MATRANEWS.ID – Fenomena “kumpul kebo” atau kohabitasi tanpa ikatan pernikahan di Indonesia semakin mencolok dalam beberapa tahun terakhir.
Meski norma hukum dan ajaran agama menolak praktik ini, kenyataannya banyak pasangan muda yang memilih untuk hidup bersama tanpa status resmi.
Menurut laporan dari berbagai sumber, satu alasan utama di balik keputusan ini adalah pergeseran pandangan masyarakat tentang relasi dan pernikahan.
Realitas Baru dalam Hubungan
Generasi muda kini memandang pernikahan sebagai suatu hal yang rumit, sarat dengan berbagai norma dan prosedur yang seringkali mengekang.
Dalam pandangan mereka, “kumpul kebo” justru menjadi simbol cinta yang lebih tulus dan bebas.
Dalam hal ini, banyak yang memilih untuk menjalin hubungan tanpa komitmen yang formal sebagai cara untuk mengeksplorasi perasaan satu sama lain.
Meskipun di negara-negara barat seperti Eropa dan Amerika, kohabitasi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, di Indonesia, hal ini masih dianggap tabu.
Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa “kumpul kebo” khususnya banyak terjadi di wilayah Indonesia bagian timur, di mana banyak pasangan non-Muslim memilih hidup bersama.
Wilayah dengan Angka Tinggi Kumpul Kebo
Studi yang dilakukan oleh Yulinda Nurul Aini, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menemukan bahwa banyak pasangan di Manado memilih untuk “kumpul kebo” karena alasan finansial dan kesulitan dalam proses perceraian, selain faktor penerimaan sosial.
Dari data yang diambil, sekitar 0,6% penduduk Manado diketahui melakukan kohabitasi, dengan sejumlah faktor yang mempengaruhi keputusan tersebut.
Dampak yang Dirasakan
Namun, pilihan ini tidak tanpa konsekuensi. Yulinda mengungkapkan bahwa dampak negatif dari “kumpul kebo” ini lebih banyak dirasakan oleh perempuan dan anak-anak.
Tanpa adanya komitmen hukum, jaminan hidup bagi ibu dan anak menjadi tidak ada.
Mereka tidak memiliki hak yang sama dalam hal nafkah dan pembagian aset jika hubungan tersebut berakhir.
Dalam konteks kesehatan mental, ketidakpastian dalam hubunga juga dapat memicu masalah emosional yang serius.
Data menunjukkan bahwa sekitar 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik, dan anak-anak yang lahir dari hubungan ini tidak jarang menghadapi stigma yang menyakitkan.
Mereka cenderung merasa bingung tentang identitas mereka, disebabkan oleh kurangnya pengakuan dari lingkungan, bahkan hingga anggota keluarga sendiri.
Memahami dan Menghadapi Fenomena Ini
Kehidupan bermasyarakat selalu menghadapi perubahan, dan fenomena “kumpul kebo” adalah salah satu bentuk dinamika tersebut.
Dengan pendekatan yang lebih terbuka dan pemahaman yang lebih dalam, kita dapat mulai membahas isu ini tanpa stigma, melainkan dengan empati terhadap mereka yang merasakannya.
Jadi, bagaimana kita bisa menanggapi fenomena ini? Mari kita tingkatkan kesadaran dan pemahaman tentang hubungan yang sehat dan hak-hak masyarakat.
Penting bagi kita untuk menghadapi kenyataan ini dengan bijak, memberikan dukungan dan solusi kepada mereka yang memerlukan.
Mari buka pikiran dan hati kita untuk memahami fenomena “kumpul kebo” yang sedang marak ini.
Diskusikan dengan orang-orang terdekat dan cari tahu lebih banyak tentang dampak yang mungkin terjadi.
Dengan pengetahuan dan empati, kita dapat mencari solusi yang lebih baik untuk semua.
#KumpulKebo #Kohabitasi #CintaNoLabels #Empati #KesadaranSosial