MATRANEWS.id — Buzzer, endorser terdaftar sebagai profesi yang diminati sekarang ini. Bahkan, ada seorang fotografer kondang pada masanya, sekarang “berpindah” profesi menjadi buzzer dan endorser.
Fotografer itu alih profesi menjadi buzzer digital karena situasi sulit order sekarang ini. Di lain sisi, ia memiliki kemampuan, bermain medsos dan memiliki banyak pengikut di akun yang dibangun lewat brand yang memang punya nama.
Di masa pandemi Covid-19 ini, “buzzer kuliner” yang sedang beroperasi marak. Kaum “emak-emak” aktif di Facebook, Instagram dan Youtube, dalam memasarkan apa yang diproduksi untuk membuat laku.
Caranya, para aktivis medsos itu ikut di satu grup yang banyak anggotanya, hingga ribuan anggota. Kemudian ia mem-buzzer yang dijual, mulai dari kopi, hingga jamu dan hijab. Maka, tersebarlah ke seluruh anggota grup itu, kemudian pindah ke grup lain lagi.
Itu bagian yang tingkatan dasar, bagi yang di atasnya. Sebagai buzzer atau sebutannya endorser. Ada juga yang menyebutnya sebagai influenser atau KOL (key opinion leader).
Akun di media social yang dikelola baik dan ikuti trend, kalau dirawat bisa menghasilkan fulus.
Para pemegang akun instagram, atau FB group kerap mem-posting atau ada dapat order posting pesanan klien. Syaratnya, ia harus punya pengikut di media social. Harus memiliki di atas 10.000.
Para influenser dunia maya ini direkrut atau disewa secara kongkrit. Hanya saja, transaksinya diam-diam, jauh dari pajak dan dalam waktu tertentu juga sangat personal.
Saat waktu jaman politik, ya kliennya tak jauh dari itu. Per blast, bisa juga kontrak sebulan dengan syarat-syarat dan ketentuan tertentu. Hanya buzzer dan endorser serta klien yang paham.
Pilkada Sebentar Lagi
Biaya menyewa tim buzzer ini sangat relatif, hitungan dari pengikut sang influenser. Seorang fotografer yang kini pindah kuadran menjadi influenser atau buzzer, bisa hidup tak terpengaruh pandemi virus Corona.
Memang, saat pilihan hidup memasuki dunia medsos, sebenarnya kreatifitas menjadi penting. Mereka harus mengembangkan talenta lain. Antara lain, mengembangkan bakat edit video lewat hape, men-syut atau sebagai pembuat trendsetter.
Era beberapa dekade lalu, dimana seorang fotografer lapangan masih harus dibekali kemampuan cuci-cetak foto di kamar gelap. Saat ini, mungkin spesifikasi tersebut sudah tidak lagi menjadi prioritas.
Dengan format digital, fotografer hanya perlu mengirim data foto via email untuk naik cetak atau terbit online.
Lebih jauh lagi, teknologi kamera digital juga menghadirkan fitur-fitur auto yang cukup canggih. Dalam mode full auto, fotografer bahkan cukup menekan tombol tanpa harus mengukur ISO, diafragma, hingga depth of field bidikan.
Sekali jepret, gambar yang dihasilkan bisa jadi lebih baik daripada bidikan dengan mode manual. Ironinya, salah satu yang gugur digerus perkembangan teknologi kamera digital justru pencetusnya sendiri.
Steven J. Sasson, insinyur Kodak, melahirkan kamera digital pertama dengan resolusi hingga 10.000 piksel yang tersimpan dalam pita kaset. Sejak runtuhnya fotografi film dan maraknya tren kamera digital, fotografi menjadi semakin “ramah” di mata masyarakat.
Teknologi handphone, yang baru terus, menghadirkan kualitas kamera berpiksel besar. Seiring dengan kehadiran media sosial Instagram, maka fotografi mobile menjadi kekinian.
Demam Instagram juga melanda di Indonesia. Profesi “Instagrammer” juga menjadi sesuatu yang menjanjikan bagi orang-orang yang minat pada fotografi.
Jika ada era fotografi harus diproduksi oleh kamera dan proses cetak kimiawi film negatif, itu sudah berlalu. Fotografi semakin luas, bukan lagi modal kamera pocket. Fotografi hingga membuat video, bias dengan kamera handphone saja.
Kita bisa menggubah, memindahkan, memotong, menimpa, mengobrak-abrik citraan tanpa harus mengganggu salinan asli hanya dengan hitungan detik. Hebatnya lagi tiap citraan bisa keluar (output) di atas permukaan apa pun dan ukuran yang gigantik sekalipun.
Rekayasa digital membawa dampak yang cukup signifikan dalam kehidupan masyarakat kontemporer di berbagai segi. Dunia fotografi memasuki peran yang menyebabkan adanya ketidak-percayaan masyarakat pekerja/profesional fotografi.
Jurufoto yang telah lama berprofesi di sini, “dihantam” perkembangan tehnologi.
Tanpa latar belakang akademis [seni fotografi] dan apalagi sertifikasi, lewat utak atik digital, karyanya bisa viral. Lewat grup atau medsos, disebar sehari bisa berapa kali.
Sