Munir, Mengapa Dia Dibungkam?

Munir, Mengapa Dia Dibungkam?

MATRANEWS.id — Tulisan ini menjadi catatan sejarah. Bukan hanya lebih dari seratus hari sejak sepeninggalan Munir, kematiannya masih jadi teka-teki. Di era Jokowi, hingga 2020, teka-teki ini masih menjadi misterius, siapa dalangnya.

Penyebabnya memang sudah jelas, dia tewas diracuni arsenik yang dicampur dalam makanan yang disantapnya.

Yang jadi soal, kenapa dia harus dibunuh dan siapa pula yang tega membunuh pria kurus kecil ini.

Pertanyaan ini terus menggelondong, belum jua terjawab.

Aktivis HAM semacam Munir memang selalu dihadapkan pada dua sisi yang dilematis: banyak kawan, tapi juga banyak lawan.

“Kasus Munir merupakan tragedi sekaligus martir bagi gerakan hak asasi manusia,” ujar Todung Mulya Lubis, praktisi hukum dan aktivis sekaligus kolega Munir di Imparsial.

Sebegitu berbahayakah pria asal Malang, Jawa Timur, ini sehingga dia harus dibungkam?  Majalah MATRA sempat menelusuri berbagai sumber untuk mencari jawabnya.

****

Perjalanan malam itu menjadi akhir hidup Munir. Sebuah universitas di Belanda memberikan beasiswa studi S-2 satu tahun untuk bidang International Protection on Human Rights.

Dengan semangat besar, 6 September lalu, Munir menaiki pesawat Garuda 974 menuju Amsterdam. Awal yang indah itu kemudian menjadi cerita kelam.

Di pesawat, diam-diam ajal mendekatinya.

Tiga jam setelah transit di Singapura, seorang petugas kabin membangunkan Tarmizi Hakim, seorang penumpang yang juga dokter ahli jantung, dan meminta bantuannya untuk memeriksa seorang penumpang yang sakit di kelas ekonomi.

Penumpang itu bernama Munir.

Kepada Hakim, Munir menyatakan enam kali keluar-masuk kamar kecil dalam tempo setengah jam.

Dokter Hakim menduga Munir menderita muntaber. Fisik Munir terlihat sangat lelah dan sakit. Hakim lalu memberikan semacam obat sakit perut, tapi tidak efektif.

Setelah diberikan obat tambahan, sakit Munir sedikit reda. Munir meminta petugas kabin untuk bisa dipindahkan ke dekat kamar kecil. Sekejap kemudian dia tertidur.

Lima jam berlalu, sebelum pesawat mendarat di Amsterdam, Hakim mengecek Munir, dan apa yang terjadi kemudian diluar dugaan: Munir tidak bergerak, sekujur tubuhnya dingin.

Aktivis dan pejuang HAM itu meninggal di atas langit-langit Amsterdam, 7 September 2004.

Berita menggelegar segera sampai ke tanah air. Keluarga, kerabat, kawan, dan kolega luluh larah.

Tak percaya, tapi nyata. “Ia terlihat sehat, bahagia, dan sangat semangat sewaktu berangkat,” tutur Poengky Indarti, sohib dekatnya, yang juga Sekretaris Imparsial, sebuah kantor LSM yang terakhir ditempati Munir.

Hingga detik itu, dugaan sementara: Munir mangkat karena sakit.

Akan tetapi, dua pekan kemudian kabar terbaru berembus. Badan Forensik Belanda mengatakan bahwa dalam tubuh Munir ditemukan zat arsenik yang melebihi batas normal.

Tak mungkin Munir bunuh diri. Jadi? Kemungkinan besar Munir diracun.

Tapi, dari mana racun itu masuk?

Kepada pers, Rachland Nashidik, Direktur Program/Pejabat Direktur Eksekutif Imparsial, mengatakan, pada hari keberangkatannya, Munir seharian bersama keluarga.

