Kolom  

Business atau Busy-ness?

Business atau Busy-ness?

Seorang CEO baru saja melakukan pelatihan “Time Management” buat seluruh karyawan.  Suatu ketika ia kedatangan tamu, seorang sahabat lamanya yang dikenal sebagai orang bijak.

Sang CEO sungguh antusias menyambut tamunya. Tak lupa, dia menceritakan betapa sibuk karyawannya dan betapa efisien perusahaannya sekarang.

”Ini semua berkat pelatihan ‘Time Management’ tersebut,” ujarnya bangga.

Untuk lebih memberikan kesan, sang CEO tak lupa mengajak tamunya berkeliling.

Anehnya, sang tamu sama sekali tak terkesan. Ia malah tertawa terbahak-bahak dan berkata, ”Sahabatku, itu bukanlah pekerjaan (business), itu adalah kesibukan (busy-ness).”

Ada karyawan yang berpikir, mau melakukan kuliah sembari bekerja. Sementara itu, ia sibuk sepanjang hari, berlari dari satu rapat ke rapat lain dan dikejar berbagai tugas serta target.

Ia ingin menyelesaikan semua secepatnya. Maka, perspektif akan hal-hal penting pun jadi hilang.

Pengalaman saya begini. Setelah mengikuti “Time Management”, tekadnya mengatur waktu dengan ketat.

Pagi hari, minum kopi lima menit, membuat rencana 10 menit. Membaca surat-surat 15 menit. Menjawab surat 30 menit.

Rapat, maksimal dua jam. Koordinasi dengan tim 30 menit. Menangani keluhan pelanggan 30 menit. Begitulah seterusnya.

Semua pekerjaan pun selesai sesuai deadline. Tetapi, saya mulai merasa tertekan. Jadwal-jadwal ini mulai mengatur hidup saya.

Saya kehilangan kebebasan, spontanitas, dan waktu untuk bergurau dengan teman-teman kantor serta orang-orang yang saya cintai di rumah. Singkatnya, saya telah kehilangan ”kemanusiaan” saya.

Seorang kawan lain juga mengalami masalah serupa. Dia pergi berlibur bersama keluarganya ke luar kota. Agar liburannya maksimal, ia rencanakan dan jadwalkan semua kegiatan dengan rapi.

Tiap hari ia mengunjungi tiga objek wisata, masing-masing selama satu jam. Makan siang 45 menit. Shopping satu jam. Berenang satu jam. Dan seterusnya.

Nah, Anda tentunya bisa menduga apa yang kemudian terjadi. Benar, semua anggota keluarganya mengeluh.

Akhirnya, alih-alih mendatangkan kesegaran, liburan model ini hanya mengakibatkan kekecewaan dan menciptakan kesenjangan dalam keluarga.

Kalau begitu, pasti ada yang salah dengan “Time Management”. Benar, “Time Management” kerap kali terlalu memfokuskan diri pada pelaksanaan jadwal.

Padahal, yang perlu kita lakukan bukanlah “prioritizing our schedule”, tetapi “scheduling our priority”.

Time Management” sering membuat jadwal jadi segala-galanya, sampai-sampai kita lupa terhadap apa yang sebenarnya penting.

Sebuah liburan telah menjelma menjadi suatu jadwal yang ketat, jauh dari tujuan semula, yaitu sebagai sarana rekreasi, refreshing, dan meningkatkan komunikasi antaranggota keluarga

“Time Management” acap membuat kita menjadi robot-robot untuk memenuhi jadwal yang kita buat sendiri.

Akhirnya, kita menjadi human doing, yang selalu sibuk melakukan pekerjaan setiap saat. Padahal, kita adalah human being.

Kita harus sadar bahwa prioritas terpenting dalam hidup kita adalah relationship, yaitu hubungan kita dengan sesama manusia.

Di mana pun Anda berada, kunci kesuksesan Anda adalah dari investasi yang Anda buat dengan sesama manusia.

Seharusnya, mulai dulu dengan membuat list of priority, yaitu menemukan terlebih dahulu hal-hal penting. Anda perlu mengajukan beberapa pertanyaan seperti,

“Apa yang benar-benar saya inginkan dalam hidup?” “Bagaimana saya melihat diri saya 10 tahun mendatang?” Bagaimana saya ingin dikenang kalau saya meninggal dunia nanti?”

Jadi, pertanyaan terpenting dalam hidup bukanlah, “Apakah Anda sibuk?”, melainkan, “Apa yang Anda sibukkan?”

 

Tinggalkan Balasan