MATRANEWS.id — Ingatan beberapa tahun silam muncul kembali, saat Peter F Gontha (PFG) manggung di acara BNI Java Jazz Festival 2023, yang kemarin berlangsung di JIExpo Kemayoran.
Di hari terakhir perhelatan BNI Java Jazz 2023 itu, hadir pula sejumlah menteri. Mereka tampak menikmati pertunjukan musik, saling bersilaturrahmi, dan mengunjungi sejumlah booth.
Selain menikmati penampilan musik, para pejabat dan petinggi BUMN tampak turut menyapa para pengunjung yang hadir dan meminta foto bersama.
Acara yang berlangsung 2-4 Juni 2023 mengusung tema “Let Music Lead Your Memories”
Tak hanya unjuk kreativitas para musisi, tetapi juga sebagai wadah masyarakat untuk bisa saling bertemu, terhubung, terkoneksi dan bersilaturahmi. Musisi kelas dunia hilir mudik di antara penonton.
Menteri yang hadir antara lain Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury, Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirdjoatmodjo, Staf Khusus III Menteri BUMN Arya Mahendra Sinulingga, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas.
Jadi mengingatkan saya, saat diajak PFG melihat live manggung di klub jazz bar di Fukuoka Jepang. Bak mengais potongan puzzle, melihat langsung aksi Bob James kala itu.
Dimana pertama kali saya meliput di pesta North Sea Jazz Festival di Belanda. Di tahun 1994, Natalie Cole dan B.B King ‘menghipnotis’ penonton yang sudah mencarter karcis beberapa hari sebelumnya.
Dari musisi tanah air tampak Indra Lesmana, Dewa Bujana, Kiboud Maulana, Embong Raharjo hingga Jefrry Tahalele dan Idang Rasjidi serta Cendy Luntungan “unjuk kebolehan”.
Perhatian yang cukup besar pada liputan pers setempat. Hampir semua koran dan majalah lokal memberitakan pentas musik yang berjalan sejak tahun 1976, merupakan festival music yang paling dihormati dan ditunggu-tunggu sepanjang tahun.
Acara ini berlangsung di pelabuhan Rotterdam, festival ini dimeriahkan oleh lebih dari seribu musisi sebagai bagian dari 150 lebih pertunjukan dari 13 panggung. Festival ini berlangsung setiap tahun selama akhir pekan kedua Juli, dan menarik sekitar 65.000 dan 75.000 pengunjung selama tiga hari.
Menjadi saksi hidup, bagaimana Peter F Gontha berusaha dengan daya dan upaya, membuat Festival musik level internasional semacam North Sea Jazz juga ada di Indonesia.
Dengan mengajak Paul Dankmeijer, penata music North Sea Jazz mengutip kalimat Paul Acket – sang penemu North Sea Jazz, yang sudah almarhum. Kita boleh ngobrol, minta tanda tangan, berfoto ria bersama, jalan bareng atau minta alamat para musisi itu.
Para musisi ada macam-macam, dari mainstream, blues, fussion, samba, latin, salsa sampai bebop. Juga vokal yang ngejazz.
Ibarat Kebun Binatang Musik
Beragamnya para musisi bermain dalam satu lokasi memberi atmosfir meriah. Di semua panggung itu mereka main serentak. Dan ini, bisa membuat orang bingung memilih. Memberi atmosfir meriah. Juga lucu.
Ibarat di sebuah kebun binatang musik, kita bisa menikmati bermacam-macam musik itu sembari menangis, tertawa, bermesraan. Seriuspun bisa.
Dagangan souvenir seperti kaus, aneka permainan hingga camilan, digelar bak pasar malam. Keakraban menjadi konsep festival musik ini, yang diberi nama Java Jazz Festival.
Perhelatan musik tahunan di Jakarta, digelar setiap awal musim semi, biasanya pada awal Maret. Selama tiga hari, seabrek musisi unjuk diri. Pertama kali diadakan pada Maret 2005. Dipilih tanggalnya, sesuai sponsor 2-3-4.
Kala itu, Java Jazz disuport Direktur Pelaksana PT HM Sampoerna Tbk Angky Camaro dan pendiri PT Medco Energi Internasional Tbk Arifin Panigoro.
Saya ikut menjadi bagian dari panitia Java Jazz di awal bersama Dewi Gontha juga, di lima tahun pertama. Dari semula digelar di Jakarta Covention Center, arenanya pun dipindah ke JIExpo Kemayoran yang lebih besar.
Peter sendiri sudah mengakrabi jazz sejak sangat belia gara-gara tertular hobi sang ayah, V. Willem Gontha, yang pernah nge-band bareng biang jazz Bubi Chen, Jack Lesmana dan Maryono. Tak sekadar menjadi penikmat, juga pegiat jazz.
“Bagi saya, musik adalah segalanya,” kata Peter yang sempat membentuk grup musik Bhaskara, juga mendirikan Radio Arif Rachman Hakim (ARH) yang kerap disebut sebagai radio jazz.
Sebetulnya Peter telah lama berkiprah sebagai penggagas acara jazz, termasuk membangun Jamz, kelab jazz di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, pada 1990-an.
Kehadiran Jamz, sebagaimana dituliskan Deded Er Moerad dalam buku Jazz Indonesia, sanggup “menyulut semangat musisi jazz.” Tak hanya musisi jazz lokal, juga musisi jazz mancanegara.
Beberapa musisi jazz legendaris pernah manggung di kelab ini, dari Bob James, Chick Corea sampai Keith Jarrett. Kehadiran mereka tentu saja membuat penikmat jazz bersuka cita.
Namun ruang kelab terlalu kecil untuk menampung antusiasme penikmat jazz yang begitu besar. Lalu, Peter dan sederet musisi jazz menjajal ruang yang lebih besar: festival musik JakJazz.
Java Jazz Festival makin menggeliat dan menjadi surga baru penikmat jazz. Musisi yang tampil makin banyak, penontonnya pun makin bejibun.
Lebih intens lagi, pria yang pernah menjadi pemimpin Perhimpunan Jazz Indonesia ini mendukung pergelaran JakJazz yang digagas Ireng Maulana, pada 1988. Kini, PFG telah mengestafet penyelenggaraan JJF kepada putrinya, Dewi Gontha.
‘Bapak Jazz Indonesia’ ini mengakui Java Jazz sudah mengikuti jaman.
Para legenda jazz dilanjutkan bintang-bintang berusia jauh lebih muda yang membangun ciri sendiri meskipun mungkin terpengaruh musik musisi jazz legendaris.
Di tahun ke-18, Java Jazz sudah bergeser penampil artinya ke kalangan yang lebih muda.
Java Jazz Festival menawarkan pengalaman yang tak tertandingi bagi para penggemar musik dari berbagai genre. Dengan persiapan produksi yang cermat, pertunjukan mulus dan mengesankan.
Hebatnya, tahun ini penonton Java Jazz mencapai angka tertinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dimana penikmat musik jazz yang datang dari generasi milenial.
Bagaimana dengan ajang musik Java Jazz di 2024 nanti?
Kabarnya kembali akan mendatangkan George Benson serta berusaha mendatangkan Michael Buble. Kita tunggu saja!