Investigasi Majalah MATRA Tentang Ragam Cerita Tentang Oknum Farmasi

Ketika Dokter Sudah Berada di Genggaman Perusahaan Farmasi

Investigasi Majalah MATRA Tentang Ragam Cerita Tentang Oknum Farmasi

MATRANEWS.idKelakuan Nakal Tak Masuk Akal

Ketika dokter sudah berada di genggaman perusahaan farmasi, yang terjadi adalah kekonyolan. Pasien akan menerima resep “tak masuk akal”.

Namun, pasien tak berdaya karena ketidaktahuannya.

Kerja sama atau KS antara perusahaan obat dan dokter itu seperti ijon. Dokter menerima uang atau hadiah di depan yang harus dikembalikan hingga empat kali lipatnya. Pengembalian dilakukan lewat kewenangan dokter dalam menulis resep.

Apabila seorang dokter telah diberi uang Rp 200 juta oleh sebuah perusahaan farmasi, maka ia harus meresepkan obat dari perusahaan farmasi itu senilai Rp 800 juta.

Jangka waktunya tidak terbatas, bisa dua bulan, tiga bulan, enam bulan, ataupun setahun.

Saat seorang dokter menjalin kerja sama dengan perusahaan farmasi yang diwakili oleh medical representative atau medrep, dokter itu akan diawasi. Medrep mengunci apotik-apotik rujukan sang dokter sehingga perusahaan obat bisa memantau progres kerja sama.

Menurut seorang mantan medrep, pola kerja sama perusahaan farmasi dan dokter ataupun rumah sakit, sudah berlangsung lama di semua daerah di Indonesia.

Mantan medrep tersebut menceritakan, kisahnya sebelum ia bertobat. Ia menjalin kerja sama dengan seorang dokter spesialisasi paru-paru di sebuah rumah sakit pemerintah di pinggiran Jakarta.

Kesepakatan kerja sama yang disampaikan secara lisan, tanpa perjanjian tertulis, itu menyatakan bahwa si dokter akan meresepkan antibiotik cair buatan perusahaan farmasi tertentu.

Si dokter kemudian menerima uang Rp 20 juta untuk biaya berlibur ke Bali bersama keluarganya. Sepulang dari Bali, si dokter jadi rajin meresepkan antibiotik cair kepada pasiennya yang mayoritas adalah orang dewasa.

Dia ditarget meresepkan antibiotik itu senilai Rp 100 juta. “Akhirnya, untuk pasien dewasa pun dia kasih resep antibiotik cair. Kan jadi konyol, pasien dewasa dikasih antibiotik cair,” ujar mantan medrep itu ketika ditemui di sebuah gerai fastfood di Alam Sutera, Tangerang Selatan, Banten.

“Mestinya pasien dewasa diberi antibiotik tablet. Cuma gara-gara terima uang akhirnya muncul resep tak masuk akal,” tambahnya.

Baca juga :  Imam B Prasodjo Di Tengah Kontroversi Supersemar

Dalam enam bulan dokter itu sudah melunasi “kewajibannya” ke perusahaan farmasi. Tapi banyak apoteker tertawa melihat resep si dokter. “Antibiotik cair kan untuk anak-anak,” katanya.

Beberapa medrep maupun mantan medrep yang menjadi narasumber yakin masyarakat banyak yang tak sadar soal ini.

“Banyak orang jadi resisten terhadap antibiotik golongan terendah gara-gara dokter mengadakan kerja sama untuk meresepkan antibiotik golongan yang lebih tinggi,” kata salah satu medrep.

Seorang medrep berkepala plontos mengaku, suatu ketika, anaknya demam dan ia pun membawanya ke sebuah klinik di Jakarta Selatan. Dokter kemudian memberi resep antibiotik golongan dua.

Lantaran paham, medrep tersebut menolak resep dokter. “Saya minta amoxicilin saja. Amoxicilin kan termasuk antibiotik golongan rendah. Saya tahu kalau demam biasa, pakai amoxicilin saja cukup,” ungkapnya.

“Tak perlu golongan dua yang seperti yang sempat diresepkan dokter. Kasihan anak saya, nanti jadi resisten. Lagipula antibiotik golongan dua itu jauh lebih mahal,” katanya lagi.

Pria berkepala plontos itu pun buka kartu bahwa dia berprofesi sebagai medrep. “Dokter itu kemudian mengganti resepnya,” katanya.

Dalam pembicaraan singkat tersebut, si dokter mengaku punya kerja sama dengan sebuah perusahaan obat yang memproduksi antibiotik golongan dua.

Pilihan amoxicilin untuk mengatasi demam si anak tidak keliru. “Ternyata benar, dalam dua hari, anak saya sembuh,” imbuh medrep tersebut.

Mengaku sebagai “orang farmasi” memang jadi password bagi para medrep untuk tidak menjadi korban resep tidak masuk akal.

“Kalau ada keluarga yang sakit ataupun opname, sejak awal saya katakan kepada dokternya, ‘dok… saya orang farmasi lho’. Kalau sudah gitu, pasien enggak akan diberi resep yang aneh-aneh,” ujar seorang mantan medrep.

 

Mantan Medrep Ungkap Permainan Resep dan Komisi untuk Dokter

Pemasaran obat resep dokter atau obat ethical, tercemar praktik suap dari perusahaan farmasi ke dokter, selaku penulis resep.

