MATRANEWS.id — Dalam ruang akademis yang berlangsung di kampus UI, Jalan Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (18/7/2019) rahasia itu dibongkar.
Hadir dan terkesima mendengar adalah staf pengajar, civitas akademika dan mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI).
Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Gatot Eddy Pramono mengungkapkan, “dibalik” situasi keamanan Pasca kerusuhan 21-22 Mei dan bagaimana Polri mengantisipasinya.
Kuliah umum yang berlangsung lima jam tak terasa menjadi adegan yang mengasyikan.
Menjadi sebuah kesaksian yang mencerahkan, dengan paparan situasi yang dijelaskan.
Menegaskan bahwa jenderal yang satu ini, selain intelektual juga merupakan jenderal lapangan yang humble, dengan kiatnya dibantu anak buah dan jaringannya, mengatasi situasi pelik, dalam proses keputusan tepat dan terukur.
Sudah tercatat sebagai bagian dari sejarah, Gatot Eddy Pramono tampak memantau pembubaran massa yang sempat berdemonstrasi di depan Gedung Bawaslu, Rabu (22/5/2019) pukul 00.39 dini hari.
Kapolda Metro Jaya turun langsung ikut membubarkan massa di Bawaslu.
Dalam kuliah umum itu, polisi yang juga lulusan Universitas Indonesia itu membuka pendekatan yang dilakukan, untuk berupaya menghadang metode penyebaran paham radikalisme dan intolerasi yang juga semakin canggih dengan strategi sistem sel.
Pria lulusan Akpol 1988 yang berpengalaman dalam bidang reserse itu menjelaskan tantangan dan ancaman serius dalam menghadapi perkembangan demokrasi di Indonesia, dengan gamblang.
“Ketika makin menguatnya politik indentitas dan primordialisme, masyarakat juga harus dibangun kesadaran untuk membentengi diri dan lingkungannya,” ujarnya.
Masih dalam penjelasan Gatot, polisi dalam hal ini, menyatu bersama masyarakat dan juga dibantu tokoh-tokoh agama untuk memberi pencerahan dan inti dari esensi bangsa, yakni keberagaman di bawah Pancasila.
Sosok kelahiran Solok, Sumatera Barat ini menyebut paham yang salah kaprah ini, harus diakui, menerjang segala lapisan. Terjadi secara massif, termasuk melalui media sosial.
Dimana penyebaran narasi kebencian dan berita bohong (hoaks) yang menimbulkan perpecahan sebagai dampak negatif kemunculan media sosial, harus diakui dirancang dengan baik oleh sang “dalang” sehingga pemain-pemainnya tanpa sadar sudah terkontaminasi.
Jenderal Gatot yang juga alumni jebolan Doktor Kriminologi dari Universitas Indonesia ini bahkan dengan gamblang menyebut, paham radikalisme ini sudah tembus dan merasuk kalangan dunia kampus atau kalangan terpelajar.
“Selain melalui media sosial, penyebaran paham radikalisme terjadi di lingkungan kita, melalui forum diskusi, pendekatan personal, dia membangun suatu hubungan emosional diantara sesama,” ujar pria kelahiran 28 Juni 1965 ini.
“Dimana terjadinya? bisa terjadi di lingkungan dia di kampus, sekolah, tempat kerja,” kata mantan Asrena Kapolri ini.
Misalkan di lingkungan kampus dengan ikatan primordialisme-nya, sesama pengikut satu kampung dikumpulkan, disiapkan tempat kosnya, disiapkan kebutuhannya, kemudian mereka diajak melakukan kegiatan-kegiatan terselubung untuk menyebarkan pahamnya.
“Juga melalui forum-forum diskusi, media publikasi, melalui internet, dan menyebarkan paham isu baru,” kata mantan Kepala Satgas Nusantara itu.
Selain memaparkan hoax di luar negeri yang makin canggih, lewat multimedia, jenderal bintang dua ini mengungkap “dibalik” pertemuan dua tokoh bangsa, Prabowo Subianto dan Joko Widodo.
Sayang, untuk yang ini penjelasannya off the record.
baca juga: majalah MATRA edisi cetak — klik ini