Kala Genderang Perang Lawan Mafia Tanah Ditabuh, Repots Majalah Eksekutif

Kala Genderang Perang Lawan Mafia Tanah Ditabuh, Repots Majalah Eksekutif
Ilustrasi proyek pembangunan membutuhkan tanah

MATRANEWS —  Simak Liputan Majalah Eksekutif edisi November 2021, tentang perang lawan mafia tanah.

Satgas Antimafia Tanah telah dibentuk dengan sejumlah hasil. Namun, masih banyak celah hukum yang belum ditambal.

Dari balik meja kerjanya di Markas Pusat Palang Merah Indonesia di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Hamid Awaluddin mengungkapkan kegeraman dan keresahannya terhadap praktik-praktik mafia tanah yang mengincar lahan wakaf yayasan naungannya.

Dia adalah Ketua Pengawas Yayasan Masjid Al-Markaz di Makassar, Sulawesi Selatan, yang lahannya sedang digugat.

Mantan Menteri Hukum dan HAM itu menuturkan modus mafia tanah yang rumit, canggih, dan lihai dengan memanfaatkan celah hukum.

Bukan hanya lahan wakaf Masjid Al-Markaz, aset Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan juga jatuh ke tangan mafia tanah.

Kasus tersebut bukan satu-satunya yang menarik perhatian publik. Sebelumnya, sindikat mafia tanah juga menjerat lahan orang tua mantan Wakil Menteri Luar Negeri, Dino Patti Djalal.

Mengetahui praktik-praktik mafia tanah yang sejak lama begitu meresahkan, Presiden Joko Widodo menjadi gerah, sampai harus turun tangan menginstruksikan jajarannya.

“Saya kembali mengingatkan bahwa pemerintah berkomitmen penuh dalam memberantas mafia tanah,” ujar Presiden saat Penyerahan Sertifikat Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria yang digelar di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu, 22 September 2021.

Presiden menginstruksikan jajaran Polri untuk memperjuangkan hak masyarakat dan menegakkan hukum secara tegas dalam penyelesaian konflik agraria di Tanah Air. Kepala Negara menginstruksikan Polri juga menindak aparat yang membekingi mafia tanah.

Menanggapi mandat tersebut, Kepolisian RI mengumumkan pembentukan Satgas Antimafia Tanah, bekerja sama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada Februari 2021.

Satgas juga dibentuk di tingkat provinsi. Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk tegas mengusut tuntas kasus mafia tanah di seluruh Indonesia.

Gebrakan yang sama dilakukan pula oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil.

Dia mengakui ada aparat  di lembaganya yang bermain dalam praktik jahat ini. Sejak 2017, pihaknya sudah mendeteksi kejahatan terkait pertanahan.

Dan, praktik semacam ini tidak bisa diselesaikan sendiri. Karena itu, Sofyan Djalil menginisiasi pembentukan Satgas Antimafia Tanah bekerja sama dengan kepolisian.

Kerja sama tersebut tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Menteri ATR/BPN dan Kapolri pada saat itu, Jenderal Polisi M. Tito Karnavian, tanggal 17 Maret 2017, Nomor 3/SKB/III/2017 dan Nomor B/26/III/2017 tentang Kerja sama di Bidang Agraria/Pertanahan dan Tata Ruang.

Berbekal Nota Kesepahaman itu, tim sudah melaksanakan penindakan beberapa kasus.

Selain dengan Kepolisian, Kementerian ATR/BPN juga membuat Nota Kesepahaman dengan lembaga lain, di antaranya, Kejaksaan RI, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial, untuk memberantas mafia tanah secara lintas institusi. Maklumlah, pelaku mafia tanah mencakup banyak pihak.

Beberapa indikator keterlibatan mafia tanah, menurut Inspektur Jenderal Kementerian ATR/BPN, Sunraizal, bisa dilihat dari proses peradilan sengketa tanah yang dilakukan berulang-ulang.

Selain itu, prosedur tidak sesuai dengan ketentuan, menggunakan dokumen lama tetapi terindikasi palsu, pendudukan ilegal tanpa hak, mencari legalitas dengan rekayasa perkara di pengadilan, kolusi dengan aparat untuk mendapatkan legalitas, dan hilangnya warkah tanah.

Maka, pembentukan Satgas Antimafia Tanah ini merupakan keniscayaan. Sunraizal menambahkan, selain membentuk Satgas Antimafia Tanah, Kementerian ATR/BPN membentuk Inspektorat Bidang Investigasi.

Irjen Kementerian ATR/BPN, Sunraizal mengungkap banyak hal ke majalah eksekutif

Inspektorat ini melakukan audit forensik maupun audit investigasi untuk mengungkap terjadi atau tidaknya penyimpangan yang dapat merugikan negara atau kasus mengenai pertanahan.

Tugas pokoknya adalah mengungkapkan fakta-fakta dan proses kejadiannya, sebab-sebab dan dampak dari penyimpangan, kemudian pihak-pihak yang terlibat atau terkait dengan penyimpangan.

Selanjutnya akibat dari penyimpangan itu sendiri, inspektorat akan menyimpulkan, apakah penyimpangan mengakibatkan kerugian negara, pelanggaran disiplin oleh para pegawai, ataupun terjadinya penyimpangan prosedur di dalam pelayanan pertanahan yang mengakibatkan beralihnya hak seseorang dengan cara yang tidak sah.

“Sejak terbentuknya Inspektorat ini, antusias masyarakat sangat tinggi,” ujar Sunraizal. Jumlah pengaduan mencapai 732 kasus, antara lain, penyalahgunaan wewenang 17 kasus; pelayanan masyarakat 201 kasus; korupsi atau pungli 17 kasus; kepegawaian atau ketenagakerjaan 3 kasus; sengketa, konflik, dan perkara 493 kasus; lain-lain 7 kasus.

Dari kasus-kasus tersebut, 162 kasus sudah ditangani Inspektorat,  kemudian 5 kasus sedang dilakukan audit gabungan dengan dirjen teknis bersama dirjen sengketa perkara.

Yang terakhir, 303 kasus diserahkan kepada Kanwil ATR/BPN karena dianggap bisa diselesaikan oleh yang bersangkutan.

Hasil audit inspektorat selama terbentuknya bidang investigasi telah menghukum 125 pegawai, dengan 32 orang dihukum berat, hukuman disiplin sedang dikenakan terhadap 53 orang, dan disiplin ringan 40 orang.

Modus Operandi Mafia Tanah

Ketua Tim Satgas Antimafia Tanah Pusat sekaligus Staf Khusus Menteri ATR/BPN Kepala Bidang Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Hary Sudwijanto, mengatakan, banyak modus operandi yang digunakan mafia tanah untuk menyerobot lahan milik orang lain.

Mulai dari pemalsuan dokumen, pendudukan ilegal atau menduduki lahan tanpa hak, hingga mencari legalitas di pengadilan.

Menurut dia, mafia tanah ini melakukan kejahatanannya secara sistematis. Kami mengidentifikasi bahwa mafia tanah selama ini, berhasil melakukan suatu kejahatan karena dia mengetahui, memahami peraturan atau persyaratan, proses atau prosedur yang dilakukan, apakah itu di kementerian atau di tempat-tempat lain.

“Pelaku memanfaatkan kelemahan birokrasi dan penegakan hukum. Birokrasi yang telah ditata sedemikian rupa mampu ditembus oleh pelaku kejahatan, bahkan penegak hukum dapat dipengaruhi,” kata Hary dalam konferensi pers tentang mafia tanah di Jakarta pada 18 Oktober 2021.

Mafia tanah juga memanfaatkan formalitas peraturan, persyaratan, dan bagaimana prosedur dalam permohonan maupun proses penerbitan sertifikat.

Ini menjadi tantangan untuk Kementerian ATR/BPN atau jajarannya karena mereka tidak diberi kewenangan untuk uji materiil, melainkan hanya formilnya saja.

Ketika lurah sudah menandandatangani, diketahui aparat setempat, dan sudah dilengkapi secara prosedur, ATR/BPN bisa langsung memproses.

