“Jadi, sebagai mana manusia yang lahir di bumi ini, saya tidak bisa memilih, siapa yang menjadi orang tua saya, terlahir dari keturunan papi Eka Tjipta Widjaja.”
MATRANEWS. — Sebelum akhirnya memasuki sidang mediasi, “perkara rebutan harta warisan Eka Tjipta” dan ramai seperti sekarang.
Tak ada angin, tak ada hujan. Majalah MATRA di penghujung Februari 2020, redaksi MATRA mendapat telepon dari seseorang yang mengaku tahu persis dari sosok legendaris yang bernama Eka Tjipta Widjaja.
Di ujung sana, ia meminta nomer telepon langsung ke Pemimpin Redaksi.
Singkat cerita, pertemuan terjadi, momen pertemuan jurnalis dan sumber berita.
Terlepas dari riuh rendah kiprah sang cucu yang saat ini viral.
Bertubuh gempal, etnis Tionghoa ini berpenampilan sederhana. Di suatu lokasi yang menurut nara sumber ini, punya historikal dengan papi Eka Tjipta Widjaja.
Sore itu, kami berbincang mengenai upaya dari pria itu, atas keadilan atas hak waris dari ayahnya, yang bernama Oei Ek Tjong.
Taipan yang kita kenal dengan nama Eka Tjipta Widjaja. Hingga akhir hayatnya, kehidupan pribadinya yang flamboyan tak terkuak.
Dimana Eka termasuk sosok pemuda pejuang sejati dalam hal asmara. Semasa hidupnya, “Papa termasuk berparas tampan dan romantis.”
Berdasarkan kriteria pria sejati itulah, Freddy Widjaja mengontak redaksi majalah trend pria atau yang kini menjadi trend Anda, untuk bercerita, bagaimana sejatinya taipan ini.
Bahwa Eka Widjaja itu, penuh ambisi dalam bisnis, pria yang hobi joging dan bekerja.
“Saya masih berharap, bisa menyelesaikan hak waris saya secara kekeluargaan daripada jalur pengadilan.” –Freddy Widjaja
“Papi suka memakai batu zamrud (emerald) dan batu cincin (mirah) rubi,” ujar Freddy memulai percakapan.
Obrolan kisah sisi lain Eka dimulai dari cerita, bahwa papi-nya demikian suka batu, dimana masing-masing dianggapnya memiliki makna tersendiri.
Freddy menuturkan, papanya juga suka memakai jepitan dasi dan ban pinggang yang dihiasi batu zamrud dan mirah.
Oleh sebab itulah, setiap tahunnya para istri dan anak-anaknya suka memberikan hadiah ulang tahun cincin, jepitan dasi, dan ban pinggang kesukaan papahnya.
“Papah merokok sejak berusia 15 tahun dan baru berhenti merokok ketika berusia 65 tahun,” ujar Freddy, yang mengaku merupakan anak pertama dari istri ketiga Eka Tjipta Widjaja.
“Rokok kegemaran papah adalah merek 555. Saat papah berhenti merokok, juga minta anak-anaknya stop merokok,” demikian kesaksian awal interview.
Freddy bercerita bagaimana ayahnya harus menjalani operasi bypass jantung di RS Elisabeth Singapura.
Untunglah, Tuhan masih melindungi dan memanjangkan umur.
Setelah dioperasi di tahun 2000, papahnya masih kembali beraktiktas, seperti biasa misalnya ke kantor dan berolahraga pagi.
Dalam penuturan Freddy juga mengungkap rahasia panjang umur sang ayah. Yang katanya, dia akan jatuh sakit apabila tidak bekerja.
“Setiap hari, papah hobi baca berita di Koran-koran, main tenis, nonton video drama mandarin dan sejarah,” ujarnya.
Masih dalam obrolan dengan Freddy, papahnya juga pernah mengatakan, “Jangan lupa tidur siang untuk memulihkan tenaga. Karena papah, biasa bangun tidur jam lima pagi dan bekerja jam tujuh hingga sebelas malam, setiap harinya.”
Freddy mengatakan, ayahnya mulai berolahraga pagi di Ancol ketika sudah berdomisili di jalan Mangga Besar VIII no 8, Jakarta Barat (sekarang menjadi kantor cabang Bank Sinarmas).
Dalam hal makanan, Freddy menjelaskan papahnya paling suka makanan yang berkuah seperti sop bakso ikan dan sop misua. Setiap harinya, “papah hanya mengkonsumsi makanan yang bergizi dan menjauhkan makanan siap saji alias fastfood.”
Kalau boleh jujur, ada berapa istri pak Eka?
Total ada empat, dengan jumlah anak 28 orang. Kami ini berasal dari ayah yang sama. Darah di tubuh kami sama. Saat ini, saya sedang menuntut hak waris atas peninggalan almarhum ayahanda Eka Tjipta Widjaja. Sesuai akta wasiat no 60 tanggal 25 April 2008.
Persoalannya dimana?
Pada tanggal 8 Februari 2019, saya sebagai anak dari istri keempat, menerima warisan sebesar satu miliar rupiah. Sesuai akte notaris Winanto Wiryomartani SH.
Kemudian?
Pada tanggal 5 Maret 2019, saya dipanggil lagi sama bapak Indra Widjaja selaku pelaksana wasiat, untuk menerima lagi sebesar empat miliar lima ratus juta rupiah, yang dananya berasal dari yayasan milik ayah. Jadi, total warisan yang telah saya terima hanya sebesar, lima miliar rupiah.
Apa yang Anda inginkan?
Sesuai legal opini yang dibuat pengacara Hotma. Bahwa anak-anak yang memiliki status di luar nikah juga berhak atas satu seperempat dari kekayaan ayah.
Kenapa harus bicara ke majalah MATRA?
Karena majalah ini termasuk punya kedekatan dengan papi, pernah wawancara khusus dan punya data base baik, dengan ayah saya.
Memangnya selama ini tidak ada komunikasi dengan keluarga pemegang kekuasaan di Sinarmas?
Pernah. Dengan pelaksana wasiat, salah satu abang saya yang bernama Indra Widjaja. Hanya saja, hak waris tidak berimbang atau tidak adil.
Pernah saya konsultasikan dengan pak Hotma Sitoempoel. Dan beliau memberi legal opini untuk diserahkan kepada pak Indra sebagai pelaksana wasiat, supaya dipertimbangkan akte wasiat itu.
Ternyata, tidak diubris sampai akhirnya saya menunjuk pengacara Yusril di bulan September 2019, untuk mediasi atau mewakili jika harus ke pengadilan.
Ok, di situ terjadi komunikasi?
Pengacara saya, pak Yusril Ihza Mahendra sudah bertemu pak Indra Widjaja pada 23 Oktober 2019 di Sinarmas Land lantai 37. Namun, di pertemuan itu pak Indra menyatakan uang tunai dan saham papi sudah habis, tidak ada lagi.
Saya tegaskan di sini, bahwa sewaktu papi pensiun alias tidak datang ke kantor lagi tahun 2008, selain Bank BII, seluruh perusahaan milik papi saya yang mayoritas adalah perusahaan TBK (terbuka). Perusahaan papi, dalam keadaan sehat dan tidak pernah bangkrut, setelah krisis moneter tahun 1997.
Anda membantah pernyataan Abang Anda, yang menyebut harta waris sudah habis?
Ya, saya yakin dan punya data. Bahkan di tahun 2005 bisa membeli Bank Shinta, yang namanya kemudian berubah menjadi Bank Sinarmas.
Jadi, sebagai mana manusia yang lahir di bumi ini, saya tidak bisa memilih, siapa yang menjadi orang tua saya, terlahir dari keturunan papi Eka Tjipta Widjaja. Yang merupakan mantan orang terkaya di Indonesia.
Oleh karena itulah, saya sangat menyayangkan kalau perusahaan yang papi saya besarkan terpengaruh karena kasus keluarga.
Apabila saya menggugat ke pengadilan, harga sahamnya bisa terguncang. Saya sangat berharap, hak waris saya bisa diselesaikan dengan cara perdamaian saja.
Disebut bangkrut karena kabarnya hutang PT Indah Kiat, 14 Miliar Dollar atau sekitar 200 Triliun Rupiah?
Oh, mengenai hal itu sudah diputuskan oleh pengadilan dan Mahkamah Agung. Bahwa PT Indah Kiat, tidak usah membayar hutang-hutangnya dan obligasinya tidak sah menurut hukum Indonesia.
Putusan ini, membawa situasi baik, seluruh keuntungan usaha tidak perlu membayar hutang. Tapi, bisa membiayai kegiatan operasional perusahaan sampai bisa berkembang lagi. Dan, sangat maju seperti sekarang.
Contohnya, si Jackson anak pak Teguh Ganda Widjaja, bisa membeli perusahaan kertas di Brazil seharga lebih dari 100 Triliun Rupiah.
Benarkah Anda berkirim surat ke petinggi Republik ini, hingga Komnas HAM sebelum menghubungi MATRA?
Benar. Saya sudah mengirim surat ke petinggi di Republik ini, untuk meminta keadilan Hak Waris, karena selama ini sudah berkali-kali mencoba cara kekeluargaan tetapi selalu gagal.
Memangnya Anda mengharapkan apa, setelah wawancara ini muncul?
Saya masih berharap, bisa menyelesaikan hak waris saya secara kekeluargaan daripada jalur pengadilan. Dalam hati saya, pak Indra, pak Franky, pak Teguh, Pak Muktar dan pak Frankel adalah tetap abang-abang saya.
Semoga abang-abang saya masih mempunyai hati Nurani dan keadilan yang pantas kepada saya, yang juga anak papi Eka Tjipta Widjaja.
baca lebih lanjut: majalah MATRA edisi cetak klik ini
“Saya tegaskan di sini, bahwa sewaktu papi pensiun alias tidak datang ke kantor lagi tahun 2008, selain Bank BII, seluruh perusahaan milik papi saya yang mayoritas adalah perusahaan TBK (terbuka). Perusahaan papi, dalam keadaan sehat dan tidak pernah bangkrut, setelah krisis moneter tahun 1997.”
baca majalah MATRA edisi cetak: klik ini