Pendekatan heuristika hukum dalam sistem pemidanaan sebagaimana dikemukakan Ketua Mahkamah Agung (MA), Muhammad Syarifudin, dapat mengatasi problematika penegakan hukum di Indonesia.
Penilaian itu disampaikan oleh Guru Besar Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Prof Zainal Arifin Hoesein.
”Hakim dalam membuat putusan tak boleh terbelenggu dengan ketentuan dan norma yang kaku. Sebaliknya, ia harus menggali berbagai sisi dan membuat analisa sebelum membuat putusan,” ujar Zainal masih tentang Pembauran Sistem Pemidanaan Dalam Praktek Peradilan modern .
Zainal mengatakan, pendekatan heuristika menuntut kreativitas hakim dalam pemahaman konteks. Seperti yang diungkap Prof HM Syarifuddin, eksistensi hakim dalam penegakan hukum dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman dalam mengadili perkara.
”Teks itu perlu, namun perkembangan lingkungan sosial (konteks) harus menjadi pertimbangan pemidanaan untuk tercapainya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum,” jelasnya. Dimana hakim menyelaraskan hukum dan keadilan, ibaratnya tritunggal: hakim, hukum, keadilan.
Prof Zainal Arifin mencontohkan, dalam sebuah kasus pencurian misalnya, dalam dakwaan biasanya, jaksa telah menentukan unsur-unsur pasal yang diterapkan kepada si pelaku. Kemudian, kalau terbukti, pelaku dihukum sekian tahun.
”Sesungguhnya, penerapan hukum bukan sekedar itu tapi mestinya digali kenapa dia kok sampai mencuri? Karena secara nurani, tidak ada manusia hobi mencuri, manusia selalu ingin berbuat baik. Tapi kenapa dia tiba-tiba mencuri? Ini yang harus digali,” katanya.
Untuk itu, hakim dituntut aktif dan kreatif serta tidak boleh berpangku tangan. Bahkan, jika perlu hakim tak usah ragu melakukan pendekatan secara antropologis pun sosiologis untuk mengetahui latar belakang dari sebuah kasus, sebelum akhirnya menjatuhkan putusan.
”Ini merupakan solusi yang bersifat futuristik. Karena putusannya didasari oleh pertimbangan secara holistik sehingga mecapai kebenaran koherensial,” ucapannya mengenai norma baru yang disebut seni menjadi perangkat kerja hakim yang bijak.
Selain berperan dalam pemidanaan, putusan hakim diharapkan mampu menjadi pembaharu hukum. Karena hakim satu-satunya jabatan yang diberi kewenangan untuk menjalankan, sebagian dari kekuasaan Tuhan. Maka, hakim yang arif dan bijak itu perlu.
Juga dituntut memiliki kemampuan intelektualitas, moralitas, dan integritas serta pemihakan kepada nilai kebenaran, kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Permasalahan yang muncul dalam prakteknya, dalam penegakan hukum bisa pro-kontra di masyarakat. Masyarakat pada umumnya subyektif dalam memaknai keadilan. Sehingga dikuatirkan muncul sikap skeptis terhadap hukum dan kinerja aparat penegak hukum menjadi rendah .
Untuk itu, hakim juga harus memiliki keberanian untuk keluar dari belenggu norma hukum statis dalam bentuk undang-undang. ”Ingat hakim bukan corong undang-undang. Apalagi, jika materi muatan undang-undang tersebut justeru dapat menjadi penghalang keadilan,” kata Zainal.
Jadi, apa yang disampaikan oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) dalam pidato pengukuhan Guru Besar di Universitas Diponegoro beberapa waktu lalu, menurut hemat saya sudah tepat. Dimana Heuristika membuka kemungkinan solusi di luar kebiasaan yang cenderung “kaku”.
”Tinggal bagaimana para hakim memaknai tantangan tersebut. Idealnya hakim adalah lokomotif pembaruan lembaga peradilan,” ujar Zainal tentang keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Agar permasalahan yang penuh ketidakpastian, dipahami cepat, tepat dan efektif.
Zainal memuji lompatan pemikiran Prof Syarifuddin, yang mengangkat tingkat pemahaman terhadap hukum pada sebatas aturan an sich, ke pemahaman yang sistemik. Karena secara organik hukum bersifat dinamis dan bersegi banyak.