Desa ini, pada Mei-Juni akan menjadi Kampung Arab dengan segala gaya berlibur turis Timur Tengah.
Puncak adalah wilayah pegunungan di Kabupaten Bogor. Namun, sejak beberapa dekade terakhir ada sebagian wilayah di sini menjadi “negeri Arab”. Semua serba khas budaya Timur Tengah. Apa aja, ada yang berbau nuansa Timur Tengah.
Kampung Arab?
Nama asli kampung itu sendiri, yakni Kampung Sampay, satu dari tiga kampung di Desa Tugu Selatan, satu kilometer di atas Taman Safari, Cisarua, Bogor.
Kawasan itu, ada juga yang menyebutnya sebagai Warung Kaleng karena banyak toko yang atapnya berbahan seng. Jika Anda berpatokan dari Jakarta, jarak menuju kampung ini sekitar 84 kilometer.
Tapi, kalau Anda bertanya kepada penduduk sekitar tentang Kampung Arab, mereka tampak terbengong-bengong. Satu atau dua orang yang tiba-tiba memahami arah pertanyaan akan menjawab:, “Maksudnya Warung Kaleng?”
Benar, nama Warung Kaleng lebih dikenal dari Kampung Sampay atau Kampung Arab. Bahkan, dikenal bukan saja oleh warga setempat, tapi juga sopir taksi di Bandara Soekarno-Hatta.
Masuklah ke sembarang taksi, lalu sebut Warung Kaleng; dijamin Anda akan sampai ke Desa Sampay, Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Bogor.
Warung Kaleng sebenarnya adalah sepotong Jalan Jakarta-Puncak di kilometer 84, tak lebih dari 50 meter panjangnya. Di kanan-kiri jalan, berjajar 30-an warung.
Ini yang unik, papan-papan nama warung itu bukan hanya berhuruf latin dengan kata-kata bahasa Indonesia, tapi juga (bahkan ada yang hanya) papan nama berhuruf Arab, dari wartel sampai toko roti, dari toko kelontong sampai rumah makan. Dan yang juga khas dibandingkan kampung lain, di sini banyak terlihat warga bertampang Timur Tengah.
Kampung ini, terletak di Kecamatan Cisarua. Kawasan tersebut dipenuhi tempat hiburan dan penginapan. Ada yang berbentuk penginapan biasa, vila, kafe atau hotel.
Namun, ada dua desa yang menjadi primadona wisatawan, terutama turis dari Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya, yakni Tugu Utara dan Tugu Selatan. Tak mengherankan, jika di jalanan di dua desa tersebut bertebaran tulisan dalam huruf Arab di sana-sini.
Nama-nama atau plang papan nama usaha di sana kebanyakan ditulis dalam huruf Arab dan dipasang di kaca atau pintu. Warga di dua desa tersebut, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, juga sangat fasih berbahasa Arab.
Mungkin, dua desa itu bisa disebut: “Little Town Arabian”.
Suasana Arab sangat kental terasa di Tugu Selatan. “Di Tugu Selatan sekarang ada 5 hotel, 2 tempat rekreasi, 344 vila, dan 4 restoran,” kata Sekretaris Desa Tugu Selatan, Baini, ketika ditemui di kantornya.
Cobalah berkunjung kampung Ciburial dan Warung Kaleng Cisarua. Anda akan melihat banyak toko-toko bernuansa Timur Tengah. Usaha di sini, tumbuh dan berkembang memanjakan turis Timur Tengah yang biasa disebut ‘orang Arab’ oleh penduduk lokal.
Desa ini, pada Mei-Juni akan menjadi Kampung Arab dengan segala gaya berlibur turis Timur Tengah.
Para turis Arab itu biasanya menyewa vila atau hotel di wilayah Ciburial dan Warung Kaleng di sekitaran Cisarua. Kedua daerah tersebut memang langganan orang Arab untuk memanjakan diri.
Selain itu, mereka pun mudah untuk mendapatkan hidangan makanan yang cocok dengan lidah mereka. Sebab, sepanjang jalan Cisarua banyak berdiri restoran Arab dengan harga terjangkau.
Restoran tersebut menjadi tempat nongkrong turis Arab. Keramaian orang Arab akan terlihat pada malam hari. Mereka betah berkumpul berjam-jam dengan para koleganya dengan nyaman.
Bagi warga lokal yang datang ke restoran Arab sedikit merasa aneh. Meski harganya cocok, suasana dan para pengunjung yang didominasi orang Arab akan membuat tak ingin lama-lama duduk di sofa khas Timur Tengah yang empuk.
“Memang di sini kebanyakan untuk turis Arab. Kalau lokal jarang yang nongkrong di sini. Kurang nyaman mungkin,” kata seorang pelayan di restoran Kebab tersebut.
Dalam restoran tidak ada minuman beralkohol. Para turis Arab biasanya mengincar sisha atau rokok khas Timur Tengah untuk memanjakan diri. Tentu diselingi makanan dan minuman khas Arab juga.
Tidak hanya makanan, acara televisi pada restoran juga berbahasa Arab. Bahkan, kasir pada restoran itu merupakan orang Arab. Keberadaannya tentu makin membuat pengunjung khususnya turis Arab lebih mudah mendapat informasi mengenai sajian pada restoran itu.
Selain restoran, minimarket dan kantor agen travel juga didominasi nuansa Timur Tengah. Kebanyakan di antara mereka memakai dua bahasa, bahasa Indonesia dan Arab.
Para pengusaha itu mengincar orang Arab agar mendatangi usahanya dan menerima fulus. Sebab, hanya segelintir warga Timur Tengah itu yang bisa memakai bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
Nama Warung Kaleng sudah menjadi nama alternatif bagi Kampung Sampay sejak zaman kolonial Belanda.
Dulu, kawasan itu secara administratif adalah tanah partikelir, yang kemudian dijadikan basis perdagangan oleh pedagang pendatang dari Cina. Lambat laun, para pedagang itu berasimilasi dengan penduduk setempat, lantas masuklah Islam.
Kata penduduk setempat, riwayat nama Warung Kaleng bermula dari warung-warung yang didirikan oleh para pedagang Cina itu: hampir semua warung beratap seng atau kaleng. Jadilah sepetak lahan itu kemudian di sebut Warung Kaleng.
Nama itu, tetap melekat meski suasana Cina praktis tak tercium lagi dan atap seng tak lagi terlihat. Kini, warung-warung itu bertembok dan sudah beratap genteng.
Suasananya pun berganti ke-Arab-Araban. Belakangan, muncul sebutan baru itu: Kampung Arab bukan hanya untuk sepetak Warung Kaleng, tapi juga untuk seluruh Kampung Sampay.
Jadi, melihat lokasinya, bolehlah dibilang Warung Kaleng merupakan gerbang Kampung Arab. Di kawasan warung itulah pusat lalu lintas turis Arab (kebanyakan dari Arab Saudi, Bah-rain, Kuwait, dan Qatar).
Soalnya, sejauh ini, hanya di warung-warung itu tersedia segala kebutuhan turis Arab yang khas: mulai dari minuman (vodka yang didatangkan dari Jakarta), tembakau dan bumbunya (yang langsung diimpor dari Timur Tengah) untuk merokok gaya Arab, sampai roti arab (buatan lokal).
Di kawasan ini, para turis itu boleh merasa setengah di rumah sendiri, setidaknya dalam hal makan, karena di jalan ini ada dua rumah makan khas Timur Tengah.
Tapi kenapa Kampung Sampay?
Konon, turis-turis dari padang pasir itu merindukan suasana yang berbeda dengan negeri mereka yang panas dan berpantai. Mereka mengidamkan berlibur di kawasan pegunungan yang sejuk dan hijau.
Lalu, dibawalah mereka ke kawasan Puncak, dari Cisarua sampai Cipanas. Bila kemudian Warung Kaleng menjadi terpopuler di antara turis Arab, ada ceritanya.
Menurut Syaiful Idries, Kepala Urusan Administrasi Desa Tugu Selatan, gambaran orang Arab tentang surga dunia itu adalah jabal ahdor atau gunung hijau.
Di Kampung Sampay, kata Syaiful, mereka menemukan jabal ahdor itu. Di Puncak ini kan banyak bunga, air mengalir, lingkungannya hijau dan indah, tuturnya.
Tapi kalau hanya gunung hijau, bukan hanya Kampung Sampay yang punya. Kampung ini menjadi istimewa buat turis Arab karena banyak bidadari dan secara sosial lingkungan di sini longgar, warganya tak begitu peduli dengan urusan orang lain.
Jadi (Syaiful melanjutkan ceritanya sambil tertawa), bagi orang Arab, Warung Kaleng bukan hanya jabal ahdor, tapi juga jabal al jannah, gunung surga. ˜Bidadari-bidadari itu didatangkan dari desa lain yang cukup jauh, paparnya.
Singkat cerita, “kerasan”lah turis-turis itu berlibur di Jabal Al Jannah.
Warga setempat pun menyambut para turis Arab dengan terbuka. Apa boleh buat, secara nyata, mereka memang mendatangkan fulus. Penginapan terisi, makanan terjual, sumbangan pun mengalir.
Tapi, tak seluruh penduduk mengangguk-angguk dan mengucapkan: “Ahlan Wasahlan” kepada tamu-tamu Timur Tengah itu.
Haji Ichwan Kurtubi, 55 tahun, seorang tokoh masyarakat Kampung Sampay, merasa tak enak melihat perilaku para turis itu.
Para ulama, katanya, pasti tidak setuju warga di sini memfasilitasi para turis itu ber-dugem ria alias berdunia gemerlapan. Mereka itu enggak bener. Masa sih ada Arab zina.
Tapi, anak-anak muda yang dijaga oleh Haji Ichwan itu sendiri tak peduli. Mereka dengan senang mengadakan ini dan itu untuk para turis. Dan dengan begitu ”mulai sebagai pemandu wisata, mencarikan kambing korban, mengantar si turis dengan ojek, mencarikan vila, sampai menjadi preman penjaga keamanan “Mereka mendapatkan penghasilan. Kata Haji Ichwan: Ulama di sini sudah kalah sama anak-anak muda itu.
Sedangkan Zaki al-Habsy, pengelola gerai penukaran uang di Warung Kaleng, mencoba bersikap realistis.
Yang tidak suka dengan turis-turis Arab itu, menurut Zaki, hanya orang-orang yang tidak berbisnis melayani mereka. Demikian, pria yang berbisnis juga agen perjalanan itu.
Sebenarnya, di balik ketenangan hijaunya bukit dan pepohonan Kampung Sampay, ada keresahan yang tersembunyi.
Perilaku dan gaya berlibur lelaki-lelaki dari padang pasir itu yang eksklusif dan tertutup bagi siapa saja, kecuali terhadap orang-orang yang mereka butuhkan selain melahirkan kecemburuan, juga menimbulkan ketersinggungan.
Benar, wanita-wanita yang mereka datangkan bukan warga Tugu Selatan. Yang terlihat dari jendela itu, misalnya yang diminta menari striptease atau tari perut, konon, adalah perempuan dari Cianjur, 20-an kilometer dari Tugu.
Tapi, menurut Haji Ichwan, suasana seperti itu di depan mata mereka adalah racun buat generasi muda. Apalagi, setidaknya, ada dua turis Arab meninggal di salah satu vila di Kampung Sampay selagi berpesta pora.
“Orang Arab kan, sudah terkenal dengan pemeo: vodka di tangan kanan dan cewek di tangan kiri,” kata Abubakar Sjarief, Kepala Desa Tugu Selatan.
