Kritik Film Bidadari Mencari Sayap

Kritik Film Bidadari Mencari Sayap
  • Film Bidadari Mencari Sayap

 

 Oleh Wina Armada Sukardi

             Dalam akulturasi yang paling sulit beradaptasi bukanlah kekuasaan, karena  dalam soal kekuasaan ada kompromi. Juga bukan bukan perekonomian, karena di  perekonomian,  sepenuhnya berlaku hukum pasar, supply and demand.

Bahkan juga bukan kepercayaan dan  agama, karena dalam kepercayaan dan agama ada toleransi.

Hal paling sulit dalam akulturasi ialah cinta, karena cinta sering ingin memiliki sepenuhnya, seutuhnya, tanpa kompromi dan tanpa tolerasnsi.

Hanya dengan kesadaran memahami perbedaan, menghormati nilai cinta itu sendiri  disertai dengan keihlasan pengrobanan,  cinta dapat bertahan dan bersenyawa  dalam akulturasi.

Akulturasi dua budaya menghasilkan banyak faktor menarik. Apalagi kalau dua budaya yang terlibat akulturasi, budaya Cina dan budaya Arab, dua kebudayaan raksasa di dunia, dan terjadinya di Indonesia pula.

Secara singkat akulturasi  ialah  proses  berbaurnya dua kelompok kebudayaan yang berlainan,  membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan identitas kebudayaan asalnya.

Kebudayaan Arab yang sering dianggap reprsentatif  dari agama islam dan kebudayaan Cina yang sering dipersepsikan sebagai pengusaha, pedagang yang semata-mata mencari keuntungan.

Masalahnya,  kedua kebudayaan itu sama-sama menancapkan pengaruhnya  kuat ke bumi Nusantara. Proses penyatuan unsur-unsur budaya yang tidak mudah dan sering berliku-liku serta tak jarang diiringi konflik-konlik yang tajam dapat menjadi bahan film yang menarik.

Hal itu lebih menarik lagi kalau yang dicemplungkan ke dalam akulturasi   masalah cinta.

Begitulah yang antara lain ingin dibeberkan dalam film Bidadari Mencari Sayap karya terbaru sutradara Aria Kusumadwa  yang ditayangkan di over the top (OTT) Disdey+Hotsar,  sejak Oktober  tahun 2020 sampai kini.

Anggela Tan (Leony Vitria Hartaty) anak bungsu dari keluarga keturunan Cina di Indonesia. Sedangkan Reza (Rizki Hanggono) anak dari keturunan keluarga peranakan Arab yang memegang tradisi  dan kepercayaan kuat  agama Islam.

Dalam kebudayaan yang plural atau beragam di Indonesia, mereka dipertemukan. Keduanya saling jatuh cinta.

Keduanya berpacaran. Keduanya sepakat menuju jenjang perkawinan dan menikahlah mereka. Keduanya memiliki anak yang sudah mulai sekolah. Keduanya hidup bahagia. Justru di tengah kebahagiaan itulah datang badai menerpa.

Perbedaan latar belakang budaya tiba-tiba muncul sebagai sekat panas. Dinding api. Siapa yang mencoba menerobos tanpa perlindungan bakal tersengat. Terbawa ke hati.

Terjadilah berbagai pertengkaran. Saling menyalahkan. Munculah sudut pandang yang sempit, yang hanya ingin menang sendiri.

Hanya ingin memiliki penuh tanpa melihat realitas.   Ingin selalu dihormati pasangan tanpa mau melihat apakah dirinya sudah menghormati pasangannya. Perkawinan Angela dan Reza pun menghadapi krisis,  dan berada di ujung tanduk.

 Bahasa  Simbolis

Aria bukanlah sutrada kemarin sore. Dia juga bukan sutradara kaleng-kaleng. Film-film karyanya sebelumnya ini, seperti Novel Tanpa Huru R, Beth, Kacamata Tuhan, Kentut  dan identitas menunjukan kepiawaian Aria sebagai kreator untuk layar putih.

Baca juga :  Warkopi Buat Indo Warkop DKI Nangis, Kenapa?

Film-filmnya memang sebagian besar film indie atau film independen. Dari karya-karyanya itu  kita melihat dia mampu menampilkan imaji-imaji dan gambar-gambar kuat.

Dia tidak sekedar menghadirkan “gambar indah harafiah “ tanpa arti, tetapi juga mampu memberikan makna di balik gambar. Simbol-simbol semacam itu masih dapat kita lihat pula pada beberapa adegan film Bidadari Mencari Sayap.

Contohnya, pada adegan bagian-bagian terakhir ketika Reza menerobos kerumuman orang,  kemudian dia melomcat mengambil payung dan berlari ke arah Angela.

Adegan ini bukan sekedar merujuk kepada pertemuan mereka waktu pacaran, atau sekedar mencari komposisi gambar indah belaka, melainkan apa?

Memberikan simbol kepada kita: payung berfungsi untuk memberikan keteduhan dari hujan dan panas. Payung juga dapat memancarkan keindahan.

Setelah kita mengalami banyak masalah pada masa  lalu, ke depan  ayo ,  kita hidup dalam keteduhan.

Semua masalah kita selesaikan dengan visi baru bersama. Reza memanggil isterinya dengan “Bidadari,” sehingga dengan payung itu pula mereka seakan mendapat sayap dan siap terbang   menuju kebahagiaan.

Demikiian pula, ketika Reza tiba-tiba berlutut pemeluk kaki Babah (Nano Riantiarno), itu bukan melulu menunjukan penyesalan seorag suami dan seorang mantu.

Tetapi merupakan simbol  perlunya ada pihak yang mau menghormati  dan mengakui nilai-nilai pihak lain dalam akulturasi.

Dengan begitu, bakal mampu menjaga keharmonisan proses sosial, termasuk di bidang cinta.

Cinta bukan hanya perasaan dua sejoli, tetapi cinta juga harus berdaptasi dengan nilai-nilai budaya lain dari  pasangannya, termasuk manakala trjadi akulturasi.

Banyak bahasa yang walaupun kalimatnya sederhana, tapi bernas dan memiliki makna yang luas. Beberapa pihak yang mengaku “pengamat film” dengan enteng mengatakan, banyak dari bahasa dalam dialog film ini sangat kaku dan mengurangi nilai film.

Bagi saya hal itu menunjukan bagaimana pemahaman mereka terhadap film  hanya di permukaan saja.

Bagi saya kalimat itu justeru memberikan banyak tambahan kekuataan untuk film ini. Ketika Babah sebagai mertua mengatakan kepada Reza, ”Mau kemana kamu? Disini rumahmu!,” itu tidak sekedar bermakna rumah itu tempat berteduh Reza dan isteri, melaikan juga rumah itu adalah tempat hampir semua hal.

Rumah adalah terminal keberangkatan dan sekaligus terminal kepulangan. Rumah adalah akar sebuah keluarga.

Dari dan ke rumah dimulai suka dan duka, problem, solusi, romantika, sampai jejak kenangan. Jadi,  semuanya harus diselesaikan di rumah bukan tempat lain.

Kekuatan lain film ini terletak pada akting Nano  dan  Leony. Akting bukan pretending atau kepura-puraan.  Akting bukan pula behaving atau kelakuan sehari-hari.

Akting ialah to be atau menjadi. Maka akting yang baik adalah gerak tubuh, ekspresi, gesture dan mimik yang dikendalikan oleh isi hati dan batin pelaku.

Nano berhasil dengan baik melakoninya. Sebagai orang tua dari keturunan Cina dia menafsirkan dan mengesekusinya dengan sangat pas. “Ketokohan” peran tersebut hadir dengan kuat di film.

Baca juga :  12 Outlet Holywings Ijinnya Dicabut Anies, Apakah Bisa Buka Kembali di Jakarta?

Nano tidak melakukan gerakan-gerakan besar. Tidak pula perlu berteriak-teriak. Dia memusatkan hati dan batinnya pada tokoh Babah sehingga keluar dan yang nampak adalah tokoh Babah. Dalam hal ini Nano berhasil mendarahdaging tokoh Babah.

Kendati tak sekuat Nano, Leony juga mampu membawakan tokoh Angela dengan kuat. Dia tidak terporosok menjadi behavior dirinya sendiri  sebagai etnis keturunan Cina, tetapi Leony berupaya to be Anggela, seorang perempuan dari lingkungan budaya Cina yang kawin dengan seorang keturunan Arab beragama Islam dan dia  menjadi mualaf.

Pergumulan batin seorang perempuan seperti itu yang masih tetap mencintai suaminya dan ingin mempertahanankan keutuhannya di tengah-tengah badai alkutulrasi dapat dieskpresikannya dengan dorongan dalam.

Di sini, jika salah penafsirran  dalam  memerankan tokoh tersebut, kemungkinan  dapat terjerumus menjadi  over acting.

Untuk memberi kesan ada tekanan dan konflik batin jika akting tidak datang dari  dalam diri (inner acting) dapat tergelincir menjadi berlebihan. Setidaknya Leony terhindari dari hal seperti ini dan menampilkan tokoh Angela dengan pas.

Bumerang Dramatisasi

Bidadari Mencari Sayap bukanlah film Indonesia pertama yang mencoba membenturkan dua kebudayaan yang berbeda, khususnya budaya Cinda dan Budaya Arab dalam proses percintaan dengan latar belakang akulturasi kedua budaya itu.

Keberanian Aria untuk kembali menampilkan hal ini merupakan sesuatu yang perlu diberi nilai khusus. Tetapi karena itu sekaligus Bidadari Mencari Sayap  dituntut memberikan penampilan  yang lebih menarik.

Film perlu disajikan dengan daya tarik buat penonton. Disinilah muncul soalnya. Film memang seni yang membutuhkan dramatisasi. Penceritaan memerlukan bangun konflik, tetapi semua itu, jangan lupa,  tetap memerlukan logika dan planing informasi.