“Ternyata dokumen yang diajukan sejak dari awal sebelum masuk ke meja loket pejabat BPN, itu sudah palsu. Sudah berproses dan berujung terbitnya sertifikat atau dokumen yang tidak benar,” tutur Hary.

Baca juga :  Mahfud MD, Menkopolhukam RI Jadi Warga Kehormatan Marinir TNI AL
Lahan dengan sertifikat yang tumpang tindih

Irjen Kementerian ATR/BPN, Sunraizal, memaparkan modus operandi yang dipakai mafia tanah, di antaranya, merebut tanah melalui proses pengadilan untuk mendapat legalitas.

Mereka juga ada yang berpura-pura menjadi agen properti palsu. Pada beberapa kasus pelaku juga memalsukan surat-surat seperti girik, petok D, Letter C, atau Eigendom Verponding (surat-surat lama).

Lalu ada juga yang memalsukan Akta Jual Beli atau membuat sertifikat palsu. Pelaku juga berkolusi dengan pegawai pertanahan untuk menghilangkan warkah tanah.

Kasus Dino Patti Djalal adalah salah satu yang memakai modus operandi menukar kepemilikan sertifikat asli dengan sertifikat palsu. Pembeli palsu dari komplotan mafia tanah dan properti membayar uang muka kepada pemilik asli.

Pembeli menyetorkan uang muka Rp500 juta dari total harga Rp25 miliar. Uang muka ini dijadikan alasan pembeli palsu untuk meminjam Sertifikat Hak Milik (SHM) dengan dalih akan  dicek di kantor pertanahan.

Penguasaan SHM selanjutnya memudahkan mafia tanah untuk memalsukan dokumen. Mafia tanah juga bisa memperoleh sertifikat hak milik asli dari notaris palsu yang didapat langsung dari pemilik aslinya.

Mafia tanah kemudian memakai jasa pemalsu sertifikat lantas memberikan sertifikat palsu kepada pemilik asli.

BACA JUGA: Mafia PCR Diancam LBP?

Lantas, komplotan yang sudah menguasai sertifikat asli, menyerahkan dokumen asli ke Notaris/PPAT untuk proses balik nama.

Juga akta jual beli palsu untuk mendukung proses balik nama, seolah-olah telah terjadi transaksi lunas antara pembeli dan penjual.

Notaris memeriksa keaslian sertifikat dan mengurus proses balik nama ke BPN. Sertifikat hasil balik nama diberikan kepada mafia yang kemudian menggadaikan atau menjual sertifikat tersebut.

Dalam kasus mafia tanah di Provinsi Sulawesi Selatan, sebagaimana penuturan Hamid Awaluddin, pelaku memalsukan surat-surat girik dan kemudian menggugat pemilik asli sehingga berperkara di pengadilan.

Dalam kasus yang dialami yayasannya, Yayasan Masjid Al-Markaz, mafia tanah di Sulawesi Selatan menggunakan dokumen rincik (surat tanah yang dikenal di Makassar dan sekitarnya) untuk menggugat aset pemerintah.

“Orang yang sama, menggunakan rincik yang sama tahun 1942, dokumen yang sama, plus pendaftaran tahun 1958, memenangkan tujuh kasus dan semua lahannya milik negara. Jalan tol, pelabuhan, pasar, lahan Universitas Hasanuddin enam hektare, dan seterusnya,” ujar Hamid.

Mafia tanah itu, katanya, memakai alas hak rincik untuk menggugat tanah Eigendom yang sejatinya adalah tanah kolonial yang diwariskan ke pemerintah setelah merdeka.

Padahal rincik tidak bisa mengalahkan Eigendom sebagai alas hak kepemilikan tanah. Kejanggalan lain adalah dugaan rekayasa dokumen rincik yang digunakan oleh mafia tanah, seperti ejaan lama yang tidak sesuai, hingga asal-usul dokumen rincik.

BACA JUGA:  Haris Azhar Ungkap Kekuatan besar Di Teluknaga Kabupaten Tangerang

Kejanggalan berikutnya, pada dokumen rincik diduga palsu itu tertulis “Oejoeng Tanah”. Padahal berdasarkan ejaan lama saat terbitnya rincik, seharusnya “Oedjoeng Tanah”.

“Nah ini hilang ‘d’ nya, dia lupa taro ‘d’, jadi Oejoeng. Mestinya kan kalo ejaan Van Ophuysen ada ‘d’-nya. Kami curiga makanya mau kami pidanakan. Pemalsuan,” kata Hamid Lagi.

“Lebih ironis lagi, dalam gugatannya mereka meminta 2,4 hektare, dikabulkan 11 hektare oleh pengadilan. Jadi modusnya canggih. Berarti negara melalui pengadilan mengatakan ‘dia memang banyak tanah’.”

Mantan Duta Besar RI untuk Federasi Rusia itu menceritakan alasan kenapa pelaku memakai rincik tahun 1942 yang sama untuk menggugat.

Ketika Belanda terusir terjadi kekosongan administrasi pada 1942 sehingga disinyalir tidak ada pelayanan publik di Makassar pada waktu itu, lantas kevakuman administrasi. Menurut dia, rincik tahun 1942 mengundang kecurigaan karena pasti tidak ada pelayanan publik saat itu.

Adapun rincik 1942 yang dipakai untuk alas hak dalam menggugat tertulis lokasi yang dimaksudkan berada di Kelurahan Kaluku Bodoa, Kecamatan Tallo, tetapi setelah ditelusuri tanah itu ternyata masih Kelurahan Baraya di Kecamatan Bontoala.

Selanjutnya pelaku menggunakan rincik tahun 1950-an yang diterbitkan Provinsi Sulawesi Selatan. Padahal saat itu masih Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara dan Provinsi Sulawesi Selatan baru diresmikan pada 1964. “Berarti ada fabrikasi dokumen kan?” tanya Hamid.

BACA JUGA:  Sisi Gelap Ekonomi Neolib, Maksudnya Apa?

Menurut dia, kekalahan Pemprov mempertahankan asetnya di pengadilan karena tidak adanya dukungan memadai yang disediakan oleh Kementerian ATR/BPN.

Ketika diminta keterangan atas perkara ini, Irjen Kementerian ATR/BPN Sunraizal mengonfirmasi mafia tanah telah menyiapkan gugatan untuk hampir sepertiga Kota Makassar.

Girik yang digunakan mafia tanah adalah Girik Simana Boetaya tahun 1942, sedangkan Girik sebagai bukti tertulis pembuktian hak lama adalah girik/ketitir/pipil/verponding Indonesia yang diterbitkan 24 September 1960 dengan dasar PP No.10 Tahun 1961 jo. PMPA No.2 Tahun 1962 jo.SK 26/DDA/1970 jo.

Menurut Sunraizal, kekalahan dalam proses peradilan dapat disebabkan karena pemilik tanah tidak dapat menunjukkan dokumen asli, atau ATR/BPN tidak memberikan data yang cukup kepada proses peradilan.

“Hal ini mungkin juga dikarenakan para pihak tergugat belum menyampaikan dokumen yang diperlukan/dokumen yang asli ke pihak BPN,” katanya.

Hendry Lee, salah satu terduga korban mafia tanah, berharap penanganan kasus pertanahan bisa dipercepat dengan adanya Satgas Antimafia Tanah.

“Paling penting adalah wewenangnya yang khusus sehingga memungkinkan penanganan perkara yang sama di lintas lembaga,” ujarnya.

Henry membeli sebidang tanah di Pematangsiantar, Sumatera Utara, pada 2001. Tanah ini terdiri dari dua sertifikat hak milik yang masing-masing terbit pada 1976 dan 1988. Dia adalah pemilik ketiga dan sudah melalui jual beli sesuai dengan prosedur sebanyak dua kali.

Lalu pada akhir 2015, karena belum ditinggali, tanah itu mulai diserobot oleh warga yang bertempat tinggal di seberang tanahnya.

Pada tahun 2016, ia telah melakukan mediasi yang ditengahi oleh perangkat desa. Oknum mafia tanah, kata Hendry, telah mengakui tanah itu bukan miliknya dan bersedia mengosongkannya, tetapi tidak dilakukan.

Pada 2017, pihak Hendry mengadukan masalah ini ke polisi. Oknum itu membuat surat pernyataan di depan penyidik yang isinya bersedia mengosongkan tanah Hendry. Surat ini juga ditandatangani oleh lurah setempat. Namun, pelaku mengingkari lagi komitmennya.

Baca juga :  Daftar Nama-nama Jalan pada Zaman Dahulu di Batavia

Hendry mengatakan sebelum ada Satgas Antimafia Tanah, Kementerian ATR/BPN pernah menerbitkan Petunjuk Teknis Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah pada 2018. Namun sampai sekarang mereka tidak tahu bagaimana mengadukan perkaranya karena berulang kali mengirim surat tanpa ada balasan.

Terduga korban mafia tanah lain, Annie Sri Cahyani, berharap Satgas Antimafia tanah benar-benar menyelesaikan kasus per kasus.

Annie mengaku mengalami praktik mafia tanah dengan modus pencarian legalitas di pengadilan. Tanahnya yang sudah bersertifikat SHM diklaim tumpang tindih dengan penggugat.

Padahal, kata Annie, hingga 3 Juni 2008, tanah miliknya di Tangerang tidak tumpang tindih dengan tanah milik siapapun juga. Sebab, sudah diperiksa dan tercatat di kantor pertanahan.

“Selain itu, sebagai warga negara yang baik dan patuh hukum, saya telah melunasi kewajiban saya membayar PBB sejak tahun 2001 sampai dengan 2021,” katanya.

Soal tumpang tindih sertifikat tanah ini juga menjadi perhatian Hamid Awaluddin. Menurut dia, tidak ada gunanya pemerintah bagi-bagi sertifikat.

Sebab, ada bahaya laten lain yang bisa dipicu oleh para mafia tanah karena konflik pertanahan bisa memicu konflik komunal.

“Ada yang lebih elemen dari ini (bagi-bagi sertifikat), status kepemilikan tanah karena menyangkut investasi dan kepastian hukum,” katanya.

Kesamaan data tanah di buku desa dan BPN, menurut dia, sangat penting. Agar tidak ada tumpang tindih, sehingga tidak ada sertifikat satu ditimpa oleh sertifikat lain oleh kantor yang sama.

Mengenyampingkan dugaan mafia tanah, ia mengatakan, kemungkinan sengketa tanah juga karena data yang tidak sinkron.

“Masalahnya adalah kita harus melihat dari segi makro. Dengan kondisi mafia tanah di sini, ekonomi bangsa hancur karena tidak ada investasi yang masuk karena tidak ada kepastian hukum,” terangnya.

Sunraizal memang mengakui adanya kelemahan dalam sistem pengawasan dan pencegahan sehingga dimanfaatkan mafia tanah.

Salah satunya memanfaatkan sistem pendaftaran tanah yang saat ini menggunakan Stelsel Negatif bertendensi Positif, sehingga apabila Sertifikat Hak Atas Tanah digugat bisa dikalahkan.

Artinya, pemegang sertifikat hak atas tanah tidak berlaku absolut. Mafia tanah memanfaatkan celah ini untuk mencari legalitas kepemilikan tanah di pengadilan.

Kemudian, kata Sunraizal lagi, tidak adanya peraturan yang mewajibkan para pihak berperkara untuk menghadirkan BPN dalam perkara.

Dengan demikian, jalannya proses peradilan sampai dengan putusan tidak diketahui oleh BPN, sampai mafia tanah memberitahukan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap/inkracht. Dan pada gilirannya, BPN wajib menjalankan putusan ini.

Pihak BPN juga tidak memiliki kekuatan memaksa para pihak untuk menyelesaikan suatu permasalahan agar ditempuh melalui mediasi.

Terkadang sudah terdapat keputusan dari BPN, namun tidak ada larangan untuk pihak membawanya ke proses peradilan.

Kelemahan lain yang dimanfaatkan mafia tanah adalah apabila penguasaan oleh mafia tanah sudah lebih dari lima tahun dan mereka telah mendapatkan sertifikat, maka sertifikat tersebut tidak bisa lagi dilakukan pembatalan secara administrasi melainkan harus melalui pengadilan.

Kementerian ATR/BPN juga hanya bisa melakukan pengecekan secara formalitas tanpa melihat substantial, misalnya sudah ada data yuridis, SKT (Surat Kepemilikan Tanah), surat pernyataan penguasaan fisik, dan tidak dalam sengketa, itu saja sudah cukup. Inilah celah yang dimanfaatkan mafia tanah untuk menerbitkan sertifikat hak milik.

Waspada terhadap Mafia Tanah

Sunraizal mengatakan praktik mafia tanah melibatkan banyak pihak, baik oknum Kementerian ATR/BPN, penegak hukum/peradilan, notaris/PPAT, maupun masyarakat umum.

Alhasil, penanganan tersebut akan lebih sulit jika dilakukan sendiri oleh Kementerian karena kewenangan BPN hanya menyangkut administrasi pertanahan.

Namun Kementerian telah meningkatkan upaya-upaya pemberantasan mafia tanah secara internal. Hal ini mulai dari memperbaiki sistem pendaftaran tanah, melakukan validasi data pertanahan dan digitalisasi, menegakkan disiplin pegawai, hingga membentuk Inspektorat Bidang Investigasi.

Agar masyarakat tidak terjerat pratik mafia tanah, pakar hukum pertanahan Universitas Indonesia, Arsin Lukman, menyarankan warga untuk mensertifikasi tanah mereka dan agar sering melakukan pengecekan.

“Entah pengecekan langsung atau pakai SKPT. Itu harus dilakukan sesering mungkin. Kemudian jangan sampai tanah terlantar untuk mencegah pihak lain menduduki tanah secara ilegal,” katanya.

Biasanya, menurut Arsin, pemilik tanah yang sudah memiliki sertifikat merasa lebih tenang karena sertifikat adalah alat bukti yang kuat. “Tetapi di Indonesia tidak menganut sertifikat sebagai alat bukti yang mutlak,” ujarnya lagi.

Peraturan tanah di Indonesia sistemnya adalah registration of titles, yang didaftarkan adalah haknya.

Biasanya registration of titles tadi pasangannya dengan sistem publikasi positif. Lawannya adalah registration of deeds, yang didaftarkan adalah aktanya. Pasangan registration of deeds adalah sistem publikasi negatif.

“Tetapi Indonesia tidak konsisten dengan itu. Registration of Titles yang dianut tetapi sistem publikasinya negatif, dengan embel-embel tendensi positif,” ujar Arsin.

Selain melakukan pengecekan berkala, penting pula untuk menjaga sertifikat asli agar tidak berpindah tangan.

Biasanya, mafia tanah berdalih meminjam sertifikat untuk pengecekan ke notaris atau BPN, tetapi ini dimanfaatkan untuk menggandakan sertifikat. Masyarakat diimbau agar lebih waspada agar sertifikat tanah tidak berpindah tangan ke orang lain.

Banyaknya celah hukum dari sistem pendaftaran tanah serta varian dari permasalahan tanah tersebut, agaknya Kementerian ATR/BPN mesti memiliki ragam amunisi saat menabuh genderang perang melawan mafia tanah.

Tenaga Ahli Wapres RI, M. Noor Marzuki:

“Perlu Terobosan Radikal Tangani Kejahatan Pertanahan”

Tenaga Ahli Wakil Presiden RI, M Noor Marzuki

Mandat Presiden Joko Widodo untuk memberantas mafia tanah sudah jelas. Kepala negara telah mengamanatkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk bekerja sama dengan lembaga penegak hukum guna menindak penjahat pertanahan.

Sebelumnya, Kementerian ATR/BPN mengakui hanya bisa melakukan penindakan secara internal, sehingga Satgas Antimafia Tanah diperlukan untuk menindak oknum-oknum di lembaga lain.

Berbekal Nota Kesepahaman dengan Kepolisian tertanggal 17 Maret 2017, kedua pihak berkoordinasi untuk membongkar mafia tanah.

