ADA SEMACAM KREDO DI DUNIA fotografi: kalau belum memotret orang tanpa busana, berarti belum sampai pada titik kulminasi.
Apakah ini masih berlaku di era pandemi?
Kala sebelum Covid -19 menyebar dan membuat lock down, fotografer senior bersaksi banyak.
“Pada tahap itu, seorang fotografer dilatih penguasaan anatomi, dan sejauh mana kepekaannya terhadap setiap lekukan tubuh manusia,” ungkap seorang fotografer nudes terkenal dari Indonesia.
“Tapi, polos bukan berarti vulgar,” mantan fotografer majalah pria itu berpendapat.
Ia sebut karya Robert Farber, fotografer asal Amerika Serikat yang kerap menampilkan wanita telanjang sebagai objek.
Karya fotografinya berserakan di berbagai tempat, semisal untuk iklan pusat perbelanjaan ternama Bloomingdales, Revlon, Philip Moris, Seagram, dan sebagainya.
“Ketelanjangan bisa diekspos secara tidak vulgar, “kata pria yang sudah 20 tahun menekuni profesi ini. Foto nudes, menurutnya, bukan naked.
“Agar foto tak terkesan porno, fotografer harus sungguh-sungguh melihat aspek artistiknya. Tidak asal telanjang. Itu akan membuat model puas dengan hasil akhirnya dan punya kebanggaan,” kata Roni.
Pria berpenampilan keren dan berambut gondrong ini sudah cukup lama malang melintang di dunia fotografi, mulai memotret untuk sampul kaset sampai foto “panas”.
Begitu jagonya, ia menaklukkan model, terbukti dari kerapnya rekan seprofesi meminta bantuan untuk “menelanjangi” sang model – apalagi bila dihadapi seseorang artis.
Nilai artistik dari foto tanpa busana bisa didapatkan dari sistem pencahayaan dan setting lokasi – misalnya di gedung kuno, kamar mewah, atau tumpukan jerami.
“Penthouse dan Playboy, fotografinya bagus karena tidak sekadar menampilkan tubuh telanjang,” ujarnya, panjang lebar.
“Saya tidak peduli dengan komentar yang menyebut sebagai fotografer porno, fotografer bugil, atau apa saja, “kata Leo, yang bekerja di sebuah tabloid kerap memunculkan foto-foto syur.
Diakuinya, di kalangan fotografer profesional namanya masuk kotak alias tak diperhitungkan. “Fokus saya adalah mendapatkan model, membujuk model, dan menikmati proses pemotretan ini,“ tegasnya.
Leo mengaku, selalu memilih model-model yang seksi. “Umumnya berdada besar,” ujar pria yang enggan disodori cewek cantik tapi berdada tipis ini.
“Kurang menggairahkan, dan tidak menantang kreativitas saya!” tutur lelaki yang sejak SMA di pertengahan tahun 1970-an sudah mengenal majalah dewasa yang menampilkan foto-foto seksi seperti Violeta, serta Vista, Variasi, Ultra, TOP, Serta Adam & Eva itu.
Awalnya, fotografer tabloid ini memotret model yang kurang begitu populer dengan pertimbangan mereka bisa “longgar” dalam eksperimen pemotretan yang dilakukannya.
“Jujur saja, memotret pemula lebih asyik,” ujar pria yang belakangan banyak membidik selebritis itu.
Leo lantas membuka kartu, cara “menelanjangi” seorang model. “Bila yang datang sedang-sedang saja, saya puji dengan gaya sedang-sedang juga. Misalnya dengan mengatakan wajahnya kok mirip banget sama Sarah Azhari.
Yang dipuji biasanya langsung klepek-kelepek. Atau mereka bilang, ‘Ah bisa aja!’ Kalau yang ke’ge-er’an menjawab begini ‘Memang banyak sih yang bilang begitu’ Ha…ha…ha….” kata Leo sambil terbahak.
Cerdiknya, jika Leo melihat modelnya cerdas, maka dia putar otak lagi. “Kenapa kita baru ketemu sekarang? Mestinya kamu sudah menggantikan Luna Maya!” begitulah bujuk rayu pria yang mengaku memotret wanita dengan pose vulgar, persis foto-foto di halaman tengah Hustler atau Penthouse.
Tentu, gombalan ala Leo ini bukan harga mati yang diterapkan fotografer.
Tantangan terberat memotret orang telanjang, kata seorang fotografer senior, adalah mengendalikan diri dan nafsu berahi. Maklumlah, mereka merasa lebih nyaman saat memotret di suatu ruangan.
“Kadangkala tak kuat menahannya,” kata fotografer itu, terus terang. Ironisnya, setelah “mencicipi” si model, kreativitas untuk memotret model itu dalam keadaan telanjang justru buyar.
Begitulah, hampir semua fotografer sependapat bahwa masalah kepercayaan antara model dan fotografer adalah kunci untuk bisa mengabadikan pose penuh sensasi.
Untuk menjaga nilai kepercayaan tersebut, ada fotografer yang pantang menyimpan klise foto modelnya dan memilih memberikan langsung kepada sang model.
Di era digital sekarang, hasil itu langsung di-copy ke yang bersangkutan, untuk kemudian di delete.
