MATRANEWS.id — Bom di Doha – Dentuman yang Mengguncang Diplomasi Teluk. Oleh: Hamidin – Kelompok Ahli BNPPRI

Senja di Doha pada 9 September 2025 seharusnya hanyalah hari biasa. Jalan-jalan di distrik elit Leqtaifiya ramai oleh keluarga, pekerja asing, dan diplomat yang mengisi kafe-kafe modern di jantung ibu kota Qatar. Namun dalam sekejap, ketenangan itu hancur.
Suara jet tempur mengoyak langit biru, disusul dentuman bom yang mengguncang gedung-gedung tinggi. Asap hitam pekat membubung, menandai hari di mana Doha—kota yang dikenal sebagai salah satu pusat modernitas dan keamanan di Teluk—berubah menjadi medan serangan militer Israel.
Israel mengklaim serangan ini ditujukan pada markas politik Hamas yang beroperasi di Qatar. Lima belas jet tempur dikerahkan, puluhan bom dijatuhkan, dan kompleks yang dianggap sebagai pusat koordinasi Hamas luluh lantak.
Korban jatuh bukan hanya staf dan pengawal, tetapi juga keluarga salah satu pemimpin Hamas, Khalil al-Hayya. Anehnya, sebagian besar pucuk pimpinan Hamas justru selamat.
Dari sini, muncul pertanyaan besar: apakah tujuan serangan ini sekadar menumpas, atau justru memberi pesan simbolik?
Karena pada hakikatnya, serangan ke Doha tidak hanya soal militer.
Ia adalah pesan politik yang dirancang untuk mengguncang diplomasi regional. Israel ingin menunjukkan bahwa tidak ada tempat aman bagi Hamas, bahkan di luar Gaza, Lebanon, atau Suriah.
Namun serangan itu juga menampar wajah Qatar—negara yang selama ini menempatkan diri sebagai mediator netral dalam konflik Timur Tengah. Doha bukan hanya terluka secara fisik, melainkan juga diplomatis.
Kecaman Dunia dan Retaknya Diplomasi
Respon dunia internasional datang seketika. Sekjen PBB António Guterres menyebut serangan Israel sebagai pelanggaran kedaulatan serius.
Turki menuduh Israel melakukan terorisme negara, sementara Jerman memperingatkan bahwa tindakan itu merusak setiap peluang diplomasi.
Dari London, Perdana Menteri Keir Starmer menegaskan bahaya eskalasi yang dapat menyeret kawasan ke konflik yang lebih luas.
Yang paling mengejutkan adalah sikap Washington. Presiden Donald Trump, yang dikenal dekat dengan Israel, kali ini memilih bahasa hati-hati.
Ia menyebut serangan ke Doha sebagai insiden yang disayangkan, bahkan menegaskan bahwa menyerang sekutu Amerika Serikat seperti Qatar tidak mendukung kepentingan strategis AS maupun Israel.
Pernyataan ini menunjukkan betapa peliknya dinamika geopolitik yang muncul pasca-serangan.
Ironisnya, serangan itu dilancarkan tepat ketika Doha sedang memfasilitasi perundingan gencatan senjata Gaza.
Dengan bom yang jatuh di tanahnya, Qatar otomatis terjebak dalam dilema besar: masihkah mereka bisa dipercaya sebagai mediator?
Meski demikian, pemerintah Qatar bersikeras tidak akan mundur dari peran tersebut. Mereka memilih untuk tetap berada di jalur diplomasi, walau dengan luka yang dalam.
Pesan Simbolik bagi Teluk
Selama ini, Teluk Persia dianggap relatif aman dari serangan langsung, meski konflik di Gaza atau Lebanon tak pernah padam. Dengan bom Israel menghantam Doha, pesan yang terbaca jelas: tidak ada lagi wilayah netral.
Bahkan negara mediator pun bisa menjadi target. Hal ini membuat gelisah negara-negara Teluk lain, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Hubungan mereka dengan Israel yang sempat menghangat melalui normalisasi kini terancam oleh fakta pahit: Israel bisa melanggar kedaulatan kapan saja jika dianggap perlu.
Bagi Israel, operasi ini mungkin dipandang sebagai upaya menekan Hamas di luar basis tradisionalnya. Namun bagi banyak analis, langkah itu justru kontraproduktif.
Kepemimpinan Hamas tetap bertahan, simpati internasional terhadap Israel semakin menurun, dan negara-negara Arab kembali bersatu dalam kritik. Israel memang berhasil memamerkan kekuatan militer, tetapi harga yang dibayar adalah isolasi diplomatik yang semakin dalam.
Implikasi bagi Indonesia dan ASEAN
Dari perspektif Indonesia, serangan ini memiliki makna strategis yang tak bisa diabaikan. Indonesia selalu konsisten mendukung Palestina dan menolak segala bentuk agresi militer Israel. Namun serangan ke Doha membuka babak baru: konflik Israel-Palestina kini meluber hingga ke jantung Teluk, wilayah yang memiliki arti vital bagi stabilitas energi global dan kepentingan diplomasi ASEAN.
Qatar adalah pemasok gas alam terbesar bagi banyak negara Asia, termasuk mitra dagang utama Indonesia. Serangan ke wilayah mereka berarti ancaman terhadap keamanan energi yang lebih luas.
Jika Doha terguncang, harga energi bisa melonjak dan rantai pasok global terganggu. Ini bukan hanya isu Timur Tengah, melainkan juga isu Jakarta, Kuala Lumpur, hingga Bangkok.
Bagi ASEAN, peristiwa ini menjadi alarm keras. Kawasan Asia Tenggara memiliki diaspora besar di Timur Tengah, termasuk jutaan pekerja migran Indonesia, Filipina, dan Malaysia.
Ketidakstabilan di Teluk bisa berimbas langsung pada keselamatan mereka. Selain itu, ASEAN sebagai komunitas yang menjunjung “centrality” dalam diplomasi regional perlu mengambil sikap kolektif.
Apalagi, Indonesia baru saja memperkuat peran dalam G20 dan OKI, sehingga suaranya terhadap agresi Israel punya bobot moral sekaligus politik.
Di sini, Indonesia punya peluang untuk kembali menegaskan komitmen konstitusional: ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Serangan ke Doha dapat dijadikan momentum untuk mendorong terciptanya mekanisme internasional yang lebih tegas dalam melindungi negara mediator dari agresi militer.
Antara Eskalasi dan Titik Balik
Serangan ini bukan sekadar dentuman bom, melainkan dentuman simbolis yang mengguncang fondasi diplomasi internasional. Israel ingin menunjukkan bahwa musuhnya tidak punya tempat aman, namun dunia melihat bagaimana hukum internasional bisa begitu mudah dikesampingkan.
Doha kini menjadi simbol rapuhnya perdamaian di kawasan. Apakah serangan ini akan memicu tekanan diplomatik besar terhadap Israel, atau justru membuka babak eskalasi baru yang lebih berbahaya, masih menjadi tanda tanya.
Catatannya, satu hal jelas: konflik Israel–Palestina kini bukan hanya soal Gaza atau wilayah pendudukan, melainkan soal dinamika kekuasaan global yang bisa menembus batas negara.
Doha yang dulu dikenal dengan stadion megah, pusat belanja modern, dan citra sebagai tuan rumah Piala Dunia, kini juga dikenang sebagai kota yang langitnya dilintasi jet tempur.
Sebuah panggung di mana kedaulatan diuji, diplomasi diguncang, dan dunia diingatkan kembali bahwa perdamaian di Timur Tengah masih jauh dari kata abadi.
- BACA JUGA: majalah EKSEKUTIF edisi SEPTEMBER 2025 Klik ini







