Masyarakat Melihat Dirut dan Direksi BPJS Belum Memperbaiki Sistem

Masyarakat Melihat Dirut dan Direksi BPJS Belum Memperbaiki Sistem

rilis Ridma Foundation mengkritisi Direksi dan Karyawan BPJS Kesehatan.

Defisit BPJS Kesehatan, Karena Direksi & Karyawan BPJS Malah Memakai Asuransi Asing

MATRANEWS.id — Di tengah peraturan Presiden (Perpres) untuk pemanfaatan pajak , dimana pemerintah  menambal defisit keuangan BPJS Kesehatan dengan hasil cukai rokok.

“Direksi dan karyawan BPJS malah tidak memakai produk sendiri yakni BPJS kesehatan, tapi justru berlangganan asuransi swasta. Tidak memberi contoh atau teladan ke masyarakat, untuk cinta kepada BPJS. Ini membebani anggaran,” demikian rilis RIDMA Foundation.

Hal ini , menyikapi pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) untuk menambal defisit BPJS dilakukan sesuai dengan undang-undang.  Ada undang-undang, 50 persen dari cukai rokok memang digunakan untuk layanan kesehatan.

Peraturan presiden terkait pemanfaatan cukai rokok dari daerah, yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Sudah berjalan, sebagian defisit yang terjadi di BPJS tersebut ditutup dari hasil cukai rokok.  Namun, masyarakat belum mendapat hasil dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit defisit BPKS.

Masyarakat masih melihat Dirut dan Direksi BPJS belum memperbaiki sistem, baik verifikasi maupun sistem keuangan.

Gaji direksi yang sebulan hingga Rp 250 juta plus fasilitas yang mewah, tidak mau justru memakai asuransi BPJS,  tapi malah klien dari asuransi swasta menjadikan banyak masyarakat mengkritisi kebijakan Jokowi ini.

“Cukai rokok, seharusnya untuk keperluan pelayanan kesehatan masyarakat. Akan tetapi, bukan untuk digunakan untuk memperbaiki defisit BPJS Kesehatan,” masih menurut rilis RIDMA Foundation.

Baca juga :  Rekomendasi Hp Xiaomi Terbaru yang Cocok Untuk Gaming

Insentif bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi BPJS juga kali ini naik.  Gaji direktur BPJS lebih tinggi dibandingkan  gaji presiden, yang hanya Rp 62 juta.

Jika memang fokus utama defisit BPJS Kesehatan adalah karena pembiayaan yang membengkak dari penyakit katastropik, lalu mengapa skema subsidi dana dari rokok menjadi salah satu alternatif?

Tidakkah beberapa penyakit katastropik membutuhkan upaya pencegahan untuk menghemat pengeluaran biaya yang harus dikeluarkan oleh negara?

Dalam catatan, stroke dan jantung merupakan dua penyakit teratas penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Dua penyakit ini juga termasuk ke dalam penyakit katastropik yang menyerap banyak biaya dari BPJS.

Kembali ke asuransi Asing, pegawai / karyawan BPJS mendapat dua fasilitas, BPJS itu sendiri dan asuransi In-Health.  Kalau internal saja sudah tak loyal dan yakin dengan pelayanan BPJS, gimana ya?

baca juga: majalah Matra edisi cetak — klik ini

 

Tinggalkan Balasan