. Syarifuddin memutuskan melepas bajunya yang penuh darah dan serpihan kaca bus, dan spontan kembali ke dalam bus.

Segera ia mematikan mesin bus yang mengaung sangat keras. Karena yang ada dalam pikirannya kala itu, bila mesin terus nyala.

Jangan-jangan bus bisa meledak. Berhasil mematikan mesin bus, beliau pun segera menolong penumpang-penumpang lain. Ada yang mengalami patah tangan, patah kaki hingga meninggal dunia.

Baca juga :  Sultan: Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Perlu Diaudit

Dalam suasana yang sangat panik menyelamatkan penumpang, tiba-tiba datang segerombolan anak muda masuk ke mobil.

Bukannya menolong, malah menjarah barang-barang penumpang yang ada di dalam bus. Tas Syarifuddin  yang berisi oleh-oleh untuk dibawa ke kampung, termasuk yang mau diambil oleh orang itu.

Seketika, Syarifuddin yang tidak mengenakan baju berteriak lantang memakai bahasa daerah.

“Hey!! itu barangku,” sontak rombongan pemuda itu kaget dan kabur. Singkat cerita, Syarifuddin yang kala itu, yang tidak mengenakan baju, rupanya disangka preman juga.

Beres membantu orang-orang, Syarifuddin pindah bus kemudian menuju Baturaja.

“Kejadian itu sudah lama. Tapi, kalau saya naik mobil yang ngebut, kemudian belok mendadak. Kadang trauma juga, takut terbalik,” ujar Syarifuddin dengan mimik jenaka.

Apalagi sampai sekarang, terkadang masih terasa sakit di dada sebelah kiri bekas benturan besi, saat bus terbalik kala itu.

Tak pernah terjebak dalam keluhan masa lalu, prinsip hidupnya adalah terus bersyukur dalam setiap keadaan.

Bersyukur merupakan suatu perbuatan yang bertujuan untuk berterima kasih atas segala limpahan nikmat yang telah Tuhan berikan.

Bersyukur Apa Pun Keadaan itu.

Tidak menyerah, mengeluh, dan tertekan seandainya mengalami kesulitan dalam perjalanan seperti itu.

Rasa syukur sebagai tindakan Iman. Bagaimana tangan Tuhan yang selalu menopang hidupnya, hari lepas hari.

Banyak kesaksian untuk hal itu. Antara lain, sewaktu Syarifuddin baru turun dari Kapal Tampomas.

Ia bingung, karena baru pertama kali di lokasi luar kota. Suasana pelabuhan gelap, kala itu memang listrik tidak seperti sekarang yang terang benderang. Turun dari kapal Tampomas di Medan, tak tahu menuju arah Banda Aceh.

Di tengah kebingungannya, Syarifuddin mengikuti saja seorang lelaki kekar, berseragam tentara.

Ia pun bertanya, bagaimana di situasi larut malam itu bisa sampai ke Banda Aceh. Dengan penuh selidik, pria itu menatap tajam dirinya, kemudian berkata: “Sudah, ikuti saya saja.“

Syarifuddin pun patuh dan mengikuti tentara yang mencari bus untuk menuju lokasi yang dituju.

Siapa sangka, di tengah jalan, tentara itu malah memberi tahu diri Syarifuddin bahwa kita sudah sampai tujuan. Jadi, “Saya disuruhnya turun saja. Daripada nanti bingung di bus, mau turun di mana.“

Ternyata ini adalah tujuan atau kampoeng si Tentara. Sementara Syarifuddin masih jauh lagi. Dalam suasana lokasi malam, tak gampang mencari kendaraan untuk bisa menumpang.

Tapi, mukzizat terjadi. Dari jauh kelihatan lampu truk beriringan

Sang tentara melambaikan tangan, dirinya maju ke tengah jalan. Menyetop kendaraan, yang ternyata rombongan kendaraan dealer Medan menuju Banda Aceh.

Rombongan berhenti dan tentara itupun, menitipkan Syarifuddin ke salah satu armada truk untuk dibantu diantar sesuai alamat.

“Baik sekali tentara itu, sayangnya saya lupa. Mencatat nama dan alamat tentara itu. Mungkin, ia sekarang pensiun,“ ujar pria yang pada 1984 merintis karir sebagai hakim di Pengadilan Negeri (PN) Kutacane.

Baca juga :  Penjajagan Investasi Pabrik Perakitan Motor Listrik Sunra di Indonesia

Selama tujuh tahun bertugas PN Kutacane, Syarifuddin tidak pernah pulang kampung lantaran tidak punya ongkos atau uang saku.

Gaji kecil, jika harus naik pesawat, bisa-bisa ia dan keluarganya tidak akan makan berbulan-bulan.

Saat ingin pulang kampung, naik bis, eh malah bisnya terbalik. Untunglah, laiknya drama korea adegan dramatis itu hanya terjadi sekali dalam hidupnya.

Perjalanan Karir, Sering Berpindah Tugas

Syarifuddin bertugas sebagai hakim di Pengadilan Negeri Lubuk Linggau hingga 1995. Setelah dua tahun menjadi ‘wakil Tuhan’ di Pengadilan Negeri Lubuk Linggau, ia berpindah tugas menjadi hakim di Pengadilan Negeri Pariaman.

Setelah empat tahun bertugas di tahun 1999, ia mendapat keputusan mutasi sebagai hakim di PN Baturaja.

Empat tahun berselang, ia mendapatkan promosi menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2003. Setelah berkarier di ibu kota, ia dipercaya menjadi Ketua Pengadilan Negeri Bandung pada 2006.

Tahun 2006, dia akhirnya diberikan kepercayaan memimpin PN Bandung dengan menjadi ketua pengadilan hingga tahun 2011.

Di tahun yang sama, karirnya makin melesat ia mendapat promosi sebagai Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Palembang.

Pada tahun yang sama, penyandang gelar Doktor Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan ini dipercaya menjabat sebagai Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI.

Jabatan eselon I ini diembannya sampai dengan terpilih sebagai hakim agung pada tahun 2013.

Setelah dua tahun menjabat hakim agung, Syarifuddin dipercaya untuk mengemban amanah sebagai Ketua Kamar Pengawasan. Kurang dari satu tahun menjabat sebagai Ketua Kamar Pengawasan.

H.M Syarifudin kemudian terpilih secara demokratis sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial pada “Pemilu MA” yang dilaksanakan pada tanggal 14 April 2016 menggantikan Prof. Dr. H. Mohammad Saleh,SH, MH. Jabatan Wakil Ketua MA Bidang Yudisial ini seharusnya akan dijabat hingga 2021.

Perjalanan karirnya sebagai Hakim mencapai puncaknya setelah sidang paripurna khusus yang dilaksanakan pada tanggal 6 April 2020, H.M Syarifuddin terpilih menjadi Ketua Mahkamah Agung dan mengucapkan sumpah di hadapan Presiden RI pada tanggal 30 April 2020.

Suami dari putri Purwokerto, Jawa Tengah ini mendapat suara terbanyak berdasarkan proses pemilu di MA. Ia dicatat dalam sejarah sebagai Ketua MA-ke 14 periode 2020-2025.

Jenjang Pendidikan

Gelar Sarjana Hukum diperolehnya pada tahun 1980 dari UII Yogyakarta, lalu beliau menyelesaikan pendidikan Magister Hukum pada tahun 2006 dari Universitas Djuanda dan mendapat gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan pada tahun 2009.

Pada tahun 2011 penyandang gelar Doktor Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan ini dipercaya menjabat sebagai Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI.

sumber:Majalah MATRA edisi Oktober 2022, klik ini

Tinggalkan Balasan