Selain itu, berhubung praktik mafia tanah menyangkut lintas lembaga dan meluas hingga ke ranah pengadilan, Kementerian ATR/BPN juga membuat Nota Kesepahaman dengan Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial.

Baca juga :  Mewujudkan Seks Estafet, Fase-Fase Respons Seksual Manusia

Selain upaya pemberantasan, Kementerian juga melakukan pencegahan praktik mafia tanah, di antaranya, memperbaiki dan mengembangkan pertahanan dan keamanan sistem digital, digitalisasi data, dan penegakan disiplin terhadap pegawai yang melanggar atau yang terlibat dengan mafia tanah.

Salah satu upaya internal Kementerian adalah membentuk Inspektorat Bidang Investigasi.

Inspektorat ini melakukan audit forensik dan audit investigasi untuk mengungkap terjadinya penyimpangan.

Sejak terbentuknya Inspektorat Bidang Investigasi, Kementerian ATR/BPN telah menerima 732 pengaduan dari masyarakat.

Audit yang dilakukan adalah menganalisis kasus tersebut untuk menemukan fakta dan menentukan ada-tidaknya unsur pelanggaran.

Dari hasil audit tersebut, Kementerian telah menghukum 125 pegawai yang terlibat dalam permasalahan pertanahan.

Praktik mafia tanah bukan hanya merugikan pemilik tanah, juga menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat dalam pelayanan publik di bidang pertanahan.

Pada akhirnya, permasalahan ini dapat menjadi salah satu faktor yang menghambat masuknya investasi ke Indonesia jika tidak segera dituntaskan.

“Presiden sudah memberikan amanat. Ini persoalan yang sudah berakar, yang terjadi secara sistemik, sehingga perlu adanya sebuah terobosan.

Artinya, perlu suatu kebijakan dan terobosan yang radikal yang bisa ditawarkan kepada Bapak Presiden,” kata Tenaga Ahli Wakil Presiden RI bidang Agraria, M. Noor Marzuki, yang juga mantan Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN.

Tenaga Ahli Wakil Presiden M Noor Marzuki

Menurut dia, Kementerian ATR/BPN perlu membuka diri dengan berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum lain, termasuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh penegak hukum jika dibutuhkan.

Dengan wewenang besar yang diamanatkan oleh Presiden Joko Widodo, Kementerian memiliki instrumen yang lebih luas untuk menindak pelanggaran yang terjadi di bidang pertanahan.

Namun, apakah bisa memenuhi harapan masyarakat?

Simak wawancara dengan Noor Marzuki di bawah ini:

Bagaimana pendapat Anda tentang pembentukan Satgas Antimafia Tanah?

Hasilnya sudah ada, tetapi sejauh ini saya belum melihat hasil yang signifikan seperti membongkar mafia tanah secara menyeluruh, kecuali pegawai internal Kementerian ATR/BPN saja yang dihukum.

Seharusnya, ketika Satgas sudah dengan mudah mendeteksi, maka mafia tanah tinggal ditindak saja oleh pihak kepolisian. Instrumen yang ada di Kementerian ATR/BPN sebetulnya sudah cukup untuk menangani masalah pertanahan di Indonesia.

Dulu BPN dinilai terlalu kecil untuk menangani masalah ini sehingga Presiden mengubah otoritas BPN menjadi Kementerian. Presiden telah memberikan fasilitas yang maksimal.

Dengan demikian, semestinya dengan instrumen yang sudah ada, seperti Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa, maka seharusnya bisa melakukan pencegahan dan penanganan masalah pertanahan di Indonesia.

Tetapi Kementerian ATR/BPN mengatakan sulit menangani praktik mafia tanah karena tidak memiliki wewenang uji materiil dan menyangkut lintas lembaga?

Sudah ada Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa dan ada Sekretaris Jenderal. Dua hal ini bisa membantu pencegahan dan penyelesaian permasalahan pertanahan, di samping tugasnya melakukan pelayanan.

Dikarenakan praktik mafia tanah yang lintas lembaga, maka permasalahan pertanahan tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri.

