Apakah Ini Pertanyaan Untuk Hakim Yang Mengadili Perkara Narkotika?
Oleh: Anang Iskandar
Pesan Artijo beredar luas di dunia maya.
Ya, mengenai hakim yang masuk neraka, pertama hakim yang tidak kompeten dan tidak memiliki ilmu, hakim tersebut menyengsarakan masyarakat. Kedua hakim yang tahu tentang kebenaran tetapi menyembunyikan kebenaran itu.
Pesan almarhum Artidjo Alkostar mantan hakim agung tersebut, sangat relevan mana kala hakim yang mengadili perkara narkotika, kemudian menjatuhkan hukuman penjara, meskipun perkaranya terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri.
Hakim sesuai keyakinannya selama ini memilih menjatuhkan hukuman penjara terhadap pelaku perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna untuk diri sendiri.
Padahal, UU narkotika, tidak memberi pilihan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman, selain hukuman rehabilitasi meskipun didakwa sebagai pengedar atau diyuntokan sebagai pengedar.
Kalau hakim menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap perkara narkotika yang terbukti pelakunya sebagai penyalah guna. Maka bisa menjadi sumber hukum sekaligus bentuk jeweran bagi penyidik dan jaksa penuntut agar dikelak kemudian tidak melakukan rekayasa penyidikan dan penuntutan terhadap perkara penyalah guna narkotika.
Penyalah guna secara yuridis adalah orang menggunakan narkotika atau menyalahgunakan narkotika tanpa hak dan melanggar hukum (pasal 1/15), penyalah guna tersebut diatur hanya dalam satu pasal yaitu pasal 127/1.
Secara teknis kriteria penyalah guna adalah bila jumlah barang buktinya ketika ditangkap terbatas untuk sehari pakai (di bawah SEMA no 4 tahun 2010, Perber 2014).
Penyalah guna tersebut dapat dijatuhi hukuman rehabilitasi, bersifat wajib (pasal 103).
Arti wajib disini, karena tidak ada pilihan bagi hakim untuk menjatuhkan jenis hukuman selain rehabilitasi, jika perkaranya terbukti sebagai penyalah guna, meskipun didakwa sebagai pengedar atau diyuntokan sebagai pengedar.
Dalam praktiknya, hakim tanpa memperhatikan tujuan UU narkotika (pasal 4d) menjatuhkan sanksi pidana penjara terhadap perkara narkotika, yang terbukti sebagai penyalah guna narkotika untuk diri sendiri.
Penggunaan sanksi penjara bagi penyalah guna narkotika, menunjukan hakim tidak kompeten atau tidak memiliki ilmu. Barangkali ini yang disinyalir oleh Artijo Alkostar sebagai hakim yang menyengsarakan masarakat dan juga memberatkan negara.
Memenjarakan penyalah guna narkotika disamping bertentangan dengan tujuan UU narkotika, juga tidak efektif karena menyebabkan terjadinya residivis penyalahgunaan narkotika, menghasilkan generasi tidak sehat (hasil evaluasi konvensi tunggal narkotika 1961) dan tidak efisien karena menghamburkan sumberdaya penegakan hukum (hasil penelitian Shapiro).
Secara yuridis UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, menyatakan bahwa perkara narkotika terdiri dari perkara penyalahgunaan narkotika pelakunya disebut penyalah guna dan perkara peredaran gelap narkotika pelakunya disebut pengedar.
Tujuan UU no 35 tanun 2008 tentang narkotika tersebut, terhadap peredaran gelap narkotika adalah memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika (pasal 4c). Artinya yang diberantas adalah peredaran gelap narkotikanya.
Sedangkan tujuan terhadap penyalahgunaan narkotika adalah mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa indonesia dari penyalahgunaan narkotika (pasal 4b) dalam hal pemberantasannya.
Undang-undang menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu (pasal 4d). Artinya tujuan pemberantasan penyalahgunaan narkotika adalah merehabilitasi.
Perkara Narkotika Dapat Dihukum Rehabilitasi
Berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, perkara narkotika yang dapat dihukum rehabilitasi adalah perkara penyalahgunaan narkotika yaitu perkara kepemilikan narkotika yang tujuan kepemilikannya untuk dikonsumsi atau digunakan bagi diri sendiri.
Penyalah guna narkotika diatur hanya dalam satu pasal, yaitu 127/1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Kriteria perkara penyalahgunaan narkotika tersebut diperjelas, dengan barang bukti narkotika ketika ditangkap jumlahnya terbatas untuk sehari pakai, gramasinya ditentukan dalam SEMA no 4 tahun 2010 dan Perber 2014.
