MATRANEWS.id — Seorang penulis yang bernama Herry Tjahjono pernah menulis mengenai Manajemen Antibodi.
Wiihhh. Ia memberi contoh, ketika Indonesia mengalami kerusuhan Mei (Black May) 1998 meletus.
Banyak perusahaan kala itu, “ketakutan” terpaksa meliburkan diri dan menyewa petugas keamanan dari luar, baik preman atau petugas resmi. Bahkan, demi keamanan, mereka melarikan bosnya ke luar negeri.
Masih menurut tulisan itu, banyak juga perusahaan yang tetap berjalan dengan tenang tanpa mengerahkan pihak keamanan secara berlebihan.
Cukup mengandalkan karyawannya sebagai pengaman, karena tanpa diminta, mereka siap meladeni para perusuh.
Pada kasus destruksi seperti itu, pertahanan dan pengamanan internal perusahaan memang terasa lebih efektif dan kuat ketimbang pengamanan eksternal.
Yang dibahas adalah, mengenai jenis pertahanan dan pengamanan ini dilandasi kekuatan moral (moral force) yang luar biasa besarnya.
Di saat sekarang, banyak perusahaan dalam taraf emergency exit. Karena tagihan banyak yang “molor”, sementara pengeluaran terus berjalan. Dikejar pajak habis-habisan. Wuihhh.
Giliran karyawan yang diminta “berkorban” untuk perusahaan.
Bagaimana dibangkitkan punya SCE, yakni Sense of belonging (rasa ikut memiliki), Corporate culture (budaya perusahaan), dan Employee satisfaction (kepuasan karyawan).
Berbicara sense of belonging, karyawan tidak lagi disebut sebagai faktor produksi belaka. Bahkan, tak layak cuma dianggap sebagai aset atau kapital, meski kenyataannya tak semanis itu.
Karyawan adalah “pemilik” perusahaan juga, tapi dalam konteks sebagai shareholder.
Di penghujung tahun, paradigma ini dipakai oleh manajemen untuk memberi “motivasi” di awal tahun kepada karyawannya.
Corporate culture menjadi sublimasi dari nilai-nilai (core values) organisasi yang diinternalisasikan karyawan dari level tertinggi sampai terendah.
Perusahaan tak lagi bicara hal-hal bersifat teknis, profit, atau pun produksi. Nilai-nilai yang tak lazim menjadi biasa.
Budaya perusahaan, yang mengindokrinasi bahwa sidejob “haram” di setiap tarikan napas karyawannya, kini mulai longgar.
Ketika hak dan kewajiban antara pihak manajemen dan karyawan, mulai terganggu karena krisis membuat gaji dirasa tak mencukupi.
Manajemen dan pekerja, perlu disinergikan kembali. Ketika volatibilitas perekonomian global kembali menekan rupiah.
Yang penting dicatat, era dimana peluang industry 4.0 sudah tak terelakan. Inovasi digital mendatangkan tantangan, sejauh mana manajemen antibodi perusahaan menopang dan beradaptasi.
Modernisasi industri saat ini, membutuhkan sumber daya terlatih dan dapat membaca kebutuhan pasar. Adaptasi ke digital membutuhkan pendampingan dan sosialisasi. Untuk itu, perusahaan “Densus Digital” hadir.
www.densusdigital.com (Grup Perusahaan Swasta & Strategic HR Management Specialist, di Jakarta)
klik juga: Densus Digital