MATRANEWS.id — Beberapa waktu lalu, sambil bermain golf di MGC (Modern Golf Course) di Kota Tangerang.
Dalam sebuah kesempatan, penulis bertanya dan minta pendapat salah seorang sahabat satu flight yang kebetulan berkebangsaan Jepang, tentang apa yang menjadi prinsip dan etos para lansia di Jepang.
Saya bertanya, kenapa para lansia di Jepang rata rata bisa berumur panjang, seperti dilansir di berbagai media baru baru ini.
Bahwa manula Jepang yang berumur diatas 100 tahun saat ini, mencapai angka di atas 95ribu jiwa. Ya, di atas 80-an tahu 150ribu jiwa.
Untuk meyakinkan diri, apa yang dikatakan oleh sang sahabat ini, penulis rekam, dan dia mengatakan begini:
” Kōrei-sha ga anshin shite seikatsu dekiru tame ni wa, kōrei-sha hon’nin oyobi sono kazoku ni totte, nani ka atta toki ni taiō shite kureru hito ga inai koto e no fuan o fusshoku shi, izatoiutoki ni iryō ya kaigo ga”.
Setelah penulis terjemahkan, artinya kurang lebih, bahwa ; “Para lansia itu harus menjalani hidup dengan tenang – yang terpenting bagi keluarga lansia adalah menghilangkan totalitas perasaan cemas mereka.”
Bahwa tidak ada orang yang dapat membantu mereka jika terjadi sesuatu – serta memastikan bahwa para lansia memiliki akses terhadap perawatan medis dan perawatan jika terjadi keadaan darurat”.
Dalam konteks ke Indonesian. Tentu tidaklah berlebihan kalau penulis ingin mengatakan bahwa ungkapan ini sungguh sangat benar.
Dimana di Indonesia setiap manusia yang berumur diatas 70 puluh tahunan, saat ini, dengan kondisi fisik dan psikologis yang masih relatif sehat, tentu pernah merasakan kondisi kegalauan antara bekerja, istirahat total, dan diam di rumah sambil gendong cucu.
Hanya saja, terkadang kebanyakan orang kita di Indonesia, pada usia lansia, apalagi para pensiunan, banyak yang kurang sadar bahwa hubungan dan relasi, antar sahabat lama, teman sepermainan sejak kecil bahkan kerabat, sering tidak terpelihara secara intens.
Misalnya, jarangnya pertemuan pertemuan, ngopi barang – ngobar, kumpul Kumpul, atau kontak fisik dan kontak verbal lainnya.
Banyak yang menganggap bahwa saat sekarang, setelah penat puluhan tahun bekerja, adalah saat beristerahat total.
Maka, akibatnya sering, karena banyak berdiam diri di rumah, tanpa disadari seorang lansia menjadi minder, makin malas bergaul dan sering memberikan stigma dan penilaian negatif pada sahabatnya.
Dengan mengatakan; si A sekarang sombong, sudah pelit, si B lupa teman lama, si Polan mentang mentang kaya jadi lain, si Bejo bla – bla – dan bla.
Di luar pengetahuannya, ternyata, mereka mereka teman lansia tadi juga mengatakan hal yang sama tentang dirinya.
Akhirnya, hubungan sosial dan emosional semakin jauh.
Nah, adakah diantara kita para lansia, yang dulunya misalnya adalah pejabat yang dihormati yang pada terakhir menjabat memiliki banyak staf, disegani, dihormati, kemudian mengalami sindroma kekuasaan atau “post power syndrome?”.
Sungguh Banyak.
Dan ini sangatlah merugi apabila seseorang lansia, yang telah “berusia senja” kurang berinteraksi dengan sahabatnya, punya kecenderungan menyendiri.
Selalu berdiam dirumah, apalagi bila jauh dengan anak dan cucu, mengalami syndroma kekuasaan, suka tersinggung dan marah, apalagi bila masih terbebani keluhan atribusi kesehatan seperti; asam urat, gula darah tinggi, tensi tinggi, dimensia, susah tidur, ada gejala prostat serta tidak tahu harus mengerjakan apa, maka sempurnalah penderitaan di usia senja ini.
Bagaimana agar tidak terjadi pada kita?
Sungguh sangat menarik untuk belajar dari bangsa Jepang, baik menyimak statements sahabat golfer penulis tadi, maupun pengalaman setelah penulis pernah bergaul dengan masyarakat Jepang tentang bagaimana etosetika dan kerja manula serta bagaimana kaum muda memperlakukan para manula.
Penulis bahkan pernah beberapa hari tinggal di district Nara, sebuah kota yang asri, yang hanya berjarak beberapa mil saja dari Kyoto.
Penulis masih ingat, pada pagi-pagi dipertengahan tahun 2018 penulis berolah raga ringan dengan berjalan kaki dan joging setelah seharian mengikuti seminar di di Nara.
Sesaat penulis berhenti di kerumunan orang tua, yang rata rata mereka diperkirakan berusia diatas 70 tahunan.
Penulis menyapa mereka dengan bahasa Jepang yang penulis telah coba terlebih dahulu menghafalnya dan menyapa; “Ohayōgozaimasu, ojīchan, kon’nichiwa, Anata ni totte kenkō-tekina“.
“Selamat pagi opa – salam sehat”.
Mereka membungkuk menghormati penulis, dan penulispun membalasnya juga dengan cara membungkuk juga.
Dan penulis sangat beruntung hari itu, ada seorang opa opa yang diperkirakan berumur 84 tahun yang ternyata cukup pasih berbahasa Inggris sehingga dialog menjadi hidup dan lancar.
Apa yang menarik dalan interaksi dua puluh menitan hari itu?
Yang tertanam dibenàk penulis adalah penjàsan yang, sekali lagi, membuat penulis tertegun atas penjelasan beliau itu adalah penjelasan, opa Ono Sang (begitu yang penulis ingat tentang nama beliau ) bahwa lansia ” harus tidak boleh berhenti bekerja”.
“Lihatlah kami disini”, katanya sambil menunjuk ke beberapa orang tua yang sedang berjemur, yang sedang scratching.
Ada yang sedang melakukan gerakan seperti yoga, satu persatu, dari kiri ke kanan, ” kami semua ini, semua masih aktif bekerja” imbuhnya.
Penulis bertanya lagi, ” jam berapa opa dan mereka bekerja?” Kalau bekerja mengapa jam 9 pagi masih santai santai?” tanya penulis.
Penulis kaget ketika pak Ono menjelaskan bahwa : ” Hampir semua kami bekerja pada malam hari di atas jam sembilan” .
“Kerja apa dan kenapa harus malam?”
Kembali penulis terkejut. Mereka menjelaskan bahwa kerja mereka memerlukan ketenangan selama bekerja , tidak mengganggu aktifitas lalu lintas dan masyarakat.
Mereka bekerja memperbaiki saluran pipa air, pipa gas, saluran hydrasi limbah, pipa subsitang, saluran listrik bawah tanah di pinggir jalan, di pinggir jalan dalam kota.
Kalau ringan dikerjakan sendiri, kalau agak berat. Maka dua atau tiga orang diantara mereka akan mengerjakannya bersama.
Mereka membawa kendaraan àngkut untuk perlengkapan sendiri sendiri (kendaraan seperti toyota Avansa di Indonesia).
Di dalam kendaraan ada jenset kecil, kunci kunci, alat potong, linggis, pengki, traficcone dan pita pembatas dilarang melintas, rompi, helm keselamatan serta peralatan pendukung lainnya.
Mereka memasang pita pembatas semacam police line dan mulai bekerja. Siang mereka istirahat menunggu giliran permintaan online dari link bekerja mereka untuk pekerjaan malam selanjutnya.
Pagi seperti saat dialog mereka berolah raga.
Apa targetnya?
Mereka harus berkeringat minimal mendapat 700 calori, dan jalan kaki minimal 2000 sampai 3000 langkah. Dan ini mereka lakukan.
Mendengar penjelasan opa Ono ini, penulis iseng bertanya, pertanyaan yang sebetulnya merupakan pertanyaan yang ” tabu ” yang tidak terlalu disukai oleh orang jepang bila ditanyakan.
Namun, karena melihat bahasa inggris beliau yang begitu fasih, penjelasan beliau yang menunjukan bahwa opa Ono ini memiliki pergaulan yang global dan luas.
Maka penulis berani menanyakan ; “Opa Ono yang bijak, apakah para lansia Jepang sangat semangat bekerja ini karena dilatarbelakangi salah satunya oleh trauma “Obasute” dimana orang tua yang sudah renta akan digendong oleh anak tertuanya dan dibuang ke atas gunung?”.
Dengan respon cepat dia menjawab, ” oh tidak, itu cerita lama Obasute tidak ada lagi, lansia bekerja keras saat ini.
Kenapa?
Karena, pertama agar tetap sehat dimana massa otot akan tetap terpelihara dan tubuh akan senantiasa kuat.
Kemudian kedua, orang Jepang sampai tua harus mandiri dan tidak boleh menjadikan beban pada anak anaknya, istri saya saja sampai hari ini masih bekerja jualan fasfood sampai jam 21.00 baru pulang dan isterahat.
Ketiga, kami para lansia ingin punya uang banyak, nanti bulan depan kami 25 orang ini akan jalan jalan ke pulau Bali – negara anda” jelasnya.
“Bagi orang usia tua di Jepang prinsip kami adalah bekerja, badan sehat, cari dan punya uang banyak, tiap tahun bisa dalan jalan travelling.”
“Dan lihatlah kami ini, semua adalah teman sepermainan sedari kami kecil, pergaulan dan interaksi verbal antar teman terpelihara baik dan itu menjadi resep umur panjang” katanya sambil menepuk pundak penulis.
Ia berkata “Arigatō huzaimas ta, Nara de tanoshī kyūka o sugoshite ne, anata mo watashi to onajiyōni-toshi o totte ireba ī nodesuga.
Yang artinya; Terima kasih, selamat liburan di Nara, semoga umur anda bisa tua umur panjang seperti saya.
Sayapun melambaikan tangan, membungkuk meneruskan jogging saya. Dengan berkata dalam hati.
Semoga Allah swt memberikan saya umur panjang seperti opa Ona ini.
Itulah pelajaran dari Opa Ono sahabatku di Nara Jepang.
sumber: Irjen (p) Hamidin Tentang Semangat dan Persahabatan di Usia Senja, Belajar dari Lansia Jepang
- BACA JUGA: majalah MATRA edisi cetak OKTOBER 2024