MATRANEWS.id — Polygraph atau Lie Detector merupakan alat deteksi kebohongan yang jadi trending.
Apakah Polygraph atau Lie Detector, sebagai alat pendeteksi kebohongan bisa akurat?
Bagaimana jika orang yang tidak bersalah mungkin gagal dalam tes Polygraph karena kegugupan murni.
Sehingga, hasil dari Polygraph sering ditolak di pengadilan di Amerika Serikat.
Secara ilmiah, Polygraph hanya dapat mendeteksi reaksi tubuh ketika seseorang menjawab pertanyaan.
Poligraf digunakan berdasarkan teori bahwa kebanyakan orang tidak berbohong atau menipu tanpa perasaan cemas atau gugup.
Ini berasal dari gagasan bahwa kebanyakan orang merasa tidak enak karena berbohong atau takut ketahuan atau akan mendapat masalah jika berbohong.
Seorang ahli Polygraph menjelaskan hasil tes kebohongan menggunakan Polygraph.
Ketakutan dan rasa bersalah inilah yang menghasilkan kecemasan dan kegugupan.
Ketika seseorang merasa seperti ini, mereka menunjukkan kesulitan untuk mendeteksi perubahan fisiologis yang tidak disengaja yang secara teoritis dapat dideteksi dengan poligraf.
Sistem fisiologis yang menjadi fokus poligraf adalah detak jantung, tekanan darah, laju pernapasan, dan seberapa banyak seseorang berkeringat.
Berbohong biasanya disertai dengan:
– Peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, yang diukur dengan kardiograf
– Peningkatan laju pernapasan, yang diukur dengan pneumograf
– Peningkatan keringat, yang diukur dengan perubahan hambatan listrik kulit karena peningkatan elektrolit yang ditemukan dalam keringat.
Ketika seseorang menggunakan Polygraph, ada empat hingga enam sensor dipasang pada orang tersebut.
-Sinyal dari sensor Polygraph direkam pada grafik yang bergerak.
-Sensor biasanya merekam tingkat pernapasan, denyut nadi, tekanan darah, dan keringat dari orang tersebut ketika memberikan pernyataan.
Baik selama dan setelah tes, pemeriksa poligraf dapat melihat grafik dan melihat apakah tanda-tanda vital berubah secara signifikan pada salah satu pertanyaan.
Secara umum, perubahan yang signifikan menunjukkan orang tersebut berbohong, dikutip dari How Stuff Works.
Ketika pemeriksa terlatih menggunakan poligraf, ia dapat mendeteksi kebohongan dengan akurasi tinggi.
Namun, karena interpretasi pemeriksa bersifat subjektif dan orang yang diperiksa dapat bereaksi berbeda terhadap kebohongan, tes poligraf tidak sempurna dan dapat dikelabui.
Alat Deteksi Kebohongan yang Digunakan Ferdy Sambo CS Diklaim Akurasinya 93 Persen
Para tersangka pembunuhan Brigadir J yakni Irjen Ferdy Sambo CS diperiksa menggunakan lie detector atau alat deteksi kebohongan.
Mabes Polri sendiri mengklaim alat tersebut memiliki akurasi hingga 93 persen
“Alat yang kita punya ini alat dari Amerika tahun 2019 dan tingkat akurasinya 93 persen,” kata Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo.
Dedi menyebut alat ini juga bersifat pro justicia. Artinya, hasil dari alat ini bersifat pro justicia.
“Kenapa saya bisa sampaikan pro justicia? Karena saya tanyakan ternyata ada persyaratan, sama dengan gugatan dokter forensik Indonesia, untuk polygraph itu juga ada ikatan di dunia,” beber Dedi
Lebih jauh mengenai hasil dari pemeriksaan menggunakan alat ini, Dedi menyebut kewenangan penyidik untuk membuka atau tidak hasilnya ke penyidik.
“Penyidik yang berhak mengungkapkan ke teman-teman termasuk nanti penyidik juga mengungkapkan ke persidangan,” kaya Dedi.
Kasus pembunuhan terhadap Brigadir J hingga saat ini terus bergulir. Polri sendiri sudah menetapkan lima tersangka antara lain Bharada Richard Eliezer, Ferdy Sambo, Bripka Ricky Rizal, Kuat Maruf, dan Putri Chandrawati.
BACA JUGA: majalah EKSEKUTIF edisi September 2022, klik ini