IT  

Benarkah Senjakala Media Digital, Termasuk TV Sedang Terjadi?

Di masa TV analogi pindah ke era digital, Milenial sudah kecanduan Youtube.

Milenial males dicekoki berita, tapi senang transaksi jual beli. Tanpa perlu lagi pihak perantara, mediator, atau makelar. Mereka lebih senang nonton memilih yang disenangi, males baca. 

Milenial dan generasi Alfa, lebih senang “main”  IG,  nonton Youtube, Instastories atau film, memantau netflix, Hooq, iflix dan main game.

MATRANEWS.id  Pernah ditulis oleh saya sebagai wacana, “Senjakala Media Digital,  Sedang Terjadi. Benarkah?”

Sekarang ini, bukan saja media televisi dan media cetak yang dipaparkan “surut”.  Ternyata era kejayaan media online, juga mulai disebut surut, gara-gara minat baca kaum muda dan milenial ogah atau males membaca.

Loh?

Memang, periode tiga tahun lalu, adalah era media online disebut sebagai “anak emas” internet.

Kini, seorang pakar komunikasi menjelaskan banyak hal. Dewan Pers harus lebih “proaktif” mendata media digital, agar secara bisnis dan misi bisa membantu bangsa.

Jangan Dewan Pers, malah membuat recok atau gaduh. Wartawan yang kena PHK ingin membangun media yang kredibel dan berintegritas, dihadang sehingga sulit cari iklan.

Di tengah situasi ada sekitar 40 ribu situs berita.  Seorang pakar,  Kris Moerwanto bahkan sempat menulis dan menebak peluang eksistensi:  ‘Media Baru’, paska tamatnya New Media.

Apa itu?

Kris menyebut, media online sampai pada situasi di tahun 2016 ketika itu, senangnya copy-paste. Ide, aspirasi, informasi, atau data. Semuanya direproduksi, diduplikasi, direplikasi sekaligus dibagi. Bisa diakses secara gratis.

Konsultan media, pengamat teknologi, bahkan para media futurist menganalogikan berita di media online itu seperti mie Ramen Jepang.

Sementara berita di Koran atau majalah cetak, diibaratkan hidangan sekelas steak dengan daging pilihan.

Ternyata akar masalahnya adalah problem monetisasi.

Jangan juga mendirikan media online atau website bergantung pada kepentingan sesaat, atau “tergantung siapa yang bayar” tanpa integritas.

Pasalnya, model bisnis media online, jualan berita di media online ternyata tidak mudah. Berharap ada penghasilan dari iklan, ternyata tidak gampang. Tapi, bukan berarti sulit-sulit amat.

Masih menurut catatan seorang media digital analis,  media online luar negeri saja sudah ada beberapa yang merugi. Raksasa periklanan juga mengumumkan tak akan lagi meneruskan berbisnis di periklanan.

Para behavioral economists, termasuk yang sudah berkali-kali mewanti, bahwa murah, kini semakin dipersepsi sebagai ‘murahan’.

Fenomena banjir inflasi informasi sampah, semakin menyebabkan apresiasi audiens atas kredibilitas berita via media online, semakin merosot.

Itu berdampak ke aspek “perceived quality” dari konten produk. Tren akses murah-murahan (bahkan hampir gratis), berdampak sangat buruk, bagi bisnis berita.

Apalagi media sosial membuat semua orang semacam “wartawan”,  bisa memproduksi informasi, berita, gossip, isu, atau pesan.

Perlu dilakukan program semacam ubahlaku, dalam ragam sosialisasi pemerintah. Sehingga roda media digital bisa berjalan dengan sehat.

Lansekap Media Berubah

Makin maraknya skala penggunaan aplikasi di hampir semua hajat kehidupan.

Hanya audiens yang cerdas mencari berita bermutu. Milenial males dicekoki berita, tapi senang transaksi jual beli. Tanpa perlu lagi pihak perantara, mediator, atau makelar.

Menjadikan periklanan digital, seakan takdir tak akan pernah menjadi revenue stream. Apalagi, jika bisnis medianya tak sekaliber Facebook, atau Google.

Membahas media masa depan, lebih ke informasi yang tepat di waktu, tempat dan di tangan pihak yang tepat, bisa memberikan dampak perubahan yang lebih baik, seperti mengubah kualitas kehidupan.

Fakta di Indonesia menggambarkan itu: ketika akses website digratiskan, yang singgah jumlahnya bisa mencapai jutaan. Tapi begitu diharuskan berbayar, jumlah penyinggahnya langsung drop.

Klik Berita Bayar,  Belum Diminati

Jurnalisme berbasis berita yang kini makin bergeser ke cerita, diramal kelak akan menjelma menjadi jurnalisme berbasis data.

Orang lantas ingat dengan adagium ini: bahwa mayoritas (95% keputusan) kita ambil dalam keadaan subconscious mind state. Termasuk, sekadar ikut-ikutan melakukan yang kebanyakan orang lakukan.

Makanya, mayoritas pengguna merasa telah mengambil choice yang tepat. Dengan bersikap ‘percaya saja’ kepada commitment dan integritas pihak ketiga, pengelola keamanan platform.

Media, termasuk personal brand, harus siap-siap ter-disruption. Di-cuekin audiens. Atau mendadak lenyap, digilas perubahan. Peran Media ke depan adalah terkait ‘makna bagi jiwa’.

Karena, masih banyak yang senang membuka lembar majalah seperti halnya membaca buku cetak. Lebih humanis.

Eranya konvergensi, ada cetak dan di online yang gratis – seperti lazimnya produk buatan pabrik.

Online berita ada yang  harus bisa diproduksi sebanyak-banyaknya. Atau mengambil segmen, features, dengan target di klik, di setiap pemberiaan adalah ribuan atau jutaan views.

Jadi, sejatinya,  tak hanya media cetak yang senjakala. Stasiun TV  mulai tergeser perannya.

Harus diakui,  ternyata minat baca kaum milenial rendah. Kaum milenial lebih senang “main”  IG,  nonton Youtube, Instastories atau film, memantau netflix, Hooq, iflix dan main game.

Jadi tugas kita adalah menggerakan generasi “yang males baca” dengan tulisan yang membuat mereka tertarik.

Sang jurnalis atau penulis juga harus punya jiwa socialpreneur untuk kebutuhan youtube, sosial media dan promosi.

Dengan demikian, metode work from home tetap saja pemasukan untuk website dan ketrampilannya bisa menjadi income monetisasi pribadi.

Jurnalisnya perlu inovatif, berkembang terus dan tak terpengaruh krisis.

Laiknya  “kreator besar”, yang memiliki rencana bisnis matang tentang bagaimana menciptakan dan menyampaikan nilai konten mereka.

Agar tak masuk senjakala, perlu diajarkan teknik “endorsement” dan memperoleh pendapatan di luar sekadar iklan AdSense dari para vendor dan voucher rilis. Nulis tak sekedar nulis, harus tahu juga keyword.

Ini sekedar, catatan “tengah”, bukan catatan “pinggir” lagi. Gimana?

#ssbudirahardjo (Ketua Asosiasi Media Digital Indonesia/Forum Pimpinan Media Digital)

 

Media futurist menganalogikan berita di media online itu seperti mie Ramen Jepang. Berita di Koran atau majalah cetak, diibaratkan hidangan sekelas steak dengan daging pilihan.

 

www.pimpinanmedia.id

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan