“Perkembangan dunia yang sangat bergejolak tentu perlu diwaspadai, namun tidak berarti kita gentar, kita tetap optimis namun waspada.”
MATRANEWS.id — Inflasi per September di Indonesia 5,9 persen akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Sementara tingkat inflasi di Argentina telah mencapai 83,5 persen. Bahkan sampai akhir tahun diprediksi bisa tembus 100 persen.
Melansir Beritasenator.com, sebenarnya tingkat inflasi Argentina sudah tembus 2 digit sejak tahun lalu karena pandemi Covid-19.
Kondisi ini semakin parah ketika terjadi perang di Ukraina yang dilakukan Rusia. Akibatnya nilai mata uang peso Argentina (ARS) melemah hingga 47 persen di tahun ini. Kini USD 1 hampir mencapai 150 ARS, padahal di tahun 2018 hanya ARS 4.
Tingginya permintaan dolar AS di Argentina menyebabkan terjadinya blue dolar.
Artinya penukaran mata uang secara ilegal di jalanan atau tidak teregulasi dengan baik oleh bank sentral. Hal ini menunjukkan masyarakat setempat sudah tidak lagi mempercayai Peso sebagai mata uang Argentina.
Barter Kebutuhah Pokok
Akibatnya masyarakat melakukan transaksi barter kebutuhan pokok. Bahkan mereka menggunakan forum sosial media untuk mendapatkan informasi kebutuhan. Kemudian menentukan lokasi bertemu untuk menukar barang yang dibutuhkan, seperti di stasiun kereta api maupun di tempat umum lainnya.
Kondisi ini disebut-sebut seperti yang pernah terjadi di Indonesia saat mengalami krisis pada 1997 lalu. Argentina kini menggantungkan hidupnya kepada Dana Moneter Internasional (IMF).
Sebagai informasi, pekan lalu IMF menyetujui pencairan pembiayaan senilai USD 44 miliar. Bahkan pencairan dana tersebut dilakukan tanpa syarat oleh IMF untuk membantu Argentina.
“Perkembangan dunia yang sangat bergejolak tentu perlu diwaspadai, namun tidak berarti kita gentar, kita tetap optimis namun waspada,” kata Sri Mulyani, Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Minggu ini, dunia dibuat ramai dengan bengkaknya utang Argentina.
Negara di Amerika Latin ini memiliki total utang setara lebih dari Rp515 ribu triliun bila dirupiahkan dengan kurs Rp15.290 per dolar Amerika Serikat.
Rincian utangnya tersebar dalam beberapa denominasi, dengan mayoritas dalam mata uang dolar Amerika Seriktar sebesar US$29,4 triliun atau setara 60,9% dari total utang.
Data dari Refinitiv juga menunjukkan utang dalam mata uang lokal sebesar ARS13,3 triliun (27,56%) dan EUR4,3 triliun (8,93%). Ketiga denominasi mata uang itu mencakup 97,39% dari total utang Argentina.
Di tengah pelemahan permintaan dunia, ekspor Argentina tertekan secara tahunan hingga 6.9% pada Agustus, sementara nilai impor justru mengingkat 36.2%.
Kenaikan impor dipicu oleh kebutuhan bahan bakar dan pelumas.
Alhasil, data Institut Nasional Statistik dan Sensus Argentina (Instituto Nacional de Estadística y Censos/INDEC) menunjukkan neraca dagang defisit US$300 juta pada Agustus. Ini masih terbilang membaik, dari defisit US$437 juta pada Juli.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Argentina telah mencapai 80.5% pada 2021. Sementara itu, rasio utang Indonesia hanya 35% terhadap PDB pada 2021.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan adanya empat tantangan utama saat ini, setelah dunia melalui pandemi.
Empat tantangan tersebut yakni, inflasi tinggi, pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga acuan yang agresif, potensi krisis utang global dan potensi stagflasi.
Khusus untuk krisis utang, dia mengungkapkan banyak negara di dunia yang rasio utangnya telah mencapai 60-100% dari PDB.
“Biaya utang dan revolving risk mengalami kenaikan yang tajam serta potensi default lebih dari 60 negara melonjak,” ujar Sri Mulyani.
Oleh karena itu, dia meminta semua pihak waspada.
“Perkembangan dunia yang sangat bergejolak tentu perlu diwaspadai, namun tidak berarti kita gentar, kita tetap optimis namun waspada,” kata Sri Mulyani.