MATRANEWS.id — Aneh ! Lapas overcrowded akibat dominasi kasus narkotika disampaikan Menkumham Yasonna di Gedung DPR Senayan Jakarta, Rabu 12/6/2024.
Sejatinya, situasi ini merupakan bonus akibat penegak hukum tidak memahami arti penting rehabilitasi bagi pelaku kejahatan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri yang diamatkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang nota bene adalah pecandu.
Catatan pinggirnya, hal ini jamak terjadi karena perkara penyalahgunaan narkotika disetel sebagai perkara peredaran gelap narkotika, didakwa sebagai pengedar dan dijatuhi hukuman pidana penjara.
Ya, akibat logisnya Lapas menjadi over kapasitas berkesinambungan, terjadi anomali lapas dimana penyalah guna narkotika keluar masuk penjara.
Bahkan, ada penyalah guna narkotika yang sampai 5 kali keluar masuk penjara, terjadi warga relapse atau mengkonsumsi narkotika didalam penjara.
Ammar Zoni adalah salah satu penyalah guna narkotika yang sudah bolak balik berurusan dengan pengadilan dalam perkara penyalahgunaan narkotika sebagai kriminal sakit adiksi kambuhan.
Menjadi kepedulian kita, sosok penyalahguna dia ini membutuhkan perlindungan dan penyelamatan dari negara.
Kenapa?
Karena dia menghadapi proses pengadilan yang tidak fair.
Proses pengadilan perkara penyalahgunaaan narkotika berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika diatur secara khusus, dimana proses pemeriksaan pengadilannya bersifat rehabilitatif.
Sanksi juga diatur secara khusus “bukan” sanksi pidana berdasarkan pasal 10 KUHP melainkan sanksi menjalani rehabilitasi atas putusan hakim.
Yang berdasarkan pasal 103 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika (vide pasal 36 UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika beserta protokol yang merubahnya).
Sedangkan lamanya menjalani rehabilitasi tergantung pada taraf ketergantungannya sesuai rekomendasi ahli, tempat menjalani rehabilitasi di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk bukan di penjara/Lapas.
Kedudukan Hukum Ammar Zoni
Dilihat dari riwayat pemakaian narkotikanya secara kasat mata Ammar Zoni adalah pecandu narkotika.
Ya karena Ammar Zoni punya kebiasaan membeli narkotika dengan jumlah terbatas, untuk dikonsumsi bukan untuk dijualbelikan atau diedarkan guna mendapatkan keuntungan.
Dalam proses pemeriksaan pengadilannya, dakwaan terhadap Ammar Zoni tidak dilakukan Assesmen atau tidak ada hasil visum et repertum.
Bila diassesmen secara medis dapat dipastikan secara yuridis bahwa Ammar Zoni adalah pecandu dengan kondisi dalam keadaan sakit ketergantungan narkotika secara pisik dan psikis.
Ammar Zoni didakwa secara melawan hukum sebagai pelaku tindak pidana kepemilikan narkotika, berdasarkan pasal 111 ayat 1 dan kepemilikan narkotika berdasarkan pasal 112 ayat 2 dan kepemilikan narkotika narkotika untuk diperjualbelikan berdasarkan pasal 114.
Pasal-pasal yang didakwakan tersebut, diperuntukan bagi pelaku kejahatan kepemilikan narkotika untuk tujuan pemberantasan peredaran gelap narkotika. Karena menggunakan konstruksi ancaman pidana penjara minimum dan maksimum dikomulatifkan dengan ancaman denda.
Khusus pasal 127/1 diperuntukan bagi pelaku kejahatan kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi, dengan konstruksi ancaman pidana maksimum tanpa ancaman denda.
Dalam proses pemeriksaan pelaku kejahatan kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi pada semua tingkatan pemeriksaan, penyalah guna narkotika itu tidak memenuhi sarat dilakukan upaya paksa penahanan, kalau secara empiris ditahan itu karena penahannya dipaksakan.
Penyalah guna narkotika tidak memenuhi sarat dituntut secara komulatif, alternatif maupun subsidiaritas dengan pasal lain karena beda tujuan penegakan hukumnya.
Seharusnya Ammar Zoni “hanya” didakwa pasal 127/1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika atas kepemilikan narkotika dengan tujuan untuk dikonsumsi.
Kecuali ya, bila dalam pemeriksaan Ammar Zoni terlibat sebagai anggota sindikat narkotika atau menerima aliran dana hasil kejahatan narkotika.
Tapi faktanya, Ammar Zoni secara victimogi adalah kejahatan, dia yang mengeluarkan dana untuk membeli narkotika.
Meskipun fakta setelah selesai persidangan nanti Ammar Zoni terbukti hanya sebagai penyalahguna bagi diri sendiri (pasal 127/1) secara empiris hakim tetap menjatuhkan hukuman penjara (SEMA no 3 tahun 2015)
Karena kesemrautan hukum tersebut, negara harus turun meluruskan proses hukum di pengadilan dan penjatuhan hukumannya.
Tujuan ini tak lain, agar tujuan penghukuman tercapai, tujuan penegakan hukum terpenuhi.
Ammar Zoni sendiri sembuh secara pisik dan pulih secara psikis. Sehingga dapat melakukan fungsi sosialnya kembali baik sebagai warga masarakat, suami dan bapak bagi anak anaknya.
Ammar Zoni Adalah Kriminal Sakit Adiksi
Dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika, UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika mengatur tata cara penanggulangan kejahatan penyalahgunaan narkotika melalui 2 cara yaitu;
Pertama, secara non yutisial melalui mekanisme “wajib lapor pecandu”, dimana program wajib lapor tersebut penyalah guna narkotika mendapatkan layanan rehabilitasi dari rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk dan status pidananya demi hukum gugur berubah menjadi “tidak dituntut pidana”.
Dengan gugurnya status pidana penyalah guna narkotika, masalah pidananya selesai.
Sedangkan masalah kesehatan atau kecanduan narkotika, menjadi porsi pengemban fungsi Rehabilitasi dan peran orang tua untuk menyembuhkan sakit ketergantungan narkotika yang dideritanya.
Kedua, secara yustisial melalui mekanisme penegakan hukum.
Penyalah guna yang ditangkap hanya dapat dituntut dan didakwa pasal 127/1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, diperlakukan sebagai kriminal sakit adiksi.
Selama proses pemeriksaan baik ditingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan ditempatkan di lembaga rehabilitasi atau rumah sakit yang ditunjuk Menteri Kesehatan untuk rehabilitasi medis dan Menteri Sosial untuk rehabilitasi sosial (Pasal 13 PP 25 tahun 2011)
Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mendakwa dengan pasal lain secara komulatif atau secara alternatif karena beda tujuan.
Dimana penegakan hukum terhadap pengedar diberantas (pasal 4c) sedangkan terhadap penyalah guna justru dijamin mendapatkan pengaturan upaya rehabilitasi (pasal 4d)
Dalam proses persidangan hakim wajib memperhatikan pasal 54, karena pasal tersebut menyatakan penyalah guna apakah predikatnya sebagai korban penyalahgunaan narkotika (red penjelasan pasal 54) dan penyalah guna sebagai pecandu (red pasal 1/13) wajib menjalani rehabilitasi.
Dalam memeriksa perkara pecandu (kriminal sakit adiksi), hakim dapat memutus atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi (pasal 103).
Kewenangan “dapat” memutus atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi tersebut bersifat imperatif bagi hakim, jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika hakim memutuskan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah hakim menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi.
Kewenangan dapat memutus atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi adalah kewenagan imperatif bukan fakultatif, tidak ada pilihan bagi hakim kecuali memerintahkan terdakwa menjalani rehabilitasi baik melalui keputusan maupun penetapan hakim.
Catatan penutupnya; bahwa penanggulangan penyalahgunaan narkotika dengan cara non yustisial lebih efektif dan efisien dibanding cara yustisial.
Kenapa?
Karena cara non yustisial tidak mengakibatkan kerusakan sosial akibat penegakan hukum, memberikan peran orang tua secara aktif untuk mengikuti proses penyembuhan secara medis dan sosial.
Maknanya penyalah guna tidak urgen untuk ditangkap, meskipun sah bila ditangkap dan tidak penting diadili karena menghamburkan sumberdaya penegakan hukum.
Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
BACA JUGA: majalah MATRA edisi Juni 2024, Klik ini