Anang Iskandar: Ketua MA Tolong Penyalahguna Jangan Dijatuhi Hukuman Penjara

Masuk blunder, kalau penyalah guna dihukum penjara. Ini penjelasannya.

Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional dan pria yang pernah menjabat Bareskrim Polri ini terus memberi literasi agar penyalahguna tidak untuk dihukum penjara.

Pasalnya, pria yang sempat dijuluki mbahnya rehabilitasi narkoba ini menyebut penjara sebagai lokasi yang justru penyalahguna terperosok lebih dalam. Penjara penuh sedangkan korban tidak sembuh.

Anang berujar, “UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika tujuannya memberantas peredaran gelap narkotika (pasal 4c) dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi bagi penyalah guna dan pecandu (pasal 4d).”

Masih menurut Anang Iskandar, “Sesuai tujuan UU tersebut, hakim diamanati dan diberi kewenangan dapat memutuskan atau menetapkan perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna (pasal 127/1).”

Bahwa korban penyalahgunaan narkotika (pasal 127/3) dan pecandu narkotika (pasal 54) dengan hukuman rehabilitasi, sifatnya wajib karena tanpa pilihan jenis hukuman lainnya (pasal 103/1).

UU narkotika menyatakan rehabilitasi yang dikenal sebagai proses pengobatan atau pemulihan merupakan jenis hukuman khusus bagi pelaku kejahatan penyalahgunaan nakotika.

Masih menurut Anang, “Ini yang sejak diberlakukan UU narkotika sampai sekarang tidak dikenalkan atau sulit difahami oleh masarakat, termasuk hakim dan penegak hukum lainnya.”

Artinya, perkara narkotika apakah terbukti sebagai penyalah guna, korban penyalahgunaan narkotika maupun pecandu, tidak ada pilihan bagi hakim untuk menjatuhan hukuman selain hukuman rehabilitasi.

Dalam hal ini, Anang menyebut kewenangan menjatuhkan hukuman rehabilitasi diberikan kepada hakim karena negara berkepentingan agar penyalah guna sembuh dari sakit ketergantungan narkotika.

Apakah ada kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna ?

“Tidak ada,” Anang berujar tegas.

Dalam pandangan pria yang kini disebut pakar bahaya narkoba, “Bagi hakim yang memeriksa perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna, meskipun didakwa secara pidana, wajib menjatuhkan hukuman rehabilitasi sesuai tujuan UU narkotika.”

Selain mewajibkan hakim untuk memutuskan atau menetapkan hukuman rehabilitasi, UU narkotika juga mewajibkan penyalah guna sendiri menjalani rehabilitasi melalui wajib lapor (pasal 55). Dalam konteks, penyalah guna yang sudah dinyatakan oleh ahli sebagai pecandu juga diwajibkan menjalani rehabilitasi (pasal 54).

Penyalah guna yang tidak melakukan kewajiban tersebut, guna mendapatkan perawatan justru diancam dengan pidana kurungan 6 bulan, kalau penyalah guna belum dewasa, orang tuanya yang sengaja tidak memenuhi kewajiban tersebut diancam dengan 6 bulan pidana kurungan.

Artinya, “Kepentingan negara dalam perang melawan narkotika adalah memerangi penyalahgunaan narkotika melalui proses rehabilitasi baik melalui penegak hukum dengan penjatuhan hukuman berupa rehabilitasi dan kewajiban hukum penyalah guna.”

“Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya”

Demikian Anang Iskandar memberi info sebagai kolumnis di pelbagai media digital.

Anang mengutip, berdasarkan Peraturan Pemerintah no 25 tahun 2011 tentang wajib lapor pecandu, eksekusi putusan atau penetapan hakim untuk menjalani rehabilitasi.

Hal ini dilakukan di IPWL yaitu rumah sakit atau lembaga rehabilitasi (bukan di lapas) dengan pembiayaan dari APBN atau APBD (pasal 22 PP no 25/2011).

Menteri Kesehatan sebagai menteri yang membidangi masalah narkotika (pasal 1/22) diberi mandat bertanggung jawab melaksanakan rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika (pasal 56 UU no 35/2009) dan mengkoordinasikan pelaksanaan rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim untuk menjalani rehabilitasi (pasal 13/6 PP 25/2011).

Atas dasar mandat tersebut, Menteri Kesehatan kemudian membuat Peraturan Menteri Kesehatan no 2415/Menkes/per/XII/2011 dalam pasal 20 menyatakan pemerintah bertanggung jawab atas biaya pelaksanaan rehabilitasi medis bagi pecandu, penyalah guna dan korban penyalah gunaan narkotika yang diputuskan atau ditetapkan pengadilan.

Secara yuridis hakim berwenang menjatuhkan atau menetapkan rehabilitasi sebagai kewajiban, klop dengan kewajiban Menteri Kesehatan untuk menyiapkan rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk untuk melayani rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim.