Perkara narkotika yang kriterianya seperti tersebut diatas, berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dalam proses penyidikan, penuntutan dan pengadilannya tidak memenuhi sarat UU didakwa dengan dakwaan subsidiaritas atau di-junto-kan dengan perkara pengedar atau diluar pasal 127/1 karena beda tujuan (pasal 4).
Demikian pula upaya paksanya, tidak memenenuhi sarat dilakukan penahanan, justru penegak hukum berdasarkan tujuan UU pasal 4d diberi kewenangan dan kewajiban menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi selama proses pemeriksaannya dengan biaya ditanggung pemerintah.
Dalam pemeriksaan pengadilannya, hakim wajib memperhatikan kondisi ketergantungan terdakwanya, unsur pemaaf dan penggunaan kewenangan hakim dapat menghukum rehabilitasi yang bersifat wajib (pasal 127/2).
Bila terbukti bersalah, hakim wajib memutuskan dan menetapkan terdakwanya menjalani rehabilitasi, bila terbukti tidak bersalah hakim wajib menetapkan dan memerintahkan terdakwanya menjalani rehabilitasi.
Tidak ada pilihan bagi hakim yang mengadili perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna narkotika untuk diri sendiri, selain menjatuhkan hukuman rehabilitasi atau menetapkan terdakwa untuk menjalani rehabilitasi.
Rehabilitasi atas keputusan atau penetapan hakim adalah bentuk hukuman karena pasal 103/2 menyatakan masa menjalani rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Dimana Putusan Hakim Dieksekusi?
UU no 35 tahun 2009 secara khusus menyatakan bahwa rehabilitasi dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan, diintegrasikan dengan rehabilitasi sosial mantan pecandu dlakukan dilembaga rehabilitasi yang diatur oleh Menteri Sosial.
Dalam PP no 25 tahun 2011 tentang wajib lapor pecandu, tempat menjalani rehabilitasi bagi penyalah guna atas keputusan atau penetapan hakim adalah IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) yaitu pusat kesehatan masarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah.
Biaya rehabilitasi atas keputusan atau penetapan hakim ditanggung oleh pemerintah (Peraturan Menteri Kesehatan no 2425/Menkes/per/XII/2011 pasal 20).
Menteri Kesehatan diberi mandat untuk mengkoordinasikan pelaksanan rehabilitasi atas keputusan atau penetapan hakim (pasal 13/6 PP 25/2011) agar rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim terlaksana. Artinya secara yuridis penyalah guna narkotika jelas dikontruksi untuk dihukum menjalani rehabilitasi.
Karena tidak adanya kesesuaian antara aturan dan pelaksanaan proses pengadilan maka ada masalah yang perlu dijawab oleh hakim yang mengadili perkara narkotika.
Kenapa hakim menjatuhkan hukuman penjara terhadap perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna untuk diri sendiri.
Apakah alasan hakim tidak menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna narkotika?
Teori penjatuhan hukuman yang mana yang digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan hukuman bagi penyalah guna narkotika. Atau hakim tidak punya kompetensi dalam memeriksa perkara narkotika.
Apakah dalam proses peradilanya yang tidak fair sehingga penyalah guna yang nota bene pecandu yang memerlukan perawatan, lantas dihukum penjara.
Atau apakah para hakim menyembunyikan kebenaran seperti apa yang disinyalir oleh Artijo Alkotsar.
Apakah hakim faham, bahwa IPWL adalah tempat eksekusi bagi penyalah guna yang diputus atau ditetapkan untuk menjalani rehabilitasi?
Atau justru mandat yang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk mengkoordinasikan dengan instansi terkait khususnya hakim, tidak jalan sehingga timbul ego sektoral.
Pertanyaan pertanyaan tersebut muncul, karena hakim secara impiris menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku kejahatan narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna untuk diri sendiri.
Dampak dari menenjarakan penyalah guna adalah terjadi anomali hunian Lapas, dan permasalahan peredaran narkotika dalam lapas, terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika yang menyengsarakan masarakat dan merugikan keuangan negara karena menguras sumberdaya penegakan hukum.
Last but not least masalah darurat narkotika di Indonesia, yaitu Indonesia menjadi sasaran peredaran gelap narkotika yang tidak kunjung dapat diatasi.
Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, selamatkan penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.
Anang Iskandar merupakan Komisaris Jenderal purnawirawan Polisi. Merupakan Doktor, yang dikenal sebagai bapaknya rehabilitasi narkoba di Indonesia.
Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Bareskrim Polri, yang kini menjadi dosen, aktivis anti narkoba dan penulis buku.
Lulusan Akademi Kepolisian yang berpengalaman dalam bidang reserse. Pria kelahiran 18 Mei 1958 yang terus mengamati detil hukum kasus narkotika di Indonesia. Baru saja meluncurkan buku politik hukum narkotika.