Dia sempat minum cokelat panas di bandara, tapi kemudian diambil istrinya dan saat itu, Munir tidak terlihat sakit.

Dokter Hakim pun ingat Munir mengaku tak menyantap sesuatu yang istimewa di Jakarta sebelum keberangkatannya.

Racun arsenik, menurut para pakar kimia, akan bereaksi setelah kurang lebih 4 jam.

Menurut kamus Wikipedia, arsenik dan komponennya merupakan racun yang kuat, hingga mendapat julukan “king of poison”.

Racun arsenik membunuh dengan cara merusak sistem pencernaan, yang menyebabkan kematian. Gejala ini sama dengan yang dialami almarhum Munir.

Senyawa arsenik biasanya tidak berbau, tidak berasa, dan larut dalam air, sehingga sulit dideteksi.

Kolega Munir dan anggota keluarga lantas menitikberatkan pertanyaan asal racun itu pada penerbangan pertama, dari Jakarta ke Singapura.

Diketahui pula rupanya Munir pindah dari kelas ekonomi ke kelas bisnis. Dari penerbangan itukah racun arsenik dimasukkan?

Pemerintah tidak dari awal menyelidiki kasus kematian Munir. Mereka baru melanjutkannya setelah Suciwati, istri Munir, dengan gigih menuntut pengusutan.

Pihak Kepolisian akhirnya mengumumkan sejumlah orang dalam daftar penerbangan yang bakal ditanyai, termasuk para awak Garuda. Pihak Garuda sendiri berjanji akan bekerja sama dalam penyelidikan itu.

Sementara dari Belanda, pihak Kementerian Kehakiman setempat menyatakan tidak akan mengadakan pengusutan atas kasus Munir.

Alasannya, selain Munir bukan warga negara Belanda, locus delicti atau kejadian perkara bukan berasal di wilayah atau pesawat Belanda, dan kasus tersebut juga bukan kasus internasional.

Sebagaimana dilaporkan wartawan Radio Nederland, berdasarkan alasan-alasan tersebut, hasil otopsi dialihkan dari Kementerian Kehakiman ke Kementerian Luar Negeri di Den Haag, lalu berubah menjadi urusan government to government (G to G).

Maka, Kementrian Luar Negeri Belanda mengirimnya kepada Departemen Luar Negeri Indonesia. Sampai di situ alasan pihak Belanda tampaknya tepat.

Namun, mesti dingat pula, tatkala jasad Munir tiba 7 September di Belanda, keluarga Munir telah menunjuk wali.

Antara pihak wali keluarga dan kehakiman lokal, yang membawahkan wilayah bandar udara Schiphol di Amsterdam, telah sepakat bahwa hasil otopsi akan diberikan kepada keluarga melalui Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.

Lantas, mengapa itu tak terjadi?

Menurut keterangan, wali keluarga Munir di Belanda dinilai lemah. Karena, kesepakatannya bersifat lisan dengan instansi lokal.

Anehnya, ketika pihak keluarga dengan amat susah meminta berkas otopsi itu kepada Departemen Luar Negeri RI, aparat dapartemen itu justru membocorkan terlebih dahulu kepada koresponden surat kabar Belanda NRC Handelsblad di Jakarta.

Uniknya lagi, menurut keterangan Direktur Eksekutif Imparsial, Arizal, pihak Deplu tidak mau menyampaikan isi hasil otopsi itu kepada Imparsial, meski publik mengetahui bahwa Imparsial mewakili keluarga Munir.

Todung Mulya Lubis, Ketua Badan Pendiri Imparsial, terheran-heran.

“Sementara media asing bisa mendapatkan berkas otopsi itu dengan mudah, pihak keluarga malah harus melewati birokrasi panjang,” kata Todung, “hasil otopsi Munir mestinya menjadi milik keluarga.

Segala bentuk tata krama diplomatik internasional tidak boleh sampai menghilangkan hak keluarga.”

Koordinator KontraS, Usman Hamid, yang mendampingi pihak keluarga, menemui aparat resmi Belanda, dan mengatakan, sesunguhnya berkas kasus Munir yang diserahkan hanya sebagian, baru 30%.

Baca juga :  Keberadaan Alien Apakah Benar Ada atau Tidak?

“Masih ada dokumen pemeriksaan saksi di Belanda. Juga masih ada dokumen yang berkaitan dengan sampel-sampel organ tubuh, termasuk organ-organ tubuh itu sendiri,” kata Usman kepada MATRA.

Dalam pengamatan Usman selama di Belanda, pihak kepolisian Indonesia terlihat tergesa-gesa mengejar bukti kematian Munir.

“Sebelum mengirim tim kepolisian ke sana, pemerintah semestinya terlebih dahulu menyiapkan hal penting di level diplomatik, semacam legal request,” kata Usman.

“Ini menyangkut syarat-syarat pemerintah Belanda yang memang diinginkan untuk dapat memproses seluruh dokumen yudisial berkaitan dengan kematian Munir,” tutur Usman saat di wawancara di pemerintahan SBY.

Sekarang ini, sudah pemerintahan Presiden Jokowi.

Yang terjadi pada waktu itu, diperolehnya dokumen-dokumen tersebut bukan karena adanya tim, tapi karena ada kesepakatan awal yang dibuat Deplu dengan Kementrian Luar Negeri Belanda termasuk Kementerian Kehakiman Belanda.

Cerita kemudian beralih dari sebuah kecurigaan media kepada seseorang bernama Pollycarpus, pilot garuda yang kebetulan tidak tugas dan ikut menumpang di pesawat Garuda dari Jakarta menuju Singapura.

Dialah yang memberi bangkunya untuk Munir, kursi binis Nomor 3 K.

Menurut laporan yang dihimpun Majalah Tempo, selama perjalanan, Munir memesan bakmi goreng dan jus jeruk. Pollycarpus mondar-mandir dari bar premium ke kokpit.

Sumber MATRA, yang tidak ingin disebut namanya, mengatakan, saat kolega Munir mendatangi

Kantor Garuda, Pollycarpus menemui lebih dahulu. “Ia menyatakan bela sungkawa. Lalu, ia bercerita bahwa ia kenal dengan Munir dan sempat satu pesawat.

Ketika kami tanya tentang kapan dan di mana kenal Munir, ia berlari ke cerita lain. Bicaranya ke mana-mana, tidak konsisten,” kata sang sumber.

Lalu, sewaktu Direktur Garuda itu datang, ia bicara, ‘Maaf saya bicara lebih dulu, Dan’. Saya heran, kok, dia menyebut ‘Dan’.

Seperti ucapan seorang tentara saja.”

Pollycarpus sudah divonis.

Kasus Munir yang termasuk kategori political murder ini harus bisa ditemukan pelaku dan aktor di belakangnya dengan bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.

“Boleh jadi penyelidikan itu berbenturan dengan institusi negara kalau memang institusi itu terlibat, dan kemudian hanya menunjuk oknum individual,” kata Todung kepada MATRA.

Usman Hamid, yang sejak 1998 bersahabat dan bekerja sama dengan Munir, berpendapat, sangat penting menjelaskan kasus ini dengan melihat latar belakang pengejaran Munir.

“Banyak sekali hambatan-hambatan atau ancaman-ancaman terhadap Munir yang muncul dengan isu spesifik,” ucapnya.

Usman memberi contoh kasus penembakan Trisakti, orang hilang, dan sejumlah advokasi Munir dalam tragedi 1998. Bisa pula disebut tentang kasus Talang Sari, isu pelanggaran HAM di berbagai tempat seperti Ambon, Aceh, Timor-Timur, dan yang paling mutakhir adalah kasus Tanjung Priok.

“Semua itu menyangkut personel tertentu, baik sipil maupun militer,” kata Usman, menjelaskan.

“Ada juga yang sifatnya legislasi, seperti RUU Intelijen atau pun RUU TNI yang dijegal Munir. RUU Intelijen tidak jadi digolkan karena mendapat banyak kritik, termasuk oleh Munir.  RUU TNI cukup mendominasi kerja-kerja Munir.

Kritik Munir di awal-awal munculnya RUU TNI membuat atau memicu demonstrasi di beberapa tempat.

Dalam konteks itu, Munir dilihat sebagai ancaman. Munir dilihat sebagai musuh oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap kasus-kasus itu,” katanya.

Pria bertubuh kecil ini memang terkenal berani dan konsisten dalam memperjuangkan HAM. “Dia mengajarkan kita bahwa perjuangan hak asasi manusia mesti total dan tidak boleh sama sekali takut,” kata Todung Mulya Lubis.

Munir rupanya punya banyak musuh di luar perkiraannya. Protes-protesnya di media massa tentang penegakan hak asasi manusia di Indonesia telah membuat kalangan mapan di Jakarta kesal.

Dia dipuji, sekaligus dimusuhi. Dalam enam tahun terakhir, mantan Koordinator KontraS itu kerap mendapat ancaman dan teror, acap kali kematian. Di tahun 2003, seseorang meletakkan bom di halaman rumahnya di Jakarta meski tidak menyebabkan kerusakan.

Dilahirkan di Malang, 8 Desember 1965, Munir Said Thalib, begitu nama lengkapnya, dikenal pemberani.

Dalam usia 12 tahun, Munir, misalnya, berani melaporkan kasus pembunuhan yang terjadi di kampungnya.

“Saya lari ke rumah. Polisi datang dan mewawancarai semua orang yang melayat. Gara-gara peristiwa itu, saya ketakutan setengah mati. Jangan-jangan si pembunuh tahu saya yang melaporkan ke polisi,” tutur Munir suatu ketika.

Semasa menjadi mahasiswa, pola pikir Munir amat naif dalam menilai masalah politik. Bahkan, dia mengaku bukan mahasiswa yang prodemokrasi.

Dia menyebut dirinya sebagai “mahasiswa konservatif yang hanya sibuk berkutat dalam senat.” Malah sempat mantan aktivis HMI ini menganggap rekan-rekannya yang menjadi aktivis jalan sebagai musuh.

“Saya melihat mereka terjebak klik elite orang-orang tua,” tutur Munir dalam sebuah wawancara panjang dengan MATRA pada September 1999.

Perhatiannya kepada perjuangan penegakan hak asasi manusia baru tergugah ketika ia mengamati nasib buruh di kota kelahirannya untuk tugas akhir di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

“Dari situ saya mulai bersimpati kepada mereka,” kata anak keenam dari tujuh bersaudara ini.

Setahun kemudian, ia menjadi relawan di kantor LBH Surabaya. Kiprahnya sebagai sebagai aktivis yang berani membela kaum buruh mulai menjadi sorotan media saat menangani kasus Marsinah, sebuah lembaran hitam hukum Indonesia.

Tahun 1996 ia ditarik ke YLBHI.

Namanya kian menjulang tatkala berhasil mengungkap kasus orang hilang pada pertengahan 1998.

Dengan nyali besar, Munir menggebrak benteng kekuasaan orde baru dan menggedor Markas Besar ABRI. Teror demi teror pun berdatangan bertubi-tubi sejak ia memimpin KontraS pada Maret 1998.

Namun, Munir tak langkah surut. Ia terus mengungkap sejumlah kasus politik kekerasan, mulai dari isu pelanggaran HAM di Aceh hingga Papua.

Berbagai penghargaan atas jasanya ia peroleh, antara lain Anugerah Yap Thiam Hien Awad 1998, Right Livehood Award dari pemerintah Swedia, hingga julukan pemimpin muda Asia milenium baru dari majalah Asiaweek.

Selain modal keberanian, kecerdasan munir juga mengemuka. Setelah meninggalkan KontraS, Munir dan beberapa aktivis HAM mendirikan The Indonesian Human Right Monitor (Imparsial). Ayah dua anak yang sangat bersahaja ini bergerak melengkapi dirinya dari seorang aktivis menjadi seorang pemikir.

Baca juga :  Vaksin Pembelian Langsung dan Hibah Datang ke Indonesia, Kejar Target Capaian Kekebalan Komunal

“Ketajaman dan orisinalitas gagasannya yang sering mengejutkan justru ia dapatkan dari pergelutannya yang menantang risiko dalam kasus-kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia,” kata Rachland Nashidik, sejawatnya di Imparsial.

Kabar meninggalnya memang seperti memenggal sebuah perjalanan yang masih terbentang jauh ke depan.

Bagi sahabat dan koleganya, kepergian Munir ke Belanda tidak disadari telah menjadi momen perpisahan untuk selamanya.

Yang tersisa adalah sebuah kenangan yang tidak pernah lekang: seseorang yang amat bersahaja, tapi memiliki kepedulian besar.

                                                                                               ***

 

Munir, Martir Gerakan HAM
Oleh Todung Mulya Lubis

Nama Munir tercatat sebagai aktivis hak asasi manusia yang memperjuangkan orang-orang hilang, walaupun sebelumnya dia sudah melakukan advokasi buruh di Jawa Timur.

Kiprahnya dalam pergerakan hak asasi manusia terus berkembang. Namun, ironisnya, Munir sendiri harus hilang dari muka bumi.

Dia menyerahkan dirinya untuk perjuangan hak asasi manusia. Munir berangkat ke Belanda, mengambil Master International Protection on Human Right di Universitas Utrech, Amsterdam, untuk mendalami bidang hak asasi manusia, dan tidak berpindah ke subjek yang lain.

Buat saya pribadi, kasus Munir merupakan tragedi sekaligus martir bagi gerakan hak asasi manusia.

Perhatian pers dan masyarakat luas terhadap kematian Munir serta tuntunan pengusutan terhadap kematiannya menunjukan bahwa kasus ini cukup penting, dan orang ini memang sangat penting.

Kita tidak pernah melihat banyak orang mati di Indonesia yang mendapat porsi pemberitaan banyak. Munir tidak hanya menjadi narasumber ketika masih dia hidup, tapi juga menjadi narasumber saat dia meninggal.

Munir akan menjadi barometer bagi lahirnya aktivis-aktivis hak asasi manusia ke depan. Almarhum adalah standar yang menjadi acuan. Kita beruntung memiliki Munir. Ia mengajarkan kita bahwa perjuangan hak asasi manusia mesti total dan tidak boleh sama sekali takut, walaupun sebagai manusia wajar jika memiliki rasa takut.

Sosoknya sulit tergantikan dalam proses perjuangan penegakan hak asasi manusia. Dia sangat bersahaja dan tidak memikirkan diri sendiri. Munir adalah cemeti bagi kita semua di tengah kemewahan dan kepalsuan yang terjadi.

Kecerdasannya sangat mengemuka. Seperti air mengalir, analisisnya tidak tersendat-sendat, tajam, dan lugas.

Munir sangat rajin mengumpulkan dan menyaring informasi, dan mampu memberdayakan kontak-kontak yang ada pada dirinya sebagai bahan analisis.

Kelebihan lain dari Munir adalah keberaniannya yang luar biasa. Munir begitu berani membawa KontraS melawan tentara. Ia bisa melawan tembok-tembok Orde Baru yang begitu kuat.

Meski terkadang langkahnya tidak taktis, kita tentu tidak mungkin minta lebih dari apa yang diperjuangkan Munir.

Dia banyak kawan, tapi juga banyak lawan. Setiap aktivis hak asasi manusia pasti dihadapkan pada dilema semacam itu. Munir banyak kenal personel TNI, tapi banyak personel TNI yang juga menjadi lawannya. Ia dianggap banyak tahu tentang TNI, tapi juga berbahaya bagi TNI.

Saya tidak mau berspekulasi siapa yang sengaja menghilangkan Munir, sebelum ada bukti dari penyelidikan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Orang boleh saja menduga-menduga ada orang kuat atau militer di belakang kasus ini. Namun, investigasi mesti dilakukan dan pelaku serta aktor di belakanganya harus ditemukan.

Pemerintah akan mendapatkan credit point bahwa kasus pembunuhan politik mampu dibongkar dan bisa menjadi pembelajaran di masa depan.

Persoalannya, apakah penyelidikan itu bisa benar-benar dilakukan dengan independen. Boleh jadi penyelidikan itu berbenturan dengan institusi negara kalau memang institusi itu terlibat, dan kemudian hanya menunjuk oknum individual.

Bagaimanapun penyelidikan Munir harus tuntas dan kita berharap jangan ada cover up.

Jika kasus ini tidak dituntaskan, akan menjadi preseden buruk bagi setiap orang. Pembunuhan bertendensi politik akan menimpa siapa saja yang vokal kepada pemerintah.

Ini jelas pertanda bahaya karena orang tidak boleh lagi berbeda pendapat dan mengemukakan aspirasinya.

Kepergian Munir bukan berarti akan memberhentikan perjuangan penegakan hak asasi manusia. Kawan-kawan pasti akan melanjutkan langkahnya.

***

Selalu Ada Keceriaan dari Diri Munir

Sepekan menjelang keberangkatan ke Belanda, kawan-kawan Munir di KontraS tergerak membuat acara syukuran perpisahan.

Namun, bagaimana caranya agar ia mau datang jika tujuan sebenarnya diungkapkan.

Maklum saja, Munir, mantan Koodinator KontraS itu, paling tidak suka sesuatu yang mengistimewakan dirinya.

Usman Hamid, salah satu penggagas acara tersebut, rupanya punya muslihat. Dia tahu bekas bosnya tersebut paling senang diajak debat.

“Begini, lo, Cak. Kawan-kawan ingin bikin diskusi kecil-kecilan. Tentang ini, lo, apa, ya, aaa… pokoknya mengenai masalah seputar politik dan hukum pascapemilu. Gimana, Cak?” kata Usman lewat telepon genggamnya. “Serius, lo, Cak datang. Tak tunggu, lo.”

Pada hari yang ditentukan, aktivis dan staf kantor KontraS sudah bersiap-siap.

Sejumlah keluarga korban kekerasan juga telah berdatangan. Tapi, Cak Munir belum juga terlihat.

Setelah dihubungi, beberapa menit kemudian, tamu penting yang ditunggu banyak orang itu pun tiba. Dan, betapa terkejutnya Munir begitu melihat orang banyak.

“Ada apa ini?” ujar Munir sambil bersalaman dengan beberapa orang di dekat sisi pintu masuk ruangan kantor.

Sambil mengiringi langkah Munir, Usman membuka pembicaraan. “Saya ndak bermaksud apa-apa, lo, Cak. Kita-kita ini hanya ingin mengadakan syukuran karena Cak Munir bisa sekolah lagi, moga-moga ilmu yang didapatkan bisa membantu kami. Jadi, acara ini sekalian perpisahan…,”

Munir pun segera menangkap maksud dari acara itu. “Dari dulu aku paling takut dengan farewell party.” Usman segera menimpali.

“Maaf, deh, Cak. Tapi, maksud saya bukan perpisahan untuk selamanya, tapi hanya setahun.” Semua orang tersenyum-senyum, dan acara itu pun berlangsung akrab. Penuh tawa.

Tapi, kabar yang datang pada minggu berikutnya sangat menyesakkan hati. Usman Hamid terkatup bibirnya. Ia teringat dengan ucapan mendiang almarhum Munir.

Baca juga :  Kegiatan Mesut Ozil Selama di Jakarta, Bersama Anies Baswedan?

“Momen perpisahan itu ternyata memang bukan satu tahun belaka, tapi untuk selamanya,” kenang Usman, yang kini menjadi Koordinator KontraS.

Banyak kenangan yang tersimpan tentang karibnya itu. Dia berkenalan dengan Munir pada 1998, untuk konsultasi pengusutan kasus Trisakti.

Setahun kemudian, Usman masuk menjadi relawan KontraS. “Orangnya terkesan sangat serius, padahal tidak,” kata Usman

Dalam keseharian, Munir sering guyonan. “Dari yang politik sampai yang berbau seks,” ujarnya.

Beberapa kawan sempat terpingkal-pingkal ketika Munir melontarkan joke tentang perbedaan dirinya dengan Jenderal Wiranto.

“Kalau Wiranto itu dapat pangkat merah di pundaknya setelah jadi Jenderal, sementara aku dari kecil. Lihat saja rambut dan kumisku merah.”

Di mata Usman, Munir terbilang sederhana. “Ibuku sendiri pernah bilang, ‘Bos kamu itu, kok, kucel, sih’.”

Menurut Usman, Munir memang tidak ingin mengondisikan dirinya dengan kemewahan. Untuk menikmati musik di kafe saja, Munir tidak berani meski punya keinginan itu. Toh, suatu hari, ia tak kuasa menolak ajakan kawannya pergi ke Classic Rock Café.

“Ia berusah menutupi wajahnya dengan topi, tapi tetap saja ada yang mengenali,” cerita Usman. “Sekalian saja aku ledeki. Kalau tidak ingin dikenali, kumisnya dicukur, Cak.”

Kurang dari setahun, Munir baru memiliki mobil, Toyota Mark II warna putih keluaran tahun 70-an.

Tadinya mobil itu rusak dan pemiliknya mengikhlaskan kepada Munir asal mau diperbaiki. “Tapi, Munir tetap membayarnya dengan mencicil,” tutur Usman, yang memiliki hobi sama dengan Munir dalam mengoleksi lukisan murah.

Kolega Munir di Imparsial, Rachland Nashidik dan Ucok Marpaung, malah sudah sejak lama mengusulkan kepada kantornya untuk memberikan “mobil dinas’ buatnya, tapi Munir berkeras membeli sendiri.

Mereka rupanya tidak tega melihat Munir selalu mengendarai motor dari rumah kontrakannya di Bekasi ke kantor Imparsial di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

“Tiap kali tiba di kantor, ia kelihatan amat lelah, meski tak pernah kelihatan tak bersemangat,” ujar Rachland, yang mengenal Munir sejak 1994.

Motor yang dikendarai Munir adalah motor kedua. Motor yang pertama sempat dicuri. Tapi ketika tahu motor itu milik Munir, “pahlawan orang tertindas” itu, si pencuri mengembalikannya.

Beberapa bulan kemudian, motor itu raib lagi, dan tak pernah kembali. “Pasti malingnya lebih miskin daripada yang sebelumnya,” kata Munir seperti dikutip Rachland dalam sebuah tulisan.

Dengan mengendarai mobil, Munir berasa enjoy. “Tiap kali saya ikut dalam mobilnya, hal pertama yang ia lakukan adalah meraih remote control dan menyetel musik, sering kali keras-keras,” kata Rachland yang kini memegang posisi Direktur Program Imparsial.

Album lagu Munir umumnya berirama jazz, rock hingga klasik, seperti U2, Scorpion, Leon Hainess Band, The Bread, Genesis, Metallica, Incognito, dan Beethoven. “Mobilku tua, tetapi di dalamnya aku bisa tidur sambil mendengarkan musik.”

Sugiarto, sopir KontraS dan YLBHI, yang dulu kerap mengantarkan Munir, terkadang suka tertawa melihat Munir bersenandung. “Gayanya seperti remaja saja,” kata Sugiarto yang mengenalnya sejak Munir bergabung di YLBHI pada 1996.

Kalau tidak terlelap, Munir bertukar cerita dengan Sugiarto. “Kami saling berbagi rasa,” ujar Sugiarto.

Suatu hari, sehabis dari acara, Munir terpaku melihat seorang pembantu. “Ono opo, sih, Cak. Kok, sampeyan memerhatikan dia saja,” tanya Sugiarto.

“Aku heran melihat majikannya. Kok, bisa makanan dia dan pembantunya.” Sampai di mobil, Munir terus membicarakan kejadian itu. “Sudahlah, Cak. Sampeyan, kok, lebih banyak mikirin orang daripada diri sendiri.”

Itulah tabiat Munir. “Dia kayaknya tidak bisa melihat orang disakiti,” kata Poengky Indarti. Poengky, yang kini menjabat Sekretaris Imparsial mengenal Munir sejak di LBH Surabaya pada 1992.

“Munir mengajarkan kami untuk berempati kepada kawan-kawan buruh, petani atau pun kaum yang termajinalkan.”

Sebagai seorang sahabat dekat Munir dan istrinya, Suciwati, Poenky menilai Munir cukup tahu membahagiakan seorang istri, dan juga sayang kepada anaknya.

“Mas Munir dan Mbak Suci itu selalu terlihat harmonis,” kata Poengky. “Munir tuh memang seorang family man.”

Munir juga cepat akrab dengan seseorang. “Tadinya saya pikir akan sukar menemui orang sepopuler Munir,” cerita Edwin Partogi, ketika kali pertama berkenalan dengan Munir di kantor KontraS pada 1999 untuk berkonsultasi tentang Aceh.

Begitu kenal, Edwin dan tiga kawannya yang sama-sama dari HMI langsung disongsong Munir dengan celetukan yang humoris “Hai, Aceh pungo (sebutan canda “Aceh gila”) bagaimana kabar Aceh?”

Belakangan setelah menjadi aktivis KontraS, Edwin tahu Munir suka bercerita.

Kerap kali, kata Edwin, Munir mengulang-ulangi cerita yang pernah dituturkannya. “Cak yang itu sudah diceritakan. begitu biasanya canda kawan-kawan kepada Cak Munir.”

“Oh, ya, kok, aku lupa, ya. Nah, yang ini pasti kalian belum dengar.”

Dadang Trisasongko, salah satu sohibnya di Surabaya sejak 1990, menuturkan, betapa Munir sering mengisi kekosongan waktunya dengan adu debat.

“Kadang sampai pagi. Kita-kita sudah tertidur-tidur, ia tetap nyerocos terus,” kata Dadang, mantan aktivis LBH, dan saat ini menjadi Direktur Eksekutif Yayasan Kemala.

Kalau Munir cerita, Dadang biasanya lebih banyak menjadi pendengar yang baik. “Tiap Senin, sehabis libur, ia biasanya banyak cerita. Abis bikin rak buku, buat meja pingpong, atau mendapatkan ikan baru.”

Munir sepertinya memang bertipe workaholic. “Tiap Sabtu atau Minggu ada saja yang dikerjakan. Saya dan kawan-kawan sempat membantunya bikin ranjang bayi dan rak sepatu. Cak Munir kayaknya punya bakat menjadi ‘tukang’,” tutur Aan Rusdianto, korban penculikan orang hilang pada 1998.

Bersama korban orang hilang lainnya, Aan pernah tinggal bersama Munir di rumah inventaris YLBI, di daerah Jatinegara, Jakarta.

Tentu Munir Said Thalib memang bukan sama sekali kain putih. Namun, di mata kawan-kawannya, almarhum Munir sepertinya memiliki persyaratan sebagai orang baik.

Pada hari kematiannya, penyair Goenawan Mohamad mengenanganya dalam satu bait lirik lirih: Satu orang baik mati di tanah air yang penuh luka sama dengan hilang sejuta benih harapan….

M

www.majalahmatra.com

Tinggalkan Balasan