Menyulap Balai Pustaka Menjadi Kekinian

MATRANEWS.id — “Balai Pustaka merupakan BUMN di bidang penerbitan yang selama ini merugi terus, nyaris bangkrut. Kini, sudah bisa menata dan tidak kembang kempis lagi, sudah untung,” tutur Judith J. Dipodiputro, Staf Khusus II Menteri BUMN.

Perempuan aktif, ahli komunikasi dan mantan jurnalis serta aktivis NGO ini memperkenalkan sosok dibalik kebangkitan manajemen PT Balai Pustaka. Dari yang 15 tahun merugi terus, nyaris bangkrut dan akan digrounded pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Achmad Fachrodji adalah sosok yang disebut itu. Sebagai Direktur Utama PT Balai Pustaka, Achmad Fachrodji tidak minder dan keder, dengan Dirut BUMN yang lain. Terobosannya, dalam membangun kembali institusi Balai Pustaka dan bermetamorfosis.

Suatu ketika, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menawari Fachrodji untuk masuk ke dalam perusahaan pelat merah yang sudah “kembang kempis” itu. “Seorang rimbawan untuk menjadi sastrawan,” ujar Achmad Fachrodji dengan mimik jenaka.

Fachrodji adalah Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB). Bahkan ia tidak punya latar belakang profesional mengurusi masalah sastra. “Saya sih percaya diri saja,” mantan Dirut Perhutani ini menjelaskan.


Rimbawan ini, berpengalaman sebagai manajer proyek kehutanan di Kalimantan hingga menduduki posisi sebagai Direktur PT Perhutani. “Dengan kita mau belajar, dan terus belajar, kita bisa atasi masalah tanpa masalah,” ujarnya bercanda.

Pria kelahiran Brebes 16 Oktober 1960 ini dengan gagah berani menerima tawaran dari Menteri Rini. Fachrodji merasa tertantang dengan hal baru. Bagaimana ia bisa menyelami dunia sastrawan. “Tantangan saya, menyehatkan kembali perusahaan di tengah mental SDM nya yang sudah down,” ujarnya.

Begitu diterjunkan, Fachroji tak berlama-lama “semedi” di ruang Balai Pustaka yang mati lampu, karena tak kuat bayar listrik. Justru terobosan yang diambil alih. “Detilnya, nanti kalau majalah eksekutif wawancara khusus,” ujarnya kemudian tertawa lebar.

Yang pasti, Fachrodji yang punya sederet pengalaman menyulap lingkungan Balau Pustaka yang kumuh, kini menjadi segar. Ada kafe Sastra untuk kongkow, serta di sudut taman depan Balai Pustaka, nuasa bunga terawatt apik, dengan patung perunggu artistic.

Pertama kali masuk kerja, sang Direktur Utama usaha penerbitan ini mengaku sempat shock juga, ya agak terkejut. Kondisi kantor PT BP tidak seperti yang ia bayangkan. Saat itu ruang depan sudah benar-benar kumuh dan memprihatinkan. Di sana-sini gelap seperti rumah hantu. Karena BUMN ini tak mampu bayar listrik.

“Ketika saya masuk seperti saya berada di rimba belantara. Karyawan di sini itu susah ngumpul karena mereka tidak gajian, mereka lebih memilih ngojek atau bekerja sambilan di luar,” ujar Achmad Fachrodji mengenang, tanpa harus berkubang dalam romantisme pedih.

Melakukan pembenahan manajemen dan perubahan budaya perusahaan, antara lain, dengan membangun mental dan mindset SDM karyawannya.

“Ketika saya kumpulkan karyawan, maka pertanyaan saya kepada mereka pertama kali adalah Sabtu Minggu pada kemana, jawaban mereka oww kami kan BUMN, pasti Sabtu Minggu libur,” tutur Fachrodji mengenang pertama ia memotivasi karyawan.

“Saya bilang tuh di seberang kita (Toko Gramedia,red), Sabtu Minggu itu lagi rame-ramenya, kenapa Anda harus libur. Jadi kami harus kerja? tanya karyawan, saya jawab harus,” sambung Fachrodji.

Maka terciptalah yang namanya “Sanggar Sastra Balai Pustaka”. Latihannya tiap Sabtu Minggu. Dan mulailah Balai Pustaka gegap gempita, Sabtu Minggu pun ada karyawan yang masuk kerja.

“Dari situ maka saya beritahu kepada mereka, kenapa dengan menggairahkan sastra Balai Pustaka akan bangkit kembali, saya beritahu tentang filosofi membalas budi kepada para pendahulu Balai Pustaka. Karena karyawan ini pernah merasakan gaji dari hasil royalti karya para sastrawan besar, maka itu doa-doa para sastrawan lebih diterima Tuhan karena narasinya kan lebih indah,” katanya.

“Dulu tidak seorangpun pemimpin di negeri ini yang tidak mengenal Balai Pustaka. Mereka jadi pintar karena peran Balai Pustaka juga,” kata Fachrodji.

Balai Pustaka merupakan perusahaan penerbit tertua di Indonesia dan sudah berumur 100 tahun pada 2017 lalu. “Balai Pusataka menyelenggarakan Sanggar Sastra dalam rangka merangsang kreativitas generasi muda dalam bidang sastra,” kata Fachrodji.

Kondisi Balai Pustaka yang 15 tahun merugi terus, menjadikan asetnya beberapa dijual dan mempunyai hutang pajak. Hal itu terjadi setelah monopoli penerbitan buku pemerintah dicabut.

“Aset-asetnya pada dijualin untuk membayar gaji pegawai karena merugi terus. Semua gedung dijual. termasuk gedung berlantai 16 di dekat gedung OJK, pabrik percetakan, semuanya dijual, dan hanya tinggal satu pabrik percetakan di Pulogadung dan Pulokambing, itu masih kita pertahankan,” paparnya.

Lalu ada karyawan yang mengusulkan ke Fachrodji sebaiknya pabriknya dijual saja agar mereka bisa gajian. “Tapi, justru saya berbeda pendapat. Saya tegaskan, gedung yang pernah dijual harus balik kembali ke pangkuan Balai Pustaka,” kata pria penggemar olah raga ini.

Apa dan bagaimananya, dalam proses. Dan ketika kementrian kolega BUMN memberikan masukan kepada Fachrodji agar bekerjasama dengan salah satu jaringan toko besar di Indonesia, Fachrodji malah membuat anomali. “Harusnya mereka yang datang kepada kita,” kata Fachrodji.

Dan menurut Fachrodji, itu bisa dibuktikan. Tahun ini, Balai Pustaka tengah berusaha membangun 1.000 Taman Bacaan. Konsep Taman Bacaan layaknya toko buku, hanya lokasi Taman Bacaan banyak dibangun di wilayah-wilayah terpencil. Satu taman bacaan diisi 500 buku yang tidak hanya terbitan dari Balai Pustaka.

“Ketika bu Rini meminta Balai Pustaka bersinergi dengan BUMN dan membuat program 1.000 taman bacaan,” ujar Fachrodji. Maka 1.000 itulah gerai Balai Pustaka, “Anda bisa hitung jika satu rumah baca butuh 10 judul buku maka ada 10 ribu judul buku yang harus dipasok ke taman bacaan.”

Tak pelak, toko buku itu pun mendekati Balai Pustaka.”Mereka ingin men-display bukunya di Taman Bacaan. Karena pasti laku. Jadi sama-sama hidup, penerbit swasta hidup, kami juga hidup,” papar Fachroji dengan gambling.

Untuk kemudian, Balai Pustaka terobati penyakitnya. Banyak toko buku, yang mendekati Balai Pustaka, karena gerai jaringan yang luas.

Tanpa bermaksud menyombongkan diri, mission impossible ini ketika Fachrodji keliling menawarkan kerjasama dengan BUMN.

“Kebetulan ibu Rini (Menteri BUMN,red) ada program 1000 rumah sastra, maka saya ajak BUMN untuk mensukseskan program ini bersama PT Balai Pustaka, maka kami mengembangk

“Bila beli buku di toko sebelah kira-kira Rp 100 ribu, kami berani jualan separuh harga,” kata Fachrodji.

Belakangan, pemerintah melalui kementerian BUMN sangat serius membantu dan memperkuat eksistensi Balai Pustaka. Kata Fachrodji, pemerintah memberikan arahan agar Balai Pustaka bersinergi dengan BUMN lain, guna mendorong kelancaran bisnis.

“Menteri sebagai perwakilan pemerintah memberitahu kepada saya sebagai Dirut. Kalau ada Dirut yang begitu dihubungi tak mau menjawab, beritahu saya, nanti saya tegur Dirut BUMN tersebut’,” ucap Fachrodji menirukan percakapannya dengan Menteri Rini Soemarno.

Rahasia itu sebetulnya off the record, tapi kemudian dibuka juga, demi memotivasi BUMN lain yang merugi, bisa lolos dari jerat hutang.

Tak hanya membenahi manajemen, Fachrodji juga menyulap suasana kantor PT Balai Pustaka yang tadinya kumuh, gelap dan seperti rumah hantu, kini jadi kantor yang nyaman dan menarik perhatian orang. Fachrodji menyebut kantornya sebagai istana peradaban.

Dari mulai wajah ruang depan ia sulap persis kantor modern dengan pintu otomatis. Jalan masuk menuju kantornya ia cat dengan lukisan mural yang eksotik. Halaman kantor dipenuhi bunga dan ada juga sepeda klasik penuh pot bunga cantik.

“Ada sepeda yang dihiasi bunga cantik kalau anda lihat di luar tidak ada sepeda berhias bunga, kami membuatnya,” papar Fachrodji.

Di bawah jajaran direksi yang baru, Balai Pustaka kini mulai menanggalkan budaya lama. Kini, Balai Pustaka lebih terbuka, berusaha mengikuti perkembangan dan dinamika perkembangan karya sastra. Bahkan Balai Pustaka kini mulai memasuki era digital. BUMN ini mendapatkan order dari televisi berlangganan asal Malaysia, Aora TV.

Menurut Fachrodji, Balai Pustaka mengembangkan produk digital dan lebih kekinian, Maksudnya, redaktur membuat ulang beberapa judul buku yang disesuaikan dengan selera anak muda. Kemudian diformat dalam digital.

Tidak hanya segi tulisan, Balai Pustaka juga memiliki tim kreatif yang bertugas membuat grafik dan animasi menarik yang dapat mengundang orang untuk membaca. “Untuk menarik perhatian,” kata dia.

Fachrodji mengaku, Balai Pustaka kerap didatangi para sineas untuk mencari sumber inspirasi dalam pembuatan film. Beberapa sineas berkunjung ke perpustakan Balai Pustaka mencari judul buku yang bisa diangkat ke layar lebar dan sinema elektronik (sinetron).

“Kita membuat produk miniseri tivi berjudul “Sengsara Membawa Nikmat” cerita skenarionya diambil dari sebuah karya sastra, sudah kami produksi 24 episode dan sudah ditayangkan di stasiun tivi,” jelas Fachrodji.

Bagi Fachrodji, tidak ada penerbit di Indonesia yang punya kekayaan sehebat BP. “Sampai ada 6.000 judul lebih, dan kami punya segalanya. Jadi, tidak mungkin mati.”

Balai Pustaka juga tengah menjajaki kerjasama dengan salah satu perusahaan pembuatan animasi. Rencananya, ada proyek pembuatan film animasi yang ceritanya berasal dari karya sastrawan Indonesia.

Ada juga rencananya membuat film legenda Siti Nurbaya dalam bentuk animasi dan berlatar belakang kekinian. Uniknya lagi, dalam membenahi PT Balai Pustaka, pria energik ini menggunakan filosofi pantun. Beberapa kali Fachrodji unjuk kebolehan membaca puisi di hadapan majalah eksekutif dan Matra.

baca nanti majalah eksekutif edisi Agustus 2018: Nanti klik ini

Tak hanya membenahi manajemen, Fachrodji juga menyulap suasana kantor PT Balai Pustaka yang tadinya kumuh, gelap dan seperti rumah hantu, kini jadi kantor yang nyaman dan menarik perhatian orang. Fachrodji menyebut kantornya sebagai istana peradaban.

Tinggalkan Balasan