Kendati begitu, ia mengaku foto yang mengarah ke vulgar bisa ada karena ada disitu terjadi hukum penawaran dan permintaan.
“Ada artis yang belum top, mau tampil di satu media, karena mungkin dipikirnya salah satu jalan ke arah itu adalah harus mau difoto bugil. Nah, kemungkinan peluang itu tidak disia-siakan oleh fotografernya. Jadilah dia difoto yang bisa setengah bugil atau malah polos. Padahal, belum tentu model itu dipakai di medianya,” kata mantan fotografer majalah pria itu, lantas tertawa.
Beberapa artis pemula yang siap diapakan saja oleh para “Mat Kodak”, tak sedikit yang meminta imbalan agar setidaknya diperkenalkan kepada produser.
“Kami tekankan bahwa ini bentuk kerjasama. Kalaupun kemungkinan ada produser yang berjalan, itu nasib baik dia,” ujar Roni, yang mematok sekitar Rp 5 juta untuk memotret telanjang bagi pendatang baru, dan minimal10 juta bagi mereka yang sudah punya nama.
Sebagai orang yang sering bergaul dengan artis, fotografer memang pelaku sekaligus pendengar gosip yang baik.
Fotografer punya lingkungan yang sama dengan orang salon –- tempat orang berias, cukur dan bergosip. Fotografer akan dengan mudah mendapat info seorang model F yang dipelihara petinggi polisi, Menteri, anggota DPR, dan bankir.
Atau, artis beken S yang dipersembahkan tim sukses anu. Atau juga, seorang banci menjual model ke pejabat B. Ia juga tahu persis, ada tim sukses presiden, hobinya main dengan model. Ups!!!
Ringkasnya, seorang fotografer tahu banyak artis yang tampilannya alim, intelektual dan ada artis “acaraan” dengan tarif-tarif tertentu.
Fotografer ring satu saat ini, termasuk fotografer tim sukses kandidat beberapa tokoh yang maju jadi kandidat presiden RI yang lalu, punya banyak cerita untuk hal ini.
Majalah Matra melihat sendiri, bagaimana suatu kali ada model cantik rela menawarkan diri. Karena kepepet bayar kost dan terjebak dalam gaya hidup shabu, tarifnya ‘only’ Rp 12,5 juta.
Kemudian, ada seorang fotografer ganteng yang menawarkan, makan siang dengan model beken, charge –nya Rp 5 juta saja. Selanjutnya, terserah Anda.
Hubungan yang demikian dekat inilah, membuat banyak eksekutif muda ingin “bergaya” laiknya fotografer profesional.
Dengan alat fotografi yang lumayan lengkap, mereka sengaja membayari sang foto model. “Ia yang menanggung biaya tiket sampai penginapan,” ujarnya.
Hal ini, tak sulit dan hanya memakan biaya tak sampai Rp 5 juta. Dan, ini ada kelompoknya tersendiri. Mereka patungan untuk membiayai sang model.
Memadukan rapsodia dan realitas. Semua itu terjadi, baik atas kemauan sendiri atau setelah diadakan pendekatan.
Abel, misalnya, bintang sinetron yang wajahnya menghiasi kalender dengan pakaian minim, mengakui itu. Sistem “satu paket” itu artinya bisa “dipakai” seusai difoto.
Bahkan, dalam dunia fotografi pose “seru” sebuah majalah P. Media cetak itu menyediakan paket wisata, paket foto bersama model-model cantik, untuk beberapa hari “berpose” sensual ke luar kota.
Untuk laporan berikut, tunggu investigasi selanjutnya. Bagaimana telanjang itu art, keindahan dan seni. Klik! Klik!!
Yang jelas, seiring berjalannya waktu. Di tengah mewabahnya virus Corona, aktivitas di industri kreatif seperti fotografer profesional ini jauh berkurang. Mereka harus menyikapinya karena tidak bisa memotret dengan leluasa di luar ruangan seperti biasanya.
Fotografer pre-wedding/wedding juga menderita karena harus membatalkan sesi photoshoot di luar kota atau luar negeri karena sebagian besar lokasi populer seperti Bali, Jepang, Singapura, Jepang ditutup untuk orang luar.
Pekerjaan fotografi komersial juga akan berkurang karena budget perusahaan berkurang dan anggaran yang dianggap tidak penting akan dipangkas.
Buntutnya, industri fotografi produsen gear seperti kamera, lensa, aksesoris juga akan terdampak. Produksi kamera dan pengembangan gear tahun ini akan melambat karena gangguan supply chain untuk mendapatkan komponen-komponennya. Kamera dan lensa baru yang diumumkan awal tahun akan tertunda.
Setelah stok lama yang di diskon habis, harga kamera dan lensa baru akan makin mahal karena nilai tukar Rupiah yang melemah dibanding USD plus biaya produksi dan distribusi kamera akan meningkat.
Yang muncul belakangan adalah aplikasi digital, yang memfasilitasi hal di atas. Sementara komunitas fotografer nude dan modelnya “menghilang”. Benarkah?
(Ada periode, fotografer akan dengan mudah mendapat info seorang model F atau Z yang “jualan” bahkan ada yang dipelihara petinggi polisi, Menteri, anggota DPR, dan bankir).
Ilustrasi foto: