Catatan FB Dimas Priyanto Yang Viral: Kritik Ketua Dewan Pers Menyesatkan

 

 

 

 

 

MATRANEWS.id KRITIK KETUA DEWAN PERS MENYESATKAN – Catatan FB Dimas Supriyanto Yang Viral

Saya yakin di luar sana, tak ada yang berani mengritik dan menyoroti Dewan Pers. Apalagi ketuanya. Lembaga ini masih cukup berwibawa, dihormati pemerintah dan awak media – juga perusahannya serta kalangan pers pada umumnya, di dalam dan luar negeri.

Satu satunya yang berani mengritik Dewan Pers nampaknya “ordal” alias orang dalam.

Maksudnya orang pers sendiri. Dalam hal ini saya akan melakukannya. Saya masih mengantongi kartu anggota PWI Jaya dan nama saya ada di web Dewan Pers juga. Meski satusnya masih ‘Wartawan Madya’. Tapi apa yang saya sampaikan, saya yakini benar.

Setidaknya saya bisa diajak untuk bersama sama menguji.

Saya terpancing untuk mengritik Ketua Dewan Pers, yang seharusnya tokoh yang saya hormati – karena beliau ketua lembaga dari profesi yang saya geluti – akan tetapi beliau melakukan kesalahan mendasar; menyebarkan informasi setengah benar dan cenderung menyesatkan.

Pada Kamis, 1 Agustus 2024 lalu, portal CNNIndonesia menurunkan berita, “Dewan Pers Kritik Jokowi Ajak Influencer ke IKN Ketimbang Wartawan” mengutip keterangan Ketua Dewan Pers Dr. Ninik Rahayu itu.

Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S. adalah Ketua Dewan Pers sisa masa periode keanggotaan 2022 – 2025 pada 13 Januari 2023.

Sebelumnya, ia menjadi Anggota Dewan Pers periode 2022-2025 mewakili unsur masyarakat sekaligus memimpin Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers. Dr. Ninik dikenal sebagai sosok yang aktif di bidang hukum dan kesetaraan gender.

Pada laman CNNIndonesia, selaku Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu melayangkan kritikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengajak sejumlah pegiat seni dan influencer dalam kunjungan ke IKN Nusantara, Kalimantan Timur, Minggu (28/7) lalu.

“Saya heran kenapa Presiden datang kemarin ke IKN mengajak youtuber dan influencer. Mustinya diajak pers, dong, mereka bisa melihat dengan jernih, sebetulnya dengan segala komprehensif kebijakan IKN untuk diketahui publik tentang ibu kota negara baru,” ujarnya saat membuka acara Workshop Peliputan Pemilu dan Pilkada di Provinsi Maluku, di Ambon, Kamis, (1/8).

Ia bilang mengajak wartawan jauh lebih penting ketimbang pegiat seni dan Influencer. Karena, kata dia, wartawan bisa menggunakan prinsip-prinsip jurnalistik, kerja-kerja demokratis, dan kerja secara profesional.

Lebih lanjut, ia berkata wartawan bisa menyajikan pemberitaan yang memiliki kualitas yang tinggi terkait ibu kota Negara Nusantara. “Kita jadi bingung saat Bapak Presiden ke IKN yang diajak malah influencer,” tuturnya.

BAGI AWAM, berita itu keren dan garang – karena mengritik pemerintah, khususnya menyerang Presiden Jokowi. Tapi berita itu mengandung cacad informasi yang elementer.

Bias, memandang suatu fakta dari satu sisi. Sebab, faktanya Jokowi tidak hanya mengajak influencer melainkan juga awak media. Bahkan secara kasat mata, jumlah awak media lebih banyak dibanding influencer. Fotonya pun tersebar luas, sebagaimana saya pampangkan di postingan ini.

Anda pun bisa “googling” juga (browsing di google) bagaimana Presiden Jokowi beberapa kali mengajak awak media ke IKN, memberikan keterangan dan dialog dengan mereka – dengan intensitas dan jumlah lebih banyak dibanding influencer.

KEPADA Dr. Ninik Rahayu dan reporter CNN Indonesia nampaknya perlu diingatkan bahwa wartawan Indonesia terikat pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ), khususnya Pasal 3 yaitu “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.

Selain itu, perlu diingatkan kepada mereka, adanya prinsip intelektual dalam ilmu peliputan:
1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada;
2) Jangan mengecoh audiens;
3) Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda;
4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri;
5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.

Dalam hal ini, CNN Indonesia dan Ketua Dewan Pers mencoba mengecoh audiens, mengurangi data yang ada dan menganggap diri paling tahu.

Saya tidak membela kehadiran influencer. Saya juga wartawan dan bertahun tahun berpegang prinsip jurnalisme, berkubang di sana. Tak ada seorang pun influencer saya kenal dan tak pernah membuka halaman mereka.

Tapi ini memang zaman influencer, petugas humas di era internet. Mereka memiliki follower jutaan bahkan puluhan juta. Pesan kepada mereka sampai kepada publik dan followernya dengan beragam respon juga tentunya.

Mereka bukan saingan awak media. Dan tidak layak disaingkan dengan media. Karena liputan media punya format yang beda, bernuansa keilmuan dan mempertanggungjawabkan fakta dan data. Dan informasi awak media bisa diuji dan dicek ulang.

Untuk lebih mantap lagi, dan lebih kekinian, Dr. Ninik Rahayu atau reporter CNNIndonesia perlu membaca ulang apa yang disampaikan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya “The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect” (New York: Crown Publishers, 2001).

Kedua jurnalis cendekiawan di bidang pers itu menegaskan bahwa “esensi jurnalisme adalah disiplin verisikasi”. Penting sebagai dasar wartawan bahwa kegiatan jurnalistik memerlukan verifikasi akan fakta-fakta serta bukti yang mereka dapat, demi keakuratan berita yang mereka liput.

Disiplin dalam verifikasi lah yang memastikan wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Membedakan fakta dan fiksi.

Element ini menunjukan bahwa seorang wartawan selalu mencek ulang fakta yang ditemukannya. Mereka tidak percaya dengan satu bukti atau fakta mengenai berita yang sedang dikejarnya. Tidak bias, melainkan berimbang – ‘cover both side’.

PATUT diduga kritik Ketua Dewan Pers yang ditujukan kepada Presiden Jokowi lebih merupakan kecemburuan sosial dan kecemburuan profesi. Karena influencer terkesan diutamakan. Padahal awak media juga nampak begitu dekat dengan kepala negara.

Influencer merupakan “makhluk” baru dalam komunikasi politik. Influencer adalah “pasukan cadangan” yang efektif di era dunia maya saat ini. Kepala negara dan presiden menginginkan agar programnya dikenal masyarakat seluas mungkin sebagai tanda keberhasilannya dalam memimpin pemerintahan dan mereka bisa diandalkan – baik sebagai tim maupun personal .

Influencer bukanlah musuh awak media. Sebab cara kerjanya beda – latar belakang dan penampilannya beda. Influencer kurang lebihnya sama dengan petugas humas, jurkam, MC, juru foto, dokumentator atau elemen komunikasi lainnya yang berlokasi sama dengan awak media – saat meliput kegiatan – sehingga seharusnya tidak perlu dianggap sebagai saingan, melainkan pelengkap.

Betul! Harkat martabat media lebih tinggi, lebih profesional, lebih lengkap dan lebih komprehensif laporannya. Tapi influencer punya kelebihan karena dia punya jutaan – bahkan puluhan juta – follower yang langsung melihat lamannya di media sosial, tidak tercampur dengan yang lain. Dan tak ada kritik.

Lagi pula, tak ada yang perlu dikeluhkan oleh awak media, sebab tak ada kesan Presiden Jokowi menghalangi kehadiran media dan menghambat tugas media.

Tak ada tanda tanda kepala negara menghambat kebebasan pers. Tidak ada sensor dan tekanan apa pun pada media sehingga bebas menulis dan melaporkan secara obyektif kepada pembaca dan pemirsanya.

Mengapa Dr. Ninik Rahayu terkesan senewen?

USUT punya usut, Dr. Ninik Rahayu ternyata bukan insan pers, bukan orang pers.

Meskipun duduk sebagai Ketua Dewan Pers. Posisi Dr. Ninik ternyata sama dengan para Ketua Dewan Pers periode sebelumnya yaitu Prof. Ichlasul Amal, Prof. Bagir Manan, Prof. Mohamad Nuh, dan Prof Azyumardi Azra – mantan pejabat dan akademisi, “titipan” negara – yang ditunjuk untuk duduk dan mengetuai di sana.

Sebelum duduk sebagai Ketua Dewan Pers, Ninik adalah Komisioner Komnas Perempuan pada periode (2006-2014), anggota Ombudsman RI (2016-2021), dan tenaga profesional Lemhannas RI sejak 2020.

Banyak menulis artikel di berbagai jurnal ilmiah, lokal maupun internasional. Juga menulis buku Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia (2021) dan kumpulan tulisan “Menjadi Feminis Muslim” (2022).

Apakah pernyataan Dr. Ninik Rahayu sekadar ingin dianggap sebagai pembela pers? Atau menjadi pengritik pemerintah semata.

Wallahu alam! ***

Tinggalkan Balasan