Beberapa mantan staf pemasaran obat ethical, biasa disebut medical representative atau medrep, secara terang-terangan membuka sisi gelap bisnis obat resep dokter.

Para mantan medrep itu mengatakan bahwa mayoritas dokter dan rumah sakit, secara sadar menerima tawaran menjadi perpanjangan tangan perusahaan farmasi.

Untuk itu, mereka menerima imbalan yang nilainya sekitar 25 persen dari harga obat.

Selama belasan tahun menjadi medrep, John-bukan nama sebenarnya-mengaku sangat mengetahui praktik suap itu. “Istilahnya KS, singkatan dari kerja sama,” ujarnya.

Selain pendekatan ke para dokter, medrep juga melakukan pendekatan ke rumah-rumah sakit, khususnya instalasi far­-masi di masing-masing rumah sakit. Komisi untuk rumah sakit diserahkan kepada manajemen.

“Apakah itu dibagi di antara pimpinan rumah sakit atau dianggap sebagai keuntungan rumah sakit, saya tidak tahu,” ujarnya di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Komisi kepada dokter ataupun rumah sakit sama-sama dibayar di depan. “Seperti ijon,” katanya.

KS tidak pernah dituangkan dalam perjanjian hitam di atas putih. Namun kedua pihak wajib mentaati isinya. Kalau ada dokter yang hanya mau terima komisi tapi tak mau meresepkan obat pesanan perusahaan farmasi, maka dokter tersebut akan masuk daftar hitam atau di-black list.

John juga mengungkapkan, bagian yang diterima rumah sakit bisa lebih dari 25 persen. “Saya pernah melakukan kerja sama dengan sebuah rumah sakit, komisi yang diberikan ke rumah sakit itu sekitar Rp 8 miliar,” katanya.

John menyebut sebuah nama rumah sakit terkenal di barat Jakarta, persisnya di wilayah Tangerang.

Komisi itu adalah 51 persen dari nilai pembelian obat. “Awalnya, kami menawarkan komisi 50 persen. Namun kompetitor bersedia memberi 50,5 persen. Kami kemudian meningkatkan komisi menjadi 51 persen,” katanya.

Makna di balik komisi Rp 8 miliar, pihak rumah sakit harus belanja obat senilai sekitar Rp 16 miliar. John memerkirakan, rumah sakit itu bakal menyelesaikan kewajiban belanja obat selama setahun.

Perkiraan John meleset. Sebelum genap setahun, belanja obat rumah sakit itu sudah mendekati Rp 16 miliar.

“Kami segera memperbarui KS, jangan sampai diserobot pesaing,” katanya. Menurut John, ketika dokter atau rumah sakit sudah berada di genggaman perusahaan farmasi, yang terjadi adalah resep yang “dipaksakan”.

“Misalnya, seorang pasien berusia dewasa diberi antibiotik cair,” katanya. Padahal, menurut dia, antibiotik cair adalah obat untuk anak-anak. Sedangkan pasien dewasa mestinya diberi obat berbentuk tablet.

Sejumlah mantan medrep mengatakan, mayoritas dokter meminta komisi dalam bentuk uang. Sebagian kecil dokter minta barang ataupun tiket jalan-jalan ke luar negeri.

Menurut John, kelompok paling kecil adalah dokter yang minta dibawa pelesir ke tempat hiburan malam. John mengaku pernah membawa sembilan dokter pelesir ke Hotel “A”, sebuah tempat hiburan malam di Jakarta Utara.

Sebanyak tujuh dokter memilih cewek warna negara asing sebagai teman kencan sedangkan sisanya memilih cewek lokal.

Seorang teman John, juga mantan medrep, mengaku pernah bertemu dokter yang minta dicarikan cowok. “Dokternya laki dan minta dicarikan cowok,” sungutnya. Ia mengaku dua kali menghadapi situasi seperti itu.

Aturan tak tertulis, apapun permintaan si dokter, sebisa mungkin dikabulkan. Jadi, jika si dokter meminta ini itu, medrep hanya perlu melapor ke atasannya.

John memberi ilustrasi, di salah satu perusahaan farmasi, persetujuan pemberian uang kepada dokter dilakukan sampai tujuh tingkat. Mulai dari supervisor, manajer, area manager, dan seterusya.

Persetujuan berjenjang ini menunjukkan bahwa suap kepada dokter merupakan kebijakan suatu perusahaan farmasi.
“Teknik-teknik menyuap dokter juga diajarkan di pelatihan yang saya dapat di awal berkarier sebagai medrep,” kata John.

#Fenomena Medrep emang menarik untuk di bahas. Mereka adalah ujung tombak pemasaran produk ethical. Jika Anda menyukai tantangan, mudah bergaul, dan easy going, boleh deh coba profesi yang satu ini.

Medical Representative atau sering juga disebut dengan Medrep adalah suatu jenis pekerjaan dibidang farmasi yang tugasnya menerangkan produk-produk dari perusahaan farmasi (dalam hal ini obat maupun alat kesehatan) kepada user atau target produk.

Maka dari itu, biasanya Medrep juga sering disebut dengan Detailer. Medrep berperan untuk menjembatani pertemuan antara pihak perusahaan farmasi dengan user seperti dokter, bidan, apotik, toko obat ataupun pihak-pihak lainnya yang berwenang

Tinggalkan Balasan