Kado Manis dari Jenderal Listyo

SS Budi Raharjo Ketua Asosiasi Media Digital Indonesia Bersama Kapolri

MATRANEWS.id — Kado Manis dari Jenderal Listyo

Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang ke-25, tak henti membenahi kesatuannya. Sepak terjangnya — yang tegas terhadap anggotanya, semata ditujukan untuk menciptakan kepolisian yang profesional. Ketegasan dan terobosannya menjadi kado yang manis di Hari Bhayangkara. 

SEBUAH pertanyaan tak biasa tiba-tiba muncul di sela acara wisuda Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) Tahun Ajaran 2023, di Lemdiklat Polri, Jakarta, 21 Juni lalu. Pertanyaan itu dilontarkan Jenderal Listyo Sigit Prabowo kepada para wisudawan tentang kemampuan mereka untuk lulus dalam ujian praktik surat izin mengemudi atau SIM.

“Saya kira, kalau yang di sini saya uji dengan materi tes yang ada ini mungkin dari 200 yang lulus paling 20. Bener enggak? Enggak percaya?,” tanyanya. “Atau hari ini langsung saya bawa ke Daan Mogot, kalian langsung saya uji. Ya, karena kalau yang lolos dari situ pasti nanti lulus bisa jadi pemain sirkus.”

“Pemain sirkus” yang dimaksud orang nomor satu di Kepolisian Republik Indonesia itu tentu saja adalah mereka yang memiliki keahlian luar biasa dalam mengemudikan kendaraan.  Dengan kata lain, ujian praktik SIM ini, menurut Listyo teramat sulit bagi peserta. Kecuali pemain sirkus, orang yang sudah piawai mengendarai kendaraan akan mengalami kesulitan untuk lulus.

Di jagat media sosial tentu saja riuh soal berita itu.

Kebanyakan dari netizen merasa kegalauan mereka tersampaikan dengan pernyataan Kapolri ini. Bukan rahasia umum, ujian praktek SIM menjadi momok bagi mereka. Seperti yang disebutkan Kapolri, ujian praktek seperti menyusuri angka delapan dan melakukan zig-zag merupakan tes yang tidak mudah ditaklukkan.

Walhasil, meski sudah terampil toh mereka kerap kali dinyatakan tidak lolos ujian tersebut. Tak pelak dengan pernyataan itu, siapa pun – terutama mereka yang pernah gagal dalam tes ini, berharap ada perbaikan dalam pelaksanaan ujian praktek pengambilan SIM ini.

Dengan kata lain, pernyataan Kapolri ini merupakan kritik pada institusinya sendiri.

Mantan Kadiv Propam Polri itu menilai dua jenis praktik pembuatan SIM tersebut sudah tidak relevan lagi saat ini.

Menurut Jenderal bintang empat ini, sebaiknya ujian praktik itu disesuaikan dengan nilai-nilai keselamatan dan tertib berlalu lintas. Contoh yang disampaikan antara lain, bagaimana pemegang SIM menghargai keselamatan para pengguna jalan dan bagaimana memiliki keterampilan saat mengendarai kendaraan.

Mantan Kabareskrim Polri ini pun mengingatkan agar pembuatan SIM oleh Polri terkesan mempersulit masyarakat yang pada akhirnya menggunakan cara-cara yang melanggar aturan. “Jangan terkesan bahwa pembuatan ujiannya khususnya praktik ini hanya untuk mempersulit dan ujung-ujungnya di bawah meja, enggak tes, malah lulus. Ini harus dihilangkan,” ujarnya.

Untuk perbaikan praktek pembuatan SIM ini, Jenderal Sigit – panggilan akrabnya, memerintahkan jajaran Korlantas melakukan studi banding dan segera menyesuaikan. Tujuannya tak lain agar mempermudah masyarakat. “Jadi, saya minta studi banding segera, kalo bisa satu bulan ini ujian praktik SIM dipermudah, disesuaikan,” kata Sigit.

Kritik Kapolri terhadap uji praktik SIM ini pun mendapatkan apresiasi dari kalangan parlemen. Anggota Komisi III DPR RI, Rano Alfath, hal ini merupakan kemampuan Polri keluar dari zona nyaman dan siap menerima kritik langsung dari masyarakat.

“Kondisi ini sudah puluhan tahun di Indonesia tapi Pak Kapolri adalah orang pertama yang point out soal hal itu, saya akui ini hebat,” kata Rano seperti dikutip RMOL, Sabtu (24/6).

Rano — legislator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini pun mendukung langkah Jenderal Sigit dalam mengkaji prosedur pembuatan SIM. “Pada intinya kami menyambut baik segala ide dan inisiatif yang diberikan Pak Kapolri untuk semua perubahan yang sifatnya positif dan pelayanan publik yang lebih optimal,” katanya.

***

SEPAK terjang Jenderal Listyo dalam memperbaiki wajah Kepolisian Republik Indonesia memang tidak main-main. Terhitung sejak memangku jabatan ini, pada 27 Januari 2021, publik mencatat banyak tindakannya yang dinilai berhasil mengembalikan kepercayaan pada korps kepolisian terutama saat mereka tercoreng kasus besar.

Kasus terbunuhnya Brigadir J, salah satunya. Kala itu, pada pertengahan 2022, akibat kasus ini citra kepolisian pun tenggelam. Survei yang dilakukan Litbang Kompas, citra positif Bhayangkara turun hingga 48,5 persen. Hasil yang terjadi pada Oktober 2022 itu merupakan yang terburuk dalam dua tahun terakhir.

Ambruknya citra positif ini tak lain karena berhamburannya kasus yang terjadi di tubuh kepolisian. Selain kasus Kadiv Propam Ferdy Sambo, hampir bersamaan juga terjadi kasus Kanjuruhan yang menewaskan sekitar 134 penonton sepak bola. Ketika itu, pihak kepolisian dinilai publik lalai dalam menangani keamanan di stadion.

Kasus lainnya yang menggerus citra itu adalah keterlibatan Irjen Teddy Minahasa dalam kasus narkoba. Dia diduga menukar barang bukti sabu dengan tawas.

Tindakan tegas pun dilakukan jajaran Polri. Untuk kasus Ferdy Sambo, misalnya yang mendapatkan sorotan publik yang sangat besar — Kapolri kemudian membentuk tim khusus yang dipimpin oleh Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono.

Kasus ini pun diambil dari penanganan yang sebelumnya dilakukan Polda Metro Jaya. “Tidak akan ada yang ditutup-tutupi, semua kami buka sesuai fakta, ungkap kebenaran apa adanya, jadi itu yang menjadi pegangan kami,” ujar Jenderal Sigit kala itu.

Tim itu bergerak cepat dengan menetapkan Bharada E sebagai tersangka dalam kasus ini. Dalam waktu beberapa hari saja, timsus kemudian menetapkan tiga tersangka lainnya, Brigadir Ricky Rizal, Kuat Maruf, dan Ferdy Sambo.

Selain itu, timsus juga memastikan tak ada peristiwa tembak menembak antara Yosua dan Richard. Yang terjadi, menurut Listyo Sigit, Richard menembak Yosua atas perintah Ferdy. Belakangan polisi pun menyatakan tak ada bukti yang menguatkan peristiwa pelecehan seksual terhadap istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.

Kasus ini kian terang benderang setelah Brigadir E mengajukan diri sebagai justice colaborator. Dengan mendapat jaminan keselamatan dari LPSK, Brigadir E mengungkap semua yang terjadi yang sebelumnya tertutupi misteri yang kemudian membuat publik geleng-geleng kepala.

Sungguh di luar dugaan, memang. Apalagi kemudian terkuak juga upaya perintangan pengungkapan kasus ini – yang juga disutradarai oleh Ferdy Sambo. Di balik wajah polisi nan buruk namun publik melihat kesungguhan dari korps Bhayangkara untuk menuntaskan kasus ini – seperti kata Listyo, secara terang benderang.

Dalam kasus Kanjuruhan, Polri pun bergerak cepat. Kapolri Listyo Sigit Prabowo menerjunkan enam tim dari Mabes Polri untuk menginvestigasi tragedi tersebut. Keenam itu di antaranya terdiri dari unsur Bareskrim, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), dan Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis).

Listyo pun memastikan tim yang diboyong dari Jakarta tersebut akan mengecek semua data, baik dari panitia pelaksana pertandingan, petugas di lapangan, maupun rekaman CCTV di dalam stadion.

“Yang jelas kami akan serius dan mengusut tuntas. Ke depan terkait proses penyelenggaraan, proses pengamanan, nanti akan kita diskusikan. Tentunya akan menjadi acuan dalam proses pengamanan liga,” ucapnya.

Sedangkan dalam kasus Teddy Minahasa, kepolisian pun dinilai publik bersikap netral. Selain diberhentikan, Teddy pun harus menjalani hukuman penjara seumur hidup.  Kerja keras itu berbuah hasil.

Tingkat kepercayaan publik pun meningkat.  Seperti yang ditunjukkan dalam hasil survei yang dilakukan Indikator Politik, Desember silam, kepercayaan kepada institusi Polri kembali menguat dalam dua bulan terakhir, yakni mencapai angka 60,5%.

Si Pendiam yang Tak Mudah Terprovokasi

Sikap kepemimpinannya telah terlihat sejak remaja. Jenderal Sigit tetap memilih hidup penuh dengan kesederhanaan.

KELAS itu hampir tak bersuara. Senyap. Aneh, tentu saja. Padahal layaknya kelas penuh siswa apalagi pada saat jam kosong sudah pasti riuh rendah. Rupanya, hanya ada tiga siswa yang ada di dalam kelas itu.

Lainnya? Mereka pergi pulang karena jam pelajaran itu kosong tak ada guru.  Satu dari tiga siswa itu adalah Listyo Sigit Prabowo – yang merupakan salah satu bintang pelajar di SMA Negeri 8 Yogyakarta.

Peristiwa yang terjadi lebih dari 30 tahun silam itu masih diingat dengan baik oleh  Suhardi, salah seorang guru di sekolah itu. Pada saat Sigit dicalonkan menjadi Kapolri pada 2021 lalu, Pak Hardi – sapaan akrab, banyak ditanya soal anak muridnya itu.

“Mas Listyo Sigit dulu itu pendiam, anaknya tidak macam-macam,” ungkap Suhardi – yang tak lain adalah guru seni rupa kala itu.

Menurut cerita dia lagi, pada masa itu karakter kepemimpinan Listyo Sigit sudah terbentuk. Remaja yang aktif dan kompeten di seni beladiri ini merupakan sosok yang tak mudah terprovokasi Contohnya ya itu tadi. Saat siswa lainnya madol, dia memilih tinggal di kelas.

Sigit tentu saja siswa favorit. Guru-guru pun menyayanginya. Selain hebat di bidang olahraga, Listyo Sigit kecil juga selalu mendapat ranking lima besar di sekolahnya. Di segi non akademis, dia juga hebat. Di ajang seni beladiri, dia pernah menjadi juara bahkan sampai di tingkat kompetisi provinsi.

Usai menyelesaikan pendidikan SMA, Sigit melanjutkan ke Akademi Kepolisian.  Tiga tahun berselang dia pun lulus. Karier selanjutnya sungguh cemerlang. Dimulai dengan beberapa kali menjadi kepala kepolisian tingkat resor, di antaranya Kapolres Pati pada 2008.

Dua tahun berselang, Sigit dipromosikan menjabat sebagai Wakapolrestabes Semarang. Setahun setelah itu, Sigit mendapat tugas menjadi Kapolresta Surakarta tatlaka Presiden Joko Widodo masih menjabat sebagai Wali Kota Solo.

