Tulisan ini pernah dimuat di majalah MATRA dan majalah eksekutif.
Kaca Mata ”Tiga Lingkaran”. Kaca mata ini sangat powerful untuk melihat masalah.
Sesuai namanya, kaca mata ini berbentuk 3 lingkaran.
Lingkaran pertama disebut ”Has Influence, Has Control”.
Ke dalam lingkaran ini, cobalah Anda masukkan hal-hal yang dapat dikendalikan dan dipengaruhi, misalnya, perilaku diri sendiri.
Bukankah perilaku Anda sepenuhnya berada di bawah kontrol diri Anda sendiri? Nah, begitu pula dengan cara berpikir, kesehatan, dan gaya hidup Anda.
Lingkaran kedua disebut “Has Influence, No Control”.
Lingkaran ini mencakup hal-hal yang tak dapat Anda kendalikan, tetapi masih bisa Anda pengaruhi.
Bos Anda misalnya. Anda tentu tak dapat mengendalikannya (jangankan bos, anak kita sendiri saja sulit dikendalikan). Tapi, Anda masih punya peluang untuk memengaruhinya, misalnya dengan menyampaikan usulan. Begitu juga dengan pencapaian target.
Anda tak dapat mengendalikannya, tapi dapat memengaruhinya.
Kalau Anda bekerja sebagai tenaga penjualan, Anda bisa memengaruhi target penjualan secara langsung (direct influence).
Namun, jika Anda bekerja di bagian produksi atau administrasi, bukan berarti Anda tak dapat melakukan apa-apa. Anda juga dapat bekerja untuk membantu memperlancar proses penjualan. Ini namanya indirect influence.
Lantas, bagaimana dengan naiknya BBM seperti yang disebutkan di awal tulisan ini?
Tergantung pada posisi Anda sekarang. Kalau Anda wakil rakyat, kolumnis, pakar, atau pengamat ekonomi, Anda tentu saja memiliki pengaruh. Tapi, bagaimana kalau kita ”hanya” menjadi pelaku bisnis atau profesional biasa?
Tentu saja Anda tak bisa memasukkan hal ini di lingkaran kedua.
Bagi Anda hal ini masuk ke lingkaran ketiga, yaitu ”No Influence, No Control”. Ini merupakan hal-hal yang tak bisa kita pengaruhi maupun kita kendalikan.
Ada banyak hal dalam kategori ini: bencana alam, krisis ekonomi, biaya hidup yang semakin tinggi, pencemaran udara, kondisi keamanan, dan sebagainya. Yang bisa kita lakukan hanya satu: pasrah!
Namun, sebelum Anda salah paham, saya perlu meluruskan hal ini. Pasrah yang dimaksud bukanlah menyerah begitu saja tanpa melakukan apa pun. Pasrah bukan berarti tak berdaya. Pasrah justru merupakan kekuatan terbesar untuk mempertahankan hidup.
Ada dua bahasa pokok dalam menghadapi masalah, yaitu ”Why” dan ”What”. Orang yang reaktif senantiasa menanyakan “Why”. Mereka tak dapat menerima kondisi ini. Ini membuat mereka makin frustrasi dan kehilangan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah.
Sebaliknya, orang yang proaktif menerima masalah ini dengan pasrah.
Bagi mereka, pertanyaannya adalah ”What”, tepatnya ”What can i do?” Pertanyaan ini akan memacu otak kita untuk bekerja dan menggiring pikiran kita dari Lingkaran Ketiga menjadi Lingkaran Pertama.
Bencana Alam tak dapat dikontrol, tapi kita dapat merespons hal itu dengan menyesuaikan perilaku dan gaya hidup kita. Teruslah mengucap syukur apa yang terjadi dan kita terus bergerak untuk saling peduli. Rasa bahagia jangan dilupakan.
Managing Director Institute for Leadership & Life Management (ILM)
serta Pengarang Buku Best Seller Life is Beautiful
baca juga: majalah eksekutif terbaru — klik ini
klik: marketplace pria sejati — klik www.majalahmatra.com