Kementerian ATR/BPN harus berkoordinasi dengan lembaga lain. Sebagai contoh, ketika penegak hukum sedang mendalami kasus dan ada permintaan data, maka Kementerian dapat memberikan data-data terkait untuk memudahkan penegak hukum dalam penyelesaian suatu permasalahan pertanahan.

Banyak kasus sengketa tanah yang putusannya sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap), tetapi kebanyakan para korban menganggap ini hanya selesai untuk pihak tertentu?

Jika sengketa selesai dalam arti formal memang banyak. Namun, ketika berbicara keadilan sesungguhnya di lapangan, mungkin banyak yang belum terselesaikan, karena faktor ketidaktahuan mereka, karena lemahnya mereka, atau karena mereka tidak punya biaya untuk mengurus perkara tanah di pengadilan.

Bila perlu dalam setiap persidangan perkara pertanahan, Kementerian ATR/BPN hadir di situ. Sebab, apabila perwakilan dari Kementerian ATR/BPN tidak hadir dalam persidangan, maka dapat merugikan salah satu pihak.

Apakah merupakan kewajiban bagi Kementerian ATR/BPN jika diminta hadir untuk bersaksi?

Ya tentunya wajib untuk hadir karena memiliki keahlian dan pengetahuan di bidang pertanahan.

Di samping itu, merupakan sebuah kewajiban karena telah diberikan mandat oleh negara dalam rangka untuk menyelesaikan permasalahan pertanahan.

Apakah sengketa tanah masih banyak terjadi karena masih ada kekurangan di pendataan tanah oleh BPN?

Kalau masalah pendataan, Kementerian ATR/BPN hanya mendata tanah yang sudah terdaftar. Selebihnya, tidak ada data di Kementerian.

Upaya-upaya untuk itu mestinya dipercepat lagi pendaftaran bidang-bidang tanah di seluruh Indonesia.

Kalau Kementerian mempunyai kemampuan mendaftarkan 10 juta bidang tanah, bagaimana caranya untuk dapat menggandeng pihak swasta agar institusi ini mampu untuk mendaftarkan 30 juta bidang tanah.

Maksudnya di sini, mendelegasikan pekerjaan-pekerjaan tersebut kepada pihak swasta.

Disusun database-nya terlebih dulu, setelah itu baru dapat melihat mana yang masih bersengketa atau berperkara, atau mana yang sudah dan belum bersertifikat, yang selanjutnya dapat dibandingkan dengan kondisi saat ini.

Dapat juga dilihat mana yang tingkat sengketa dan perkaranya paling tinggi. Kalau yang lama atau terdahulu berarti ada kelemahan proses, alat ukurnya tidak sempurna, sumber dayanya tidak sempurna, sehingga ini yang dibenahi dan produk-produk lama juga dibenahi.

Apa saran Anda untuk menangani sengketa tanah?

Permasalahan pertanahan ini tidak bisa diselesaikan dengan dugaan saja. Maka salah satu langkah penting adalah harus berkoordinasi, bukan menutup diri.

Jangan menganggap atau merasa superbody. Kalau saya lihat, sistem yang salah dalam penanganan ini, karena dalam segi penyelesaian sengketa banyak yang selesai dalam satu tahun.

Kemudian, supaya sengketa tidak bertambah, sistem apa yang dibangun untuk pencegahan, berapa banyak yang bisa dicegah, apa ukuran pencegahan itu?

Dengan menjalankan ini, kasusnya semestinya tidak bertambah. Presiden sudah memberikan amanat.

Persoalan yang sudah berakar dan terjadi secara sistemik tersebut mesti diatasi dengan adanya sebuah terobosan.

Artinya, ada suatu kebijakan radikal yang bisa ditawarkan kepada Presiden untuk pencegahan dan penyelesaian permasalahan pertanahan di Indonesia.

TIM LIPUTAN: SR, RK dan EY

BACA JUGA: Majalah Eksekutif edisi Cetak, klik ini

https://www.myedisi.com/eksekutif/4893

Tinggalkan Balasan