Setelah itu, kariernya sebagai polisi kemudian berada di jalur Bareskrim. Sigit ditarik menjadi Kasubdit II Dittipidum pada 2012. Setahun berselang, pada tahun 2013 Sigit diangkat menjadi Dirkrimum Polda Sulawesi Tenggara.

Karier kepolisian Listyo Sigit Prabowo perlahan terus melejit. Satu yang paling penting adalah reuni-nya dengan Jokowi. Pada 27 Oktober 2014, Jokowi yang menjadi presiden menunjuknya sebagai ajudan.

Setelah dua tahun bertugas sebagai ajudan presiden, Sigit dipromosikan dengan pangkat brigadir jenderal dan menduduki posisi sebagai Kapolda Banten. Promosi ini sungguh istimewa, yakni membuatnya sebagai Kapolda termuda.

Bertugas selama dua tahun di sana, pada 2018 Sigit diangkat menjadi Kadiv Propram Polri dengan pangkat barunya, Inspektur Jenderal. Setahun bertugas di sana, kariernya kian benderang. Dia diangkat menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (Kabareskrim) menggantikan Idham Azis yang diangkat menjadi Kapolri pada tahun 2019. Pangkatnya pun naik lagi. Dia punya tiga bintang di pundaknya atau Komisaris Jenderal.

Karier yang cemerlang tetap membuatnya sebagai pria yang rendah hati. Sigit yang dilahirkan di Ambon, Maluku pada 5 Mei 1969 ini, menunjuk masa lalunya yang membuatnya tetap tampil sebagai orang yang sederhana. “Saya berangkat dari orang susah juga. Sama (dengan kebanyakan orang),” katanya.

Walhasil, Sigit yang terlahir dari keluarga besar prajurit TNI Angkatan Darat dan menjalani kehidupan pas-pasan membuatnya tetap menjalani hidup yang sederhana.  “Saya bersyukur dibesarkan di Kota Gudeg yang memiliki biaya hidup rendah,” katanya.

Kesederhanaan itu yang membuatnya terus naik kelas. Hingga akhirnya, suami dari Juliati Sapta Dewi Magdalena pun mencapai puncak kariernya sebagai orang nomor satu di korps kepolisian negeri ini. Toh itu saja tidaklah cukup. Sigit ingin korps yang dipimpinnya memberikan pelayang terbaik dan mengayomi masyarakat dengan baik.

“Prabu Puntadewa” Sosok Lain Listyo Sigit

Bagi Jenderal Listyo Sigit, wayang tak hanya semata seni pertunjukan tapi juga punya sarat filosofi dan membuat dekat dengan masyarakat.

Gerak tangannya begitu luwes. Membawakan peran sebagai Prabu Puntadewa, sekilas penampilannya tak ubahnya bak penari profesional. Namun siapa yang menduga sosok yang menjadi salah satu tokoh sentral dalam lakon “Pandawa Boyong” itu adalah orang nomor satu di Kepolisian Republik Indonesia.

Malam itu, pertengahan Januari silam, di Taman Ismail Marzuki, bersama kepala staf tiga angkatan Tentara Nasional Indonesia, plus sang panglima,  Jenderal Listyo Sigit Prabowo melepas baju kebesarannya dan menjadi wayang orang.  Mereka adalah Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memerankan sosok Bima Sena, KSAD Jenderal Dudung Abdurachman memerankan sosok Batara Guru, KSAL Laksamana Muhammad Ali berperan jadi Batara Baruna, dan KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo memerankan Eyang Abiyasa.

Ada pun Sigit dalam pementasan itu memerankan Prabu Puntadewa. Dalam pewayangan tokoh ini selain digambarkan sebagai sosok yang berhati suci dan membela kebenaran, Puntadewa juga merupakan penyabar, tekun beribadah, ikhlas, dan jujur.

Dalam lakon Pandawa Boyong ini, mereka yang merupakan lima ksatria bersaudara boyongan atau pindah dari Alengka yang dikuasai Kurawa ke Astinapura. Kedatangan mereka tak lain  untuk memerdekakan diri dari kekuasaan Kurawa.

