MATRANEWS.id — Kali ini, simbol dukungan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi tersebar kembali. Reaksi netizen Indonesia dan sejumlah organisasi masyarakat serta mahasiswa, mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tidak dipreteli kewenangannya.
#Save KPK! hingga ‘Pak Jokowi Dimana?’. Dengan, pakaian serba hitam, pegawai KPK Aksi Tolak Revisi UU KPK.
Di depan pintu masuk, pegawai KPK membentangkan garis line warna hitam-merah bertuliskan ‘Dilarang Melewati Batas Pelanggar Etik’. Mereka juga sembari bernyanyi di atas panggung.
Adapun acara ini terlihat dihadiri penyidik KPK Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo hingga pegawai KPK. Salah satu pegawai KPK Budi berorasi meminta menolak revisi UU KPK.
“Hanya ada satu kata kawan-kawan, lawan!,” kata sang orasi, menyebut draff UU KPK yang diusulkan partai pemerintah ditambah satu partai oposisi. Adapun partai itu, terdiri atas PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Kembangkitan Bangsa dan Partai Nasdem. Termasuk juga Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Hanura.
“Lawan,” teriak seluruh pegawai KPK yang mengepalkan tangan ke atas. Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Jaringan Save KPK juga mendesak Presiden Joko Widodo menghentikan kegiatan panitia seleksi calon pimpinan KPK atau pansel capim KPK.
Berikut ini poin yang dinilai berisiko melumpuhkan kinerja KPK:
Pertama, terkait pembentukan Dewan Pengawas yang dinilai sebagai persoalan serius dan dituding merupakan representasi dari pemerintah dan DPR yang ingin campur tangan dalam kelembagaan KPK.
Kedua, menyoal kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Ketiga, pelaksanaan tugas penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung yang disebut sebuah kemunduran karena pada dasarnya KPK adalah sebuah lembaga yang menggabungkan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap.
Keempat, terkait penyadapan atas izin dari Dewan Pengawas yang dibentuk yang dinilai justru akan memperlambat penanganan korupsi dan bentuk intervensi atas penegakan hukum yang berjalan di KPK.
Kelima, menyoal KPK yang tidak lagi lembaga negara independen yang berkontradiksi dengan prinsip teori lembaga negara independen yang memang ingin memisahkan lembaga seperti KPK dari cabang kekuasaan lainnya.
Keenam, draft soal KPK hanya dibatasi waktu 1 tahun untuk menangani sebuah perkara yang tercantum dalam Pasal 40 ayat (1) draft perubahan, dan disebutkan bahwa KPK hanya mempunyai waktu 1 tahun untuk menyelesaikan penyidikan ataupun penuntutan sebuah perkara.
Ketujuh, soal menghapus kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen, yang intinya bahwa kehadiran penyidik independen akan dihilangkan. Padahal, putusan MK tahun 2016 sudah menegaskan kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik di luar dari institusi Kepolisian atau Kejaksaan.
Kedelapan, penanganan perkara yang sedang berjalan di KPK dapat dihentikan yang muncul pada Pasal 70 huruf c. Padahal, KPK pada saat ini tengah menangani kasus dengan skala kerugian negara yang besar. Dapat dibayangkan jika UU ini disahkan maka para pelaku korupsi akan dengan sangat mudah untuk lepas dari jerat hukum.
Kesembilan, KPK tidak bisa membuka kantor perwakilan di seluruh Indonesia yang bertentangan dengan UU saat ini.
Kesepuluh, terkait syarat menjadi pimpinan KPK yaitu berumur 50 tahun yang dinilai tanpa adanya argumentasi yang masuk akal. Sebelumnya, menjadi pimpinan KPK adalah 40 tahun. Dengan revisi ini, tertutup bagi kaum muda untuk menjadi komisioner.
Kesebelas, draft tersebut dinilai ditulis secara tergesa-gesa dan tidak cermat.