Di sinilah kelemahan mendasar Bidadari Mencari Sayap. Banyak adegan dan konflik yang kurang masuk logika dan kentara cenderung dibuat dengan maksud memperkuat dramatisasi, tetapi  malah menjadi bomerang, karena asal muasal cerita menjadi lemah.

Reza dan Angela bukan pasangan yang baru seumur jagung kawin. Mereka bukan suami isteri  yang kawin kemarin sore, tetapi sudah lebih lama dari umur anaknya yang sudah sekolah, sekitar tujuh – delapan tahun.

Artinya, sewajarnya selama priode perkawaninan  hal-hal elementer pastinya sudah dibahas, diperdebatkan dan diselesaikan dengan solusi yang dapat diterima masing-masing pihak.

Persoalan kenapa umat muslim tidak boleh makan babi  bagi pasangan itu semestinya  bukan sesuatu yang baru lagi.

Itulah sebabnya ketika  terdapat dramatisasi masih ada debat soal makan babi antara Reza dan Angela terasa aneh, kalau tidak mau disebut kurang masuk akal.

Di sinilah dramatisasi yang dimaksud untuk mempertajam konflik film, hasilnya malah menjadi bumerang, karena justeru menjadi informasi yang meragukan.

Baca juga :  Pemprov Sumatera Barat Tak Merasa Dilibatkan Dalam Pemilihan Putri Indonesia 2020

Begitu juga perlakuan masing-masing keluarga kepada menantu dan ipar mereka setelah sekian lama kawin,  seakan tidak ada  pengertian sama sekali.

Sulit diterima akal keluarga Angela merayakan imlek di rumahnya dengan membawa makanan babi, walaupun makanan itu kesukaan Babah.

Pastilah dalam sebuah budaya, selama perkawinan sudah terjalin pengertian bahwa ada anggota keluarga yang beragaman muslim yang mengharamkan makan babi dengan keluarga pihak isteri, sehingga  kalau makan di rumah anggota keluarga yang muslim  sebaiknya tidak membawa makanan babi.

Senaif-naifnya keluarga, logika dan sosiologis sulit diterima keluarga frontal secara demokstratif bawa dan makan babi di keluarga muslim.

Di Bidadari Mencari Sayap malah diperlihatakan adanya unsur kesengajaan membawa makanan babi, seperti tidak ada toleransi sama sekali.

Film mungkin ingin mempertajamam konflik antara dua budaya yang berbeda dalam sebuah akulturasi, tetapi hasilnya malah menimbulkan tanda tanya bagi penoton,  dan mengiring penonton cenderung tidak mempercayaainya.

Hal yang sama terjadi ketika Angela berkunjung ke rumah keluarga besar Reza. Secara logika setelah cukup lama perkawinan Reza-Angela, keluarga besar Reza semestinya sejak awal sudah memaklumi Angela yang berasal dri keluarga keturunan Cina dan menjadi mualaf.

Memerlukan proses panjang dalam menghayati dan mengamalkan agamanya. Apalagi dalam Islam diajarakan tidak boleh memaksakan  ajaran agama kepada pihak lain.

Soal memakai jibab, pastilah keluarga Reza semestinya maklum tidak boleh memaksa Angela memakainya, apalagi dia sudah mengemukakan alasan memiliki penyakit alergi di kepala.

Pemaksaan dari keluarga besar Reza yang dimaksud menpertajam  kontras, akhirnya  sampai ke penonton menjadi kontraproduksi. Penonton malah dibuat tidak percaya keluarga muslim belum memahami anggota keluarga yang berasal dari bukan kelingkungan mereka.

Setelah sekian lama kawin masih memaksa anggota keluarga mereka yang mualaf dan berasal dari keluarga keturunan Cina memakai jilbab.

Film memang memerlukan dramatisasi. Itu jelas. Tapi kalau berlebihan, malah menimbulkan ketumpulan logika dan membuat konstruksi cerita menjadi lemah.

Kehilangan Indentitas

Aria merupakan seorang sutradara yang sangat potensial. Dia dapat mengkreasi gambar-gambar indah dan konotatif. Tetapi pada film ini Aria terlihat banyak kehilangan indentitas dirinya.

Banyak adegan yang dibuat demi “selera publik” tidak lebih dari duplikasi yang ada di film-film lainya. Adegan Reza di kamar mandi di bawah pancuran air, misalnya, sudah dapat kita saksikan dari ratusan film lainnya. Padahal Aria biasanya memiliki kreativitas yang tinggi.

Transisi  dari pembuat film indie ke film “pop”  buat Aria kelihatan belum berlangsung mulus. Tuntutan  untuk menghasilkan film yang lebih memenuhi selera publik, nampak masih membebani Aria.

Maka, dia tidak mampu menyalurkan kemampuan kreatifitasnya secara optimal. Film ini menjadi pembelajaran berharga buat Aria dan sekaligus menjadi studi kasus menarik buat kalangan perfilman.

 

Tinggalkan Balasan