Tokoh  

Prof. Emil Salim: Keteladanan Abadi 

bersama CEO Mjl Eksekutif dan Pemred Majalah MATRA

MATRANEWS.id — Prof. Emil Salim adalah seorang pribadi yang menarik. Sehubungan dengan berbagai jabatan serta penugasan yang disandangnya sejak muda.

“Beliau bisa masuk dalam berbagai kategori, seumpama: aktivis pemuda, ilmuwan, politisi, birokrat. Demikian kaya rentang pengalaman dan variasinya,”  demikian kesaksian  Ir. Sarwono Kusumaatmadja. 

Menteri Negara Lingkungan Hidup 1993-1998  menyebut Emil Salim yang berusia 90 tahun, merupakan ilmuwan multidisiplin.
Itulah sebabnya Pak Emil Salim begitu dikenal luas di luar negeri, karena pendekatan keilmuan yang disandangnya dibawakan dengan artikulasi yang jelas, tajam dan rinci, sekaligus dengan penguasaan bahasa yang sempurna.
Melalui Pak Emil Salim, Indonesia dipandang mempunyai kebijakan lingkungan yang progresif hanya beberapa tahun setelah Stockholm UN Conference on Human Environment tahun 1972.

 

Berbagai apresiasi dan penghargaan internasional Beliau peroleh, meskipun di dalam negeri posisi lingkungan hidup sebagai kebijakan sangat kontras berbeda.

Pada tahun 1970-an, lingkungan hidup di Indonesia merupakan isu yang asing karena khasanah pengetahuan tentang keanekaragaman hayati, klimatologi, pencemaran dan perusakan lingkungan, serta hal-hal terkait belum tersebar luas.

Rawa mangrove dan rawa dataran rendah dianggap sebagai lahan tak berguna, sehingga dikonversi menjadi tambak-tambak dan perkebunan berskala besar.

Produk budidaya ikan memang melonjak tinggi, tetapi segera disusul oleh penurunan produktivitas yang tajam, serta tanda-tanda kerusakan lingkungan pun muncul.

Pengalaman-pengalaman pahit dilalui, karena ketidaktahuan dan ketamakan. Dibukanya perkebunan perkebunan besar sering disertai konflik-konflik sosial dan memicu deforestasi berskala besar, dengan kerugian jangka panjang yang pada waktu itu belum diketahui.

Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang baru berdiri belum sempat menyelesaikan kerangka regulasi yang efektif ketika itu.

Bahkan di kalangan pengambil keputusan puncak di dalam negeri, lingkungan hidup hanya sekadar kebijakan tambahan yang ditempelkan pada kebijakan utama.

Namun Prof. Emil Salim beserta staf dengan segala keterbatasan yang ada, melaksanakan hal-hal yang fundamental dan perlu diinisiasi.

Dalam masa kepemimpinan Beliau, kita menyaksikan berdirinya berbagai Pusat Studi Lingkungan Hidup di beberapa universitas.

Program-program terobosan diciptakan, seperti: Kalpataru dan Adipura, sehingga pemahaman lingkungan pun meluas.

Masyarakat juga didukung untuk berperan dalam gerakan  lingkungan. Istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lahir di Era Pak Emil Salim.

Jika kita lihat ke belakang dan mengambil pelajaran dari apa yang dilakukan oleh Prof. Emil Salim beserta jajarannya semasa Beliau menjabat Menteri.

Dapat disimpulkan bahwa yang diupayakan pada waktu itu adalah memperkuat legitimasi lingkungan hidup dengan membangun kesadaran yang meluas.

Prof. Emil Salim tidak terpaku pada kenyataan bahwa kabinet tidak terlalu responsif ketika itu. Legitimasi program dibangun sebagai pembuka mata, pikiran, dan hati orang banyak.

Proses menjelmanya Adipura sebagai program kebanggaan Pemerintah Kota, Kabupaten, dan masyarakat merupakan contoh.

Pada tahun 1985, kebersihan Kota Padang yang dipimpin oleh Walikota Sjahrul Udjud menjadi berita “viral”, demikian dalam istilah jaman sekarang.

Segera Prof. Emil Salim mengambil inisisatif menggelar “Seminar Kebersihan Kota Gaya Padang” pada tahun 1986 di Bukittinggi.

Dari seminar tersebut lahirlah gagasan pemberian penghargaan Adipura yang mendapat sambutan luar biasa dan menyebabkan berbagai kota dan kabupaten berupaya memperolehnya.

Kebersihan lingkungan kemudian menjadi jalan masuk sebagai awal pemahaman tentang lingkungan hidup yang lebih komprehensif.

Cara yang sama ditempuh pada saat itu dengan melahirkan Program Kalpataru, kemudian Prokasih. Inilah yang disebut “Programme Driven Policies”.

Ciptakan dan laksanakan programnya, beri predikat yang menggugah, kemudian susun pengaturannya.

Dengan demikian yang dikejar oleh Prof. Emil Salim adalah pengaruh, bukan kewenangan, karena sebagai Kementerian non Departemen, Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup tidak mempunyai kewenangan langsung.

Dengan memperkuat pengaruh dan legitimasi, kementerian-kementerian sektoral akan “menari sesuai genderang yang ditabuh Prof. Emil Salim”.

Dari keunggulan pengaruh dan legitimasi itu, akhirnya timbul potensi kewenangan. Untuk menampung potensi itulah, di era Prof. Emil Salim, dilahirkan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) sebagai sayap operasional Kementerian Kependudukan dan Lingkungan Hidup.

Bapedal bersanding dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pimpinan Prof. Harjono Soejono, menangani program Keluarga Berencana dan juga sukses dengan menggunakan logika yang sama, yaitu menumbuhkan pengaruh dan legitimasi.

Di antara berbagai predikat yang dilekatkan kepada Prof. Emil Salim seperti ditulis di awal, Beliau antara lain disebut sebagai politisi.

Hal tersebut masuk akal, karena Menteri adalah jabatan politik dan hal itu.  Beliau emban selama 20 tahun. Hal yang mungkin tidak banyak diketahui adalah bahwa Prof. Emil Salim juga aktif berperan setiap penyelenggaraan Sidang Umum MPR.

Saya mengetahui persis mengenai hal tersebut, misalnya ketika menjelang Sidang Umum MPR tahun 1983 di mana saya menjadi Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan (FKP) Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Sebagai Sekretaris FKP-MPR, saya bertugas menyiapkan rancangan naskah-naskah kebijakan fraksi, baik untuk Sidang Badan Pekerja maupun dalam Sidang Umum MPR.

Pekerjaan tersebut sama sekali tidak mudah, karena berkenaan dengan harmonisasi sekian banyak rancangan naskah yang perlu dirumuskan dalam bentuk final dengan mengindahkan berbagai masukan yang ada sekaligus memelihara konsistensi.

Pekerjaan Tim Sekretariat FKP-MPR dengan demikian sangat kompleks juga bisa sensitif. Dalam era digital seperti sekarang, pekerjaan tersebut banyak tertolong dengan “copy paste” secara elektronik.

Dalam dekade 1980-an, “copy paste” berarti menggunting potonganpotongan kertas untuk direkat ke halaman yang tersedia,  menggunakan lem.

Jika ada yang keberatan dengan naskah yang ditawarkan, proses “copy paste” harus diulang.

Di manakah Prof. Emil Salim ketika semua itu terjadi?

Berbeda dengan banyak Menteri lain, yang juga merupakan anggota Badan Pekerja MPR dari FKP, Prof. Emil duduk, berbincang, dan ikut bekerja penuh waktu dengan anggota Sekretariat FKP-MPR.

Tidak semata membatasi dirinya berkomentar tentang isu lingkungan hidup dan kependudukan, namun juga menyumbang pikiran yang membangun dan berguna dalam bidang-bidang lain. Berpartisipasi secara egaliter merupakan ciri langka dari para pejabat tinggi masa itu.

Prof. Emil Salim menjalaninya dengan sukacita dan penuh semangat. Terkadang terjadi debat yang panas dan cenderung keras, itu pun dijalani dengan tenang.

Beliau tidak pernah kehilangan keseimbangan menghadapi semua hal yang terjadi. Senyum selalu menghias wajahnya, sehingga orang yang marah-marah menjadi salah tingkah.

Prof. Emil Salim mohon pamit ke Presiden Soeharto karena merasa sudah terlalu lama berada di kabinet. Saya kemudian menggantikan Beliau sebagai Menteri Lingkungan Hidup pada tahun 1993, walaupun sebelumnya Presiden Soeharto memberi isyarat yang jelas bahwa Beliau tidak menghendaki saya berada di pemerintahan.

Jauh hari kemudian, saya baru mengetahui bahwa masuknya saya ke kabinet merupakan saran Prof. Emil Salim kepada Presiden Soeharto.

Setelah mengamati langkah-langkah Prof. Emil Salim sebagai menteri dan menimba pengalaman bersama Beliau di Badan Pekerja MPR, saya merasa sangat terbantu dengan rintisan-rintisan berharga yang Beliau lakukan.

Hal-hal yang dilakukan Prof. Emil Salim banyak miripnya dengan perjalanan saya di Golkar, seperti yang saya ceritakan dalam memoar saya “Menapak Koridor Tengah”.

Intinya adalah, peluang sekecil apapun bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan pengaruh dan legitimasi.

Dengan berbekal pada teladan Prof. Emil Salim dan mempelajari literatur lingkungan hidup, saya merasa cukup dibekali untuk melaksanakan tugas meneruskan apa yang telah Beliau rintis.

Prof. Emil Salim bisa dengan lega menjalani kehidupan sebagai seorang negarawan senior setelah selesai menjabat Menteri selama 20 tahun, karena telah meletakkan dasar-dasar kuat bagi penerusnya.

Masa  senjanya pun masih diisi dengan jabatan sebagai anggota dan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden. Sungguh suatu rekam jejak yang sulit ditandingi oleh siapapun, semuanya dilandasi oleh rasa hormat.

Selamat Ulang Tahun ke-90 Prof. Emil Salim, semoga selalu sehat dan mendampingi generasi penerus yang mendapat banyak sekali pembekalan secara langsung maupun tidak langsung.

Sumber:  Ir. Sarwono Kusumaatmadja (Menteri Negara Lingkungan Hidup 1993-1998)  

 

 

Tinggalkan Balasan