MATRANEWS.id — Bumi berputar zaman beredar. Rajin mengais tembolok berisi. Seperti rampak gendang yang dipadukan membentuk suatu irama yang energik dan bersemangat.
Pagi tadi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menyebut Lapas bukan menjadi tempat yang baik buat menghukum pengguna narkoba. Sebaliknya, Yasonna menilai, harus ada paradigma baru terhadap pengguna narkoba.
Secara gamblang, ia menyebut kasus narkoba tak kunjung turun tiap tahun karena proses penyidikan kasus narkoba yang kerap terjadi di kepolisian.
Menurut sang menteri, penyidik harusnya bisa membedakan antara seorang pengguna dengan pengedar. Revisi UU narkotika ini sudah tiga tahun diusulkan tapi masih tersangkut, ia berharap masuk Prolegnas pada 2021 ini.
Terhadap komentar Menkumham Yasonna Laoly, yang sedang mencari jalan keluar bagi pecandu narkotika. Dimana kader PDI Perjuangan ini menyebut “biang kerok” UU Nomer 35 2009 tentang Narkotika yang serampangan.
Alhasil, dengan UU itu mulai dari pecandu, kurir, hingga bandar narkoba membuat lembaga pemasyarakatan menjadi penuh dan menjadi “pasar narkoba”.
Maka, majalah Matra meminta komentar Komjend Pol (P) DR Anang Iskandar.
Wawancara dilakukan kepada mantan Kabareskrim yang dijuluki “Bapaknya Rehabilitasi”.
Mantan Kepala BNN ini tak jemu-jemu mengingatkan hal ini. Rajin menulis kolom di media massa, kerap menjadi pembicara hingga meng-upload pendapat di youtube, bahwa penjara bukan solusi utama bagi pecandu narkoba.
Jangan menempatkan pecandu sebagai penjahat. Karena tak akan selesaikan masalah. Karena itu tempatkan mereka sebagai orang yang harus diperbaiki kehidupannya. Dengan dia lepas dari beban candu, akan ada efek lain.
Kali ini wawancara lewat videocall terhadap ahli hukum narkotika itu.
Apa komentar Jenderal mengenai Menteri Yasona, yang mewakili pemerintah tentang moral hazard ini?
Kita semua setuju Bandar narkoba harus dibasmi habis, dimiskinkan. Tidak hanya dihukum, tetapi dikenai tindak pidana pencucian uang.
Bagi orang kecanduan itu problem kesehatan, bukan kriminal. Saya termasuk orang yang terus menyuarakan jangan sampai ada “biang kerok”. Akibat, salah penerapan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Kenapa penerapan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang menjadi “biang kerok”-nya?
Karena UU narkotika mengatur secara jelas bahwa pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 54).
Dalam pasal 54 UU no 35 tahun 2009, bahwa benar pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Anda ingin tegaskan apa?
Pecandu itu, ya penyalah guna yang diancam pidana berdasarkan pasal 127/1. Sebutan lainnya adalah pecandu bila penyalah guna tersebut dilakukan assesmen.
Kalau penyalah guna bagi diri sendiri yang menjadi terdakwa dipengadilan, maka menjadi kewajiban hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi.
Bisa jelaskan lebih lanjut?
Ini diatur dalam pasal 127/2 bahwa hakim wajib memperhatikan menggunakan kewenangan hakim yang tertera dalam pasal 103, memperhatikan kondisi taraf kecanduan terdakwanya (pasal 54) dan tentang status pidananya (pasal 55 & 128).
Kewenangan hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi berdasarkan pasal 103 selama ini tidak pernah digunakan sejak berlakunya UU narkotika.
Kenapa ini bisa terjadi ?
Karena perkara penyalah guna yang diajukan ke pengadilan. Dibungkus oleh jaksa penuntut umum sebagai perkara peredaran gelap narkotika, dengan cara dituntut dengan pasal pengedar. Sehingga terasa, seakan akan memenuhi sarat dilakukan penahanan atau dipenjara.
Meskipun dibungkus dalam perkara, seakan-akan sebagai penyalah guna untuk diedarkan atau perkara pengedar. Nah, seharusnya hakim dalam memutus perkara kepemilikan narkotika menggunakan prinsip lex spesialis derogat lex generalis.
Artinya?
Menggunakan hukum acara yang diatur pada pasal 127/2 dan fokus pada tujuan dibuatnya UU narkotika (pasal 4d), bukan berdasar KUHAP kemudian memenuhi apa yang dituntut jaksa dalam dakwaannya.
Beda loh, tujuan penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika dan pengedar. Kalau penyalah guna dijamin oleh UU narkotika mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sedangkan pengedar harus diberantas.
Jadi yang masuk penjara itu saja?
Iya. Yang masuk penjara hanya pengedarnya dan mereka yang termasuk anggota sindikat narkotika.
Kalau penyalah guna narkotika dilakukan assesmen, maka sebutannya berubah menjadi pecandu, maka berdasarkan pasal 54, wajib menjalani rehabilitasi.
Dalam pengamatan jenderal, ada berapa banyak pasal yang mengancam penyalah guna didalam UU no 35 tahun 2009?
Hanya satu pasal yaitu penyalah guna bagi diri sendiri (pasal 127/1) dan tidak boleh dituntut dengan pasal lain.
Hanya pasal itu yang dijamin UU mendapatkan hukuman rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Apa perlu UU narkotika direvisi?
Perlu tapi enggak perlu perlu amat. Hanya tinggal buat Peraturan Pemerintah tentang penyidikan dan penuntutan perkara penyalah gunaan narkotika bahwa penyalah guna hanya dapat disidik dan dituntut dengan pasal tunggal yaitu pasal 127/1. Intinya, supaya penjatuhan hukumannya pasti menjalani rehabilitasi.