Dan sebenarnya, Abubakar melanjutkan, yang mendapat rezeki dari turis Arab hanya beberapa orang saja. Pokoknya, rezeki (dari para turis) itu tidak berimbang dengan mudaratnya. Secara umum, ke depan, kami dirugikan, ungkapnya.
Memang, di luar tukang ojek, penjaga malam, tukang masak di vila, dan preman penjaga keamanan kampung, semua lahan usaha yang berhubungan dengan Arab dijalankan oleh pendatang.
Kendati warga setempat bisa berbahasa arab, mereka tidak bisa menjadi pemandu wisata. Soalnya, untuk menjadi guide, mereka harus terdaftar di Ikatan Guide Puncak yang pengurusnya adalah pendatang.
Itulah, dari pemandu wisata, penerjemah, pengelola trans-portasi, sampai pengelola penyewaan mobil, hampir semuanya orang Jawa Tengah ”terutama dari Solo dan sekitarnya dan dari Jakarta. Juga toko-toko yang berderet di Warung Kaleng, sebagian besar dimiliki pendatang.
Seringnya turis Arab datang ke kampung itu membuat di sana ada istilah Musim Arab. Musim itu terjadi pada bulan Juni hingga Agustus.
Pada bulan-bulan tersebut, para pekerja di Arab Saudi libur, sehingga banyak yang berlibur ke Indonesia dan melepas penat di Warung Kaleng. Repotnya, hal itu juga disusul dengan munculnya praktik mesum antara para turis Arab dengan perempuan-perempuan lokal.
Dampak positif ‘musim arab’ itu, selain seluruh vila yang dijaga warga setempat full karena di-“booking” selama empat bulan kedepan.
Juga, tak sedikit warung-warung disekitar kawasan Puncak, tepatnya Kampung Warung Kaleng, Desa Tugu Utara, Cisarua, Kabupaten Bogor mendapatkan keuntungan hingga berlipat-lipat.
Selain warung kelontong, jasa transportasi ojek/taksi gelap, pemandu wisata, jasa menyalurkan syahwat atau birahi pun ditawarkan warga setempat terhadap para wisatawan asal Timteng itu.
Tak hanya syahwat, dampak negatif lainnya dengan kedatangan mereka, tingkat kriminalitas jadi ancaman, baik peredaran narkoba hingga pesta seks.
Hal itu tidak dipungkiri, dan selalu terjadi setiap tahun selama ‘Musim Arab’ berlangsung.
Maka dari itu, pantas saja, sejumlah masyararakat dan ulama setempat menentang sikap pemerintah yang terkesan melakukan pembiaran terhadap wisman menyerbu kawasan Puncak, tanpa melakukan pengawasan ketat.
Terlebih, sebagian para wisman Timteng selain liburan juga banyak yang ingin melangsungkan tradisi ‘kawin kontrak’ di kawasan berhawa sejuk itu.
“Turis itu datang secara bergerombol, dalam sehari bisa menghabiskan duit Rp3-5 juta. Memang ada juga yang melakukan kawin kontrak dengan warga pribumi, tapi perempuannya berasal dari Cianjur dan Sukabumi, bukan warga Puncak atau Bogor,” ungkap Suheli (45) penjaga vila di Desa Tugu Utara.
Lebih lanjut ia menuturkan, turis asal Timteng itu mayoritas menetap di daerah Warung Kaleng, Desa Tugu Utara, karena itu diwilayah ini ada perkampungan yang dikenal kampung arab sejak lama.
“Selain penginapan penuh dibooking, pengusaha rental mobil juga kebagian rejeki. Karena selama berlibur, mereka menyewa mobil untuk jalan-jalan,” tambahnya.
Namun, soal rezeki ini tak pernah muncul ke permukaan sebagai konflik sosial. Konflik yang pernah terjadi adalah konflik moral. Tahun lalu, sejumlah santri mulai dari Ciawi hingga Cisarua menyerbu diskotek dan tempat mesum lain di kawasan Tugu Selatan.
