Pameran Dokumentasi Fotografi & Arsip“Ode untuk Ayah”
120 Tahun Moch. Ichsan
(Walikota pertama Semarang 1946)
Serta penyerahan arsip kepada Pemkot Semarang
MATRANEWS.id — Pameran Dokumentasi Foto dan Arsip ‘Ode untuk Ayah, Ode to a Father’
Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang, bekerja sama dengan keluarga Ichsan (Adi dan Firman), serta Yayasan Riset Visual mataWaktu menggelar Pameran Dokumentasi Foto & Arsip dan Penerbitan Katalog ”Ode untuk Ayah, Ode to a Father”, di Oudetrap, Kota Tua Semarang, pada 10-18 Desember 2022.
Pameran yang dibuka oleh Hevearita G Rahayu [PLT] Walikota Semarang, ini diselenggarakan dalam rangka memperingati 120 tahun Mohammad Ichsan, Walikota Pertama Semarang.
Selain pameran, juga diadakan penyerahan secara simbolik arsip-arsip Moh. Ichsan kepada Pemkot Semarang.
Seperti diketahui, Mohammad Ichsan merupakan Walikota Pertama Semarang. Jabatan ini diamanahkan kepadanya sejak 8 Januari 1946 hingga 1949.
Pria kelahiran Weleri tahun 1902 ini memiliki perjalanan hidup yang panjang. Ia hadir dalam kurun waktu dengan pelbagai perubahan zaman. Zaman feudal, kolonial, lalu kemudian kesadaran berbangsa, pendudukan [Jepang], lantas ‘Merdeka’.
Walau demikian, tak banyak kisah Ichsan kita jumpai. Jangankan auto biografinya, biografinya saja sulit didapatkan.
Ia merupakan figur yang sangat ketat menjaga rahasia. Ichsan selalu menolak dengan halus, saat ada permintaan untuk menerbitkan memoar atau buku perihal dirinya. Kisah-kisah Ichsan hanya diceritakan secara lisan kepada kedua putranya, Adi dan Firman, itupun kala mereka beranjak dewasa.
Salah satunya, kisah pengangkatannya sebagai Kepala Sementara Republik Indonesia di Semarang. Penunjukan itu sekaligus menyatakan eksistensi kedaulatan RI yang baru merdeka ke hadapan masyarakat internasional.
Dalam kronik Revolusi Indonesia jilid 2, yang disusun Pramoedya Ananta Toer, pada tanggal 6 Januari 1946, tercatat bahwa amanah pengangkatan ini dibawa langsung ke Semarang oleh delegasi pemerintah RI, yaitu Menteri Muda Dalam Negeri Mr. Harmani, Menteri Kesehatan dr. Darmasetiawan, Mr. Latif dan seorang wartawan bernama Rosihan Anwar.
“Di Jakarta terjadi perundingan antara Sekutu dengan Sjahrir cs. Inggris mempertanyakan kalau betul RI ada, siapa penanggung jawab RI di Kota Semarang?”
“Jakarta bingung, namun segera menunjuk penanggung jawab. Karenanya utusan datang dari Jakarta ke Semarang menunjuk Ichsan yang memang berada di dalam Kota Semarang,” ujar Kurator Pameran “Ode untuk Ayah, Ode to a Father”, Oscar Motuloh yang mengisahkan kembali cerita Ichsan kepada Firman.
Kala itu, kedatangan pasukan Sekutu (Inggris) untuk melucuti senjata Balatentara Jepang yang kalah perang – telah disusupi pasukan NICA yang berambisi re-kolonialisasi Indonesia – membuat rakyat Indonesia murka dan mulai mengadakan perlawanan sengit. Mereka mendarat di tiga pelabuhan penting Indonesia. Semarang, Tanjung Priok dan Surabaya.
Di Jakarta teror terjadi setiap hari. Di Semarang pecah Perang Lima Hari, dan merembet menjadi peristiwa yang kita kenal sebagai Palagan Ambarawa. Kondisi tersebut bahkan menyebabkan pemerintah RI hijrah ke Yogyakarta sejak Januari 1946 hingga 27 Desember 1949.
Sepenggal percakapan dengan Firman Ichsan – putra bungsu Moh Ichsan pun terungkap bahwa – persahabatan Slamet Faiman dengan ayahnya yang bermula di geladak SS Johan de Witt (kapal penumpang anyar Hindia Belanda).
Itulah yang menjadi pondasi Ichsan menetapkan arah politiknya; yakni berada di jalur ideologi sebagai seorang nasionalis.
Faiman, seorang kelasi yang bertugas di kapal bercerobong ganda, dengan panjang 159,4 meter itu. Dia juga seorang aktivis pergerakan buruh pelabuhan di Rotterdam.
Pelayaran yang tengah Ichsan jalani itu dalam upaya mengikuti jejak kakak semata wayangnya Djoenaedi yang sudah duluan menuntut ilmu di negeri kincir angin.
Namun, menurut Firman, kisah yang menarik dan kerap diceritakan kepadanya yaitu mengenai Kota Semarang yang telah mengubah jalan hidup ayahnya.
Walau masa jabatannya tidak berlangsung lama, namun Ichsan merasa Kota Semarang telah membuatnya terlahir kembali (sebagai orang Indonesia). Ia pun mengagumi Rakyat Semarang yang menolak mendapatkan jatah beras Inggris dan ingin merasakan beras Republik.
“Cerita para pemuda dan pemudi (yang menjadi kurir) dari Front Barat Semarang yang gagah berani, diucapkan dengan nada kekaguman.”
“Serta kepercayaan yang diberikan para pemimpin Republik untuk memimpin kota yang dicintainya,” ungkap Firman.
Kini Ichsan telah berpulang 31 tahun silam, Firman dan Adi pun merasa perlu untuk menyumbangkan dokumen-dokumen yang disimpan almarhum semasa Revolusi kepada negara.
Arsip penting keluarga itu dijadwalkan diserahkan pada tanggal 10 Desember 2022 kepada Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang.
Walau ia tidak pernah menganggap dirinya pahlawan, melainkan hanya pelaku zaman. Namun, bagi putra-putra dan keturunannya, tentulah ia seorang besar.
Sepatutnyalah semua keturunan ini menghaturkan rasa terima kasih kepada mereka yang pernah berjuang untuk terbentuknya bangsa.
Karenanya persembahan pada sang ayah, dihaturkan dalam bentuk cerita apa yang ditekuninya; fotografi dan dokumentasi.
Dengan adanya pameran ini, Firman berharap semoga bangsa Indonesia selalu ingat untuk tidak sekedar mengenang, melainkan juga memahami pemikiran-pemikiran mereka yang memperjuangkan kemerdekaan.
Seperti halnya yang sering diucapkan Ichsan kepada Firman, “Banyak orang-orang [besar, pen.] dikenang, tetapi ‘pemikiran-pemikirannya’ selalu dilupakan.”
sumber info: Rizal Pahlevi, Foto oleh Achdan