Tapi anehnya, Anang Iskandar memaparkan, sistem yuridis yang dibangun oleh UU narkotika tersebut di atas tidak berfungsi. “Penyalah guna tidak dijatuhi hukuman rehabilitasi tetapi dijatuhi hukum penjara,” ujarnya.

Loh kok? Kenapa penyalah guna dalam praktik pengadilan dijatuhi hukuman penjara?

Realitas, hakim tak menghukum rehabilitasi. Padahal terbukti sebagai penyalahguna narkotika.

Posisi penyalahguna berdasarka UU narkotika di satu sisi diposisikan pelaku kejahatan penyalahgunaan narkotika. Di sisi lain, Anang berpendapat: “Mereka sebagai korban kejahatan peredaran gelap narkotika, penderita sakit adiksi kecanduan narkotika.”

Berdasarkan UU narkotika, posisi ambigu penyalah guna tersebut, solusinya berupa jalan tengah, yaitu dengan proses penegakan hukum secara pidana, penjatuhan hukumannya berupa hukuman rehabilitasi agar sembuh dan tidak mengulangi perbuatannya.

Anang memberi tulisan,  sebabnya UU narkotika sejak awal menetapkan tujuannya secara explisit yaitu menjamin penyalah guna yang nota bene pelaku kejahatan, mendapatkan upaya rehabilitasi baik rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dengan maksud penyalah guna tidak dihukum penjara.

“Kalau dihukum penjara akan kesulitan mendapatkan akses rehabilitasi penyembuhan dari sakit adiksi yang dideritanya karena lapas tidak memiliki tupoksi merehabilitasi penyalah guna narkotika,” ujar Anang Iskandar, jenderal yang hidupnya selalu penuh syukur.

Blunder Kalau Penyalahguna Dipenjara

Akademisi yang juga praktisi ini menyebut, UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dibentuk berdasarkan pendekatan kesehatan dan hukum pidana dengan tujuan memberantas peredaran gelap narkotika (pasal 4c) dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu (4d).

Namun sejak diundangkannya, Anang menyebut banyak pihak termasuk penegak hukum belum memahami tujuan tersebut.  Maka, terjadilah misuse dalam penggunaan sanksi bagi penyalah guna narkotika.

Anang Iskandar menulis kolom di pelbagai media digital. Mestinya, hakim tidak menggunakan sanksi penjara bagi perkara narkotika yang terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna dan pecandu.

Waktu berjalan, kenyataannya hakim secara sistemik menggunakan hukuman penjara bagi perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna (data: Direktori Putusan Mahkamah Agung ).

Kondisi tersebut, tidak menguntungkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena merugikan masa depan penyalah guna, merugikan keluarga, masarakat, bangsa dan negara.

Dengan situasi ini, Anang Iskandar mengatakan sebaiknya Ketua Mahkamah Agung selaku atasan hakim tidak boleh diam dan tolong bantu penyalahguna.

“Hukumlah penyalah guna dengan hukuman rehabilitasi agar mendapatkan akses rehabilitasi/penyembuhan sakit ketergantungan narkotika yang dideritanya sehingga mereka punya masa depan,” demikian Anang Iskandar dalam integritasnya sebagai pakar.

Anang mengaku bukan sok tahu, tapi yang dipaparkan ini merupakan perjalanan dari permasalahan penjatuhan hukuman penjara tersebut.

“Disebabkan karena di lingkungan Kamar Pidana Mahkamah Agung terdapat konsensus,” ungkap Anang.

Seakan ada konsesus intern entah tertulis atau tidak tertulis, menyatakan perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna dalam proses kasasi dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan penjara.

Hal yang menurut Anang, konsensus tersebut bertentangan dengan tujuan dibuatnya UU narkotika (pasal 4d) tetapi menjadi acuan para hakim dalam memutus perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna.

Dan konsensus tersebut menjadi kolektif blunder bagi penegak hukum dalam proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan karena perkara penyalahgunaan narkotika dianggap seperti pidana umum.

Padahal perkara penyalahgunaan narkotika adalah pidana khusus, dimana sanksinya tidak menggunakan sanksi pidana tetapi menggunakan sanksi khusus berupa rehabilitasi (pasal 103).

Catatan pinggirnya Anang menyebut, “Penyalahguna dipenjara, secara empiris menjadi penyebab terjadinya penyalah gunaan narkotika dibarengi dengan peredarannya sampai ke desa-desa.”

“Terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika dan anomali hunian lapas, tidak saja over capasitasnya, juga terjadi penyalahgunaan dan peredaran narkotika didalam lapas yang merugikan masarakat dan pemerintah,” papar Anang.

Terakhir, Anang mengingatkan salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Sosialisasinya adalah, “Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya”.

klik: MATRA TV Sisi Ketua Mahkamah Agung

Tinggalkan Balasan