Gebrakan itu sampai sekarang masih terasa. Menurut Abubakar, sejak saat itu, wisata berbau seks di wilayah tersebut agak mereda. Turis Arab memang masih datang, tapi musik bising dari vila-vila jauh berkurang.
Menurut seorang pemandu wisata di situ, untuk sementara mereka membawa turis Arab ber-dugem ke tempat lain: Cipanas, bahkan sampai ke Selabintana. Tapi, bisa jadi, wanita yang menari-nari di tempat menginap sama saja dengan perempuan yang terlihat dari jendela itu.
Soalnya, nomor telepon genggam mereka sudah ada di tangan para calo. Jadi, kapan saja, perempuan itu bisa dihubungi, baik secara langsung maupun dengan SMS.
Maka dari itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Cisarua, KH Rahmatulloh, mendesak Pemkab Bogor bersikap tegas terhadap para oknum wisman asal Timteng yang menyalahgunakan kunjungannya ke Puncak hanya untuk berbuat maksiat.
Terlebih lanjut dia, umat Islam di Indonesia sangat mengharamkan tradisi kawin kontrak itu. Bahkan, pihaknya sudah memberikan imbauan kepada warga agar tidak terjebak dalam fenomena negatif tersebut.
“Nikah wisata atau biasa dikenal dengan nikah mut’ah bagi kita hukumnya haram, maka dari itu ulama Cisarua dengan tegas melarang adanya kawin kontrak,” ungkapnya.
Ia menambahkan, praktek pernikahan semacam itu biasanya dilakukan secara terselubung disebuah vila. Dengan dalih karena keuntungan yang menggiurkan sehingga pribumi banyak yang mendukung aktifitas nikah mut’ah.
Apalagi, faktor ekonomi bukan alasan yang mendasar, ditengah upaya pemerintah dalam meningkatkan roda perekenomian masyarakat.
“Meskipun wanita-wanita pelaku kawin kontrak berasal dari luar Bogor, tetap diharamkan. Jadi harus diingat yang menjadi magnet bagi turis asal timur tengah berkunjung ke Puncak, adalah potensi alam bukan kawin kontrak. Disini peran pemerintah sangat dibutuhkan, untuk secepatnya melakukan pencegahan atau sweeping,” tandasnya.
Sementara itu, MR (35) perempuan asal Cianjur yang kini menetap di kawasan Gadog, Megamendung, Bogor mengaku pernah terjerumus dalam kawin kontrak pada tahun 2007 hingga 2013.
“Memang sangat menguntungkan, karena saya dikontrak hanya tiga bulan dengan bayaran Rp30-50 juta,” katanya.
Namun, menurutnya, ada dampak negatif yang dialami selama menjadi pelaku kawin kontrak. “Saya beberapa kali mengalami kekerasan seksual. Kemudian mereka sewenang-wenang dalam memperlakukan kita, selayaknya budak,” tandasnya.
Ia menuturkan hampir setiap malam melayani turis Arab. “Tapi memang dalam memberikan uang atau nafkah mereka baik. Dalam sebulan bisa memberikan Rp15 juta per bulan,” kata wanita yang sempat melangsungkan kawin kontrak lebih dari tiga kali.
Menurutnya, disaat kawin kontrak yang ketiga kalinya sempat dibawa ke negeri Timteng.
“Saya pernah dibawa ke Arab Saudi. Kemudian dimanjakan selama satu tahun. Meski dia tidak di Indonesia tetap mengirimi uang. Tapi tiba-tiba hilang kontak dan putus saja,” ujarnya yang sempat mengandung satu anak dari hasil perkawinan kontraknya.
Menjelang “Kumbang” Datang
Kawasan Warung Kaleng atau Kampung Sampay di Puncak, Cisarua, mulai menunjukkan tanda-tanda aktivitasnya. Sejumlah tempat peristirahatan berupa vila dan bungalo yang mudah ditemui di situ sudah mulai dipesan.
Hingga pekan ketiga April, peningkatan pemesanan untuk pemakaian awal bulan depan diperkirakan mencapai 50%. Padahal musim yang ditunggu itu baru akan dimulai pada Juni hingga Agustus mendatang.
MATRA sengaja memantau, nasib Puncak, yang merupakan lokalisasi pelacuran pria-pria Arab: “hidung belang”. Setelah, “ring satu” pemerintahan gusar juga dengan situasi seperti ini. Mengenai pria-pria itu, sengaja berzina ke luar negeri, di kawasan Puncak.
Kawasan yang beberapa waktu lalu, saat makan di kawasan itu. Tiba-tiba, kita bisa ditawari seorang yang menawarkan villa: “ada isinya mas!”.
Waktu berjalan, di zaman now, situasi kawasan Puncak telah berubah menjadi kawasan maksiat lokalisasi bertaraf Internasional bagi laki-laki hidung belang Arab. Warga Timur tengah, seakan menjadi turis dengan promo. “Puncak, puncak, syurga, syurga!”
Wisatawan Timur Tengah pertama kali masuk Puncak di Warung Kaleng Cisarua, Bogor, tahun 1985. Kawasan itu berkembang menjadi Kampung Arab. Seiring padatnya Warung Kaleng, turis Timur Tengah menyasar destinasi baru, yaitu Kota Bunga dan Taman Bunga Nusantara di Cipanas.
Muhammad ibn Abdul Karim, turis asal Arab Saudi, langsung jatuh cinta pada Indonesia begitu menginjakkan kaki di kawasan itu. Tempat tersebut memanjakan dirinya dengan hamparan pegunungan hijau, udara segar, dan perempuan cantik. Suasana ini tak dia jumpai di negara asalnya, Arab Saudi.
Tahun lalu Karim bertandang ke Puncak untuk berbulan madu. Saudaranya memberi referensi mengenai Puncak, tempat yang oleh sebagian orang Timur Tengah disebut sebagai Jabal al-Jannah, Gunung Surga.
“Saya baru pertama kali ke Indonesia. Saya sangat marah, kenapa tidak dari dulu datang ke Indonesia. Saya sering ke Dubai. Saya sangat suka sekali Indonesia. Di sini pemandangannya lebih bagus,” ujarnya.
Semasa masih bujang, Karim biasa melancong ke Dubai dan Malaysia. Keindahan tempat-tempat itu langsung buyar ketika ia tiba di Puncak. Dubai tak menyediakan hamparan hijau dan udara sejuk, sedangkan Malaysia membuat kantongnya lekas cekak karena harga barang-barang yang mahal.
Penuturannya, wisatawan asal Timteng yang menetap di lingkungan Warung Kaleng ini selain menikmati dinginnya udara puncak, juga kerap melakukan kawin kontrak.
Dulu kawin kontrak dilaksanakan di sejumlah vila dan hotel. Namun, karena sering digerebek polisi, belakangan kawin kontrak pun dilakukan di dalam kendaraan.
“Wisatawan Timur Tengah biasanya datang bergerombol yang ingin kawin kontrak. Lokasinya di Warung Keleng. Biaya kawin kontrak sekitar Rp10-15 juta. Separuh untuk mempelai wanita, sebagian sisanya dibagi untuk mediator, dua saksi dan penghulu yang asal comot. Wanitanya, bukan warga Puncak. Mereka yang saya tahu pendatang dari Cianjur, atau Sukabumi,” tuturnya.
Sejumlah kafe di lingkungan Warung Kaleng, disebutnya juga dikenali jadi tempat “tongkrongan” wanita asal Maroko.
“Mereka banyak tinggal di Puncak menjalankan bisnis esek-esek sampai kawin kontrak. Hanya bedanya, soal urusan kawin kontrak, gadis Maroko maunya dibayar tunai. Sebab, kalau kawin kontrak mereka enggan mengurus administrasi,” imbuhnya. Eng-ing-eng.