MATRANEWS.id — Laut Cina Selatan (LCS) memang masih dalam ranah konflik yang belum berujung.
Tidak hanya enam negara yang teritorinya meliputi perairan itu, Amerika Serikat dan juga Inggris ikut memainkan peran.
“Di tengah makin memuncaknya konflik LCS. Di sinilah urgensi modernisasi Alutsista sangat penting untuk percepatan,” ujar Kadispenal Laksamana Pertama TNI Julius Widjojono. CHRMP
Juru bicara TNI AL itu menegaskan eksistensi TNI Angkatan Laut di selat Malaka.
Kehadiran kapal perang TNI AL dimana pun kawasan teritori Indonesia ini menjadi pengawal perbatasan melindungi ketahanan nasional.
“Indikasi pentingnya jalur laut kepulauan Indonesia,” masih dalam penjelasan Kadispenal memanggapi Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) yang sedang melakukan operasi dan latihan di Laut China Selatan.
Kapal dari TNI AL terus memonitor pergerakan tiga kapal perang AS. Kapal USS Princeton -CG-59, USS Nimitz (CVN-68) dan USS Sterett (DDG-104). Mereka berada di perairan internasional timur Sumatera
Pergerakan dan aktivitasnya dipantau oleh KRI yang sedang melaksanakan operasi di Selat Malaka.
Unsur KRI tersebut antara lain KRI Todak-631, KRI Halasan-630, KRI Krait-827, KRI Pari-849 dan KRI Sikuda-863, serta Pesawat Udara Patmar Cassa P-8203 saat melintas di sepanjang Selat Malaka.
Adanya Kapal perang Republik Indonesia (KRI) di seluruh perairan Yurisdiksi Nasional Indonesia terutama di lokasi-lokasi strategis seperti Selat Malaka dilaksanakan secara konsisten.
Tentu saja, sesuai instruksi Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Yudo Margono, S.E., M.M. Yang meminta armada TNI AL untuk yang terdepan menjaga kedaulatan RI.
Ramai diperbincangkan, di media massa internasional latihan itu digelar pada saat China kemarin melakukan latihan militer di LCS.
Angkatan Laut AS seakan menunjukkan sinyal yang jelas kepada mitra dan sekutu untuk merespons latihan yang dilakukan militer China.
Pengamat militer menyebut, ada enam pemain di jaringan kompleks klaim wilayah yang tumpang tindih di Laut China Selatan.
Pertama adalah Negara China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei menggunakan versi sejarah yang berbeda-beda untuk mendukung pernyataan kedaulatan mereka.
China mengklaim bagian terbesar, mempertahankan haknya atas hampir 90 persen Laut China Selatan, menduduki semua Kepulauan Paracel dan sembilan terumbu karang di Spratley, termasuk Fiery Cross Reef dan Johnson South Reef.
China mendasarkan klaimnya pada apa yang disebut “sembilan garis putus-putus ” yang membentang hampir 2.000 kilometer dari daratan China hingga beberapa ratus kilometer dari Filipina, Malaysia, dan Vietnam.
Sementara garis ini baru pertama kali muncul di peta resmi pada tahun 1948, China menyatakan bahwa itu adalah konfirmasi hak China, bukan penciptaan klaim baru―memperdebatkan kedaulatan berdasarkan penemuan dan penggunaan historis.
Dengan sejarah bersama mereka, klaim luas Taiwan atas wilayah tersebut mencerminkan klaim China.
Penggunaan historis juga digunakan untuk mendukung argumen teritorial baik Vietnam dan Filipina, dengan keduanya menempati sejumlah fitur―seperti terumbu karang atau pulau-pulau yang sebagian besar tidak berpenghuni―di Laut China Selatan.
Laut China Selatan adalah jalur tercepat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia, dan merupakan tempat bagi beberapa jalur pelayaran tersibuk di dunia.
Lebih dari setengah kapal tanker minyak dunia, dan bahan mentah lainnya―seperti batu bara dan bijih besi dari Australia―melewati jalur perairan yang diperebutkan ini, dengan total perdagangan tahunan yang melalui area ini diperkirakan bernilai lebih dari 4 triliun dolar Australia.
Laut China Selatan juga menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika. Laut China Selatan tidak hanya penting untuk rute pengiriman.
Di Laut China Selatan ada banyak cadangan minyak dan gas yang belum tereksploitasi―Laut China Selatan juga merupakan tempat bagi sumber penangkapan ikan yang melimpah.
Benarkah?