MATRANEWS.id — ChatGPT
Para ahli mengatakan chatbot kecerdasan buatan seperti ChatGPT mengubah cara siswa belajar. AI semacam ini dapat menulis esai akademis yang terlihat sempurna. Apakah ini ancaman bagi pendidikan atau justru jadi peluang?
https://www.dw.com/id/bagaimana-chatgpt-mengubah-pendidikan/a-64520776
Ketika Doris Wessels log in ke ChatGPT untuk pertama kalinya, ia merasa seperti masuk ke dunia lain. “Sungguh sebuah momen ajaib,”
Ia mengaku langsung mencoba chatbot bertenaga kecerdasan buatan atau AI itu hanya beberapa hari sejak dirilis dan dibuat terkagum-kagum oleh teknologinya.
Wessels adalah seorang profesor informatika bisnis yang berbasis di Kiel University of Applied Sciences. Ia telah meneliti kecerdasan buatan (AI) dan pengaruhnya terhadap pendidikan selama bertahun-tahun.
Kekaguman Wessels bukan tanpa sebab. Pasalnya, siapa pun dapat berinteraksi dengan ChatGPT melalui browser internet.
Tinggal mengetik pertanyaan atau perintah, ChatGPT akan memberikan respons (hampir untuk semua hal).
ChatGPT dirilis ke publik pada 30 November 2022 oleh sebuah perusahaan bernama OpenAI.
Klaimnya adalah ChatGPT mampu menjelaskan, memprogram, dan berdebat dengan efisiensi sama seperti manusia.
Dalam lima hari setelah perilisannya, satu juta orang telah mendaftar untuk menggunakannya.
ChatGPT mengancam pendidikan?
Mike Sharples, seorang profesor emeritus di Universitas Terbuka di Inggris Raya, memperingatkan bahwa “GPT mendemokratisasi plagiarisme.”
Ia sebelumnya mencoba meminta AI itu untuk membuat artikel ilmiah dan hasilnya menurutnya “bisa lulus tinjauan akademis pertama.”
Hal ini mengkhawatirkan Wessels, dengan mengatakan universitas terancam tertinggal.
Di satu sisi ada industri perangkat lunak yang mengembangkan AI menjadi semakin canggih, sementara di sisi lain, ada sejumlah mahasiswa yang pemahamannya menggunakan AI untuk pendidikan, lebih cepat dibanding staf akdemik atau profesor mereka.
Wessels bahkan melihat adanya “kemungkinan skenario horor” di mana profesor tidak menaruh curiga terhadap mahasiswanya dan merasa melakukan pengajaran dengan sangat baik karena mahasiswa dapat menyelesaikan tugas tanpa kesalahan.
Padahal sebenarnya tugas tersebut dikerjaan oleh ChatGPT atau sistem serupa.
Debarka Sengupta, seorang pakar AI yang berbasis di New Delhi, juga memiliki kekhawatiran serupa.
“Semua orang di India tahu tentang ChatGPT,” katanya. Ia khawatir standar akademik akan menurun jika mahasiswa mulai tergantung pada teknologi kecerdasan buatan terbuka semacam itu.
Jika mereka berhenti belajar bagaimana menulis esai sendiri dan justru menggunakan ChatGPT sebagai gantinya, mereka bisa menjadi “sangat tidak kompeten dan kecanduan,” kata Sengupta yang menjabat sebagai Pimpinan Pusat Infosys untuk Kecerdasan Buatan di Institut Teknologi India.
Meski begitu, ia menilai data yang ada masih terlalu sedikit untuk menguatkan ketakutan tersebut, mengingat ChatGPT baru dirilis selama dua bulan.
Sengupta juga mengatakan, “plagiarisme dan kecurangan selalu ada” akan tetapi motivasi belajar siswa tidak boleh diremehkan.
Dalam kesempatan terpisah, Sharples menambahkan bahwa “mahasiswa datang ke universitas untuk belajar, bukan untuk menyontek.”
Bagaimana AI bisa membantu?
Bernadette Mathew adalah salah satu mahasiswa Sengupta yang sedang meneliti pertumbuhan kanker guna mendapatkan gelar PhD di bidang Biologi.
Eksperimen Mathew menghasilkan sejumlah besar data yang perlu dianalisis, sehingga memerlukan bantuan komputer untuk melakukan otomatisasi dan mempercepat proses analisis datanya. Mathew merasa ChatGPT sangat membantu dalam hal tersebut.
ChatGPT menurutnya menjelaskan apa yang tidak ia mengerti tentang coding, dan membantunya menemukan error dalam bahasa program yang ia tulis sendiri. Mathew bahkan kadang membiarkan chatbot itu melakukan coding sendiri.
“Mengobrol dengan ChatGPT seperti mengobrol dengan orang sungguhan,” kata Mathew. “Jika saya tahu ini sebelumnya, saya bisa menghemat banyak waktu dan pekerjaan,” tambahnya.
Mathew mengatakan, ChatGPT akan “merevolusi” karya ahli biologi eksperimental, karena memungkinkan para peneliti untuk fokus pada penelitian mereka, dibanding harus belajar cara membuat bahasa pemrograman.
Wessels juga tidak menampik bahwa ChatGPT dapat membantu mahasiswa di bidang lain.
Menurutnya ChatGPT dapat mendorong mereka untuk menemukan kata-kata pertama dari sebuah esai yang biasanya jadi hal tersulit dalam menulis. Wessels menyebutnya sebagai “ketakutan akan halaman kosong.”
Pentingnya peran manusia
ChatGPT sejatinya tidak memahami esai yang ditulisnya. Bak burung beo di kantor seorang profesor yang mendengarkan dan menirukan percakapan, chatbot AI juga hanya memproses dan menyajikan bahasa dan fakta yang telah diberikan kepadanya. Dan itu bisa menimbulkan masalah.
Jadi, seperti halnya teknologi AI lainnya, manusia tetap diharuskan meninjau dan mengoreksi tulisan yang dihasilkan oleh AI.
Para ahli yang diwawancara DW mengatakan, teknologi ini tidak akan hilang. Meski beradaptasi menggunakan ChatGPT akan menjadi tantangan dalam mengajar, keberadaannya menurut mereka bisa menjadi peluang bagi universitas untuk menjadi lebih baik dalam mendidik dan mengajar. #DMC
#SEMANGATBERUBAH