MATRANEWS.id — – Pihak yang getol terus menggelar nonton bareng film “Pengkhianatan G 30 S PKI” adalah tokoh tokoh ABRI / TNI Angkatan Darat.
Karena film itu menjadi propaganda yang mempahlawankan sosok jendral Angkatan Darat yaitu Mayjen Soeharto.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam seperti dikutip laman Historia, menyatakan, TNI AU berkepentingan agar film propaganda itu tidak ditayangkan lagi karena TNI AU dituding terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
Apalagi Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara TNI (Purn.) Omar Dani dipenjara selama 29 tahun karena dituduh terlibat G30S.
“Akibatnya, sepanjang Orde Baru stigma negatif itu melekat pada korps ini. Peluang untuk meluruskan sejarah AURI baru terbuka setelah kejatuhan Soeharto,” kata Asvi.
Tak lama setelah Soeharto tumbang di tahun 1998, para purnawirawan TNI AU (PPAU) menyurati Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, para Marsekal atau jenderal TNI AU ini tak terima TNI AU seolah-olah terlibat G 30 S.
Permintaan mantan KSAU itu disambut baik oleh Yunus Yosfiah, seorang jenderal TNI AD dan veteran perang di Timor Timur.
Setelah selama 13 tahun terus menerus menjadi film wajib tayang tiap 30 September, film “Pengkhianatan G30S/PKI” tidak lagi diputar di TVRI dan teve lainnya mulai tahun 1998.
Asvi mengaku sempat melacak siapa yang berperan di balik penghentian penayangan film itu.
Dia mendapat informasi penting bahwa tokoh yang meminta penghentian penayangan film berdurasi hampir empat jam itu adalah Laksamana Madya Udara TNI (Purn.) Sri Mulyono Herlambang, mantan KSAU (1965-1966) yang menjabat ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PP AURI).
Mantan KSAU Marsekal TNI (purn) Rilo Pambudi juga menolak pemutaraan film tersebut. Bahkan sejak era Orde Baru, dia pernah meminta pemerintah agar tak lagi menayangkan film G30S PKI di stasiun televisi.
“Saya bersama pak Saleh Basarah (mantan KSAU) menghadap Setneg (Mensesneg), mohon kalau bisa nggak usah diputar lagi,” ucapnya.
Marsekal TNI (Purn.) Saleh Basarah, mantan KSAU (1973-1977) menelepon Menteri Penerangan Letjen TNI (Purn.) Yunus Yosfiah dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono, meminta agar film itu tidak ditayangkan lagi karena menyudutkan TNI AU.
Yang lebih memberatkan karena kemudian Menteri AURI Marsekal Madya Omar Dhani mengeluarkan perintah harian tanggal 1 Oktober 1965.
Perintah itu secara tergesa-gesa dikeluarkan. Isinya kurang lebih seperti AURI mendukung Gerakan 30 September.
Saat itu Omar Dhani menduga Gerakan 30 September itu hanya konflik internal TNI AD. Sejumlah perwira menahan atasannya yang membahayakan Soekarno.
Belakangan setelah tahu duduk permasalahan, Omar Dhani menyesal belum berkoordinasi dengan Soekarno.
Omar Dhani dikenal sebagai loyalis Soekarno. Wajar mengambil sikap spontan mengamankan Soekarno.
Dalam film tersebut, digambarkan Lubang Buaya yang menjadi tempat penyiksaan jenderal berada di dalam komplek Halim Perdanakusuma. Padahal, Lubang Buaya berada di luar markas TNI AU.
Beberapa keganjilan lain juga dinilai menyudutkan TNI AU. Tapi Soeharto punya pendapat lain.
Di depan penggalian jenazah tujuh jenderal di Lubang Buaya, Soeharto menyebut Angkatan Udara pasti terlibat.
“Daerah Lubang Buaya termasuk lapangan Halim. Kalau saudara melihat fakta dekat sumur ini, telah menjadi latihan sukwan dan sukwati oleh Angkatan Udara. Mereka melatih anggota rakyat dan gerwani.”
“Tidak mungkin tidak ada hubungan dalam peristiwa ini oknum-oknum angkatan udara,” kata Soeharto pada 4 Oktober, di tengah kemarahan para prajurit TNI AD yang melihat jenazah jenderal-jenderal mereka yang tewas.
Soeharto tak menyebut kalau Batalyon 454 dan Batalyon 530 juga ikut terlibat petualangan itu.
Pasukan yang dipakai menculik adalah Cakrabirawa dari unsur TNI AD.
Diproduseri G. Dwipayana dan PPFN, berdasarkan naskah yang ditulis oleh sejarawan militer Nugroho Notosusanto Menteri Pendidikan di era Soeharto, dan investigator Ismail Saleh, yang kemudian menjabat Menteri Kehakiman.
Sutradara Arifin C Noer, ditunjuk sebagai penggarapnya dan dibuat secara kolosal, dengan anggaran Rp800 juta, angka yang sangat besar di tahun 1980an.
Film itu bukan hanya sukses secara komersial di bioskop melainkan juga wajib tonton bagi pelajar dan wajib tayang semua teve tiap bulan September sehingga sukses menanamkan kebencian dan mudah menghasut pihak anti Orba, anti Soeharto sebagai pro PKI.