Walhasil, mereka pun harus berperang melawan Kurawa — yang tidak saja jumlahnya jauh lebih besar tapi juga punya persenjataan yang lengkap. Namun semangat kerja keras dan kesungguhan yang didasarkan niat baik, Pandawa dapat memenangkan perang. Mereka pun berhasil merebut Astinapura.

“Astinapura itu adalah haknya Pandawa, tapi direbut oleh Kurawa sehingga terjadi perang besar dan dimenangkanlah oleh Pandawa. Tentunya di mana-mana angkara murka pasti akan kalah dengan yang melaksanakan dengan jujur, dengan ikhlas,” ujar Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, sang penggagas pertunjukan.

Laksamana Yudo memang sang pemilik ide. Dia tidak saja mengajak para kepala staf di lingkungan TNI tapi juga Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dia pun antusias menyambut undangan itu.

“Saya kira pagelaran ini sangat luar biasa karena Pak Panglima, seluruh Kepala Staf dan teman-teman perwira tinggi yang lain dari semua angkatan juga ikut bergabung. Jadi ini tentunya sesuatu yang sangat luar biasa,” ujar Jenderal Sigit saat konferensi pers.

Tapi dia tidak sendirian. Dia kemudian mengajak personel Polri lainnya untuk ikut bermain dalam pagelaran wayang Pandawa Boyong. “Karena itu kami juga mengajak beberapa personel Polri ikut bergabung dalam kegiatan pagelaran wayang orang,” tutur dia.

Setelah mengikuti beberapa kali latihan, mereka pun manggung.

Hasilnya, seperti yang terlihat di kanal Youtube, pergelaran itu terbilang sukses. Beberapa kali terlihat adegan yang memancing gelak tawa. Dan, boleh dibilang, Jenderal Sigit yang memerankan Prabu Puntadewa menjadi salah satu bintang dari pertunjukan.

Bila Jenderal Sigit tampak luwes menari dan tak canggung dalam memerankan tokoh sang prabu itu tentu saja tidak mengherankan. Sebabnya, wayang bukanlah hal yang baru bagi dia. Mantan Kapolda Banten ini menyatakan sangat menggemari kesenian tradisional wayang. Alasannya, dalam pertunjukan yang dimainkan sang dalang, dia mendapatkan banyak sekali tentang filosofi hidup.

Rupanya kesukaan terhadap wayang sudah berlangsung sejak kecil. Kala itu, dia mampu bertahan di dingin malam untuk menyaksikan pertunjukan wayang kulit. “Dari kecil, saya hobi menonton wayang. Kebetulan ada teman yang jadi dalang juga,” paparnya.

Kegemarannya ini juga terus berlanjut saat menjadi pemimpin korps Bhayangkara. Menurut dia, melalui wayang berbagai petuah bisa disampaikan kepada masyarakat dengan baik. Itu juga yang diakukannya pada saat perayaan  dalam rangka HUT Ke-76 Bhayangkara, tahun lalu.

Kala itu, di  Lapangan Bhayangkara Mabes Polri, Jakarta, 2 Juli, tampil tiga dalang sekaligus yakni Ki Yanto, Ki Anom Dwijokangko dan Ki Anom Sutrisno, dalam lakon  “Semar Membangun Kahyangan”. Jenderal Sigit menyatakan lakon ini sebagai perwujudan dari upaya Bangsa Indonesia membangun pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global akibat pandemi COVID-19 dan konflik Rusia-Ukraina yang berdampak pada krisis pangan dan energi.

Selain itu pementasan wayang ini merupakan upaya Polri yang disebutnya mendorong pelestarian kebudayaan khususnya wayang kulit dan juga menunjukkan kedekatan dengan masyarakat.

“Dengan demikian, bersama menghadapi agenda-agenda nasional sehingga semua bisa dilalui dan Indonesia menjadi lebih baik, masyarakat sejahtera. Persatuan dan kesatuan menjaga keberagaman Indonesia menjadi kekuatan modal melompat menjadi negara maju,” kata Sigit.

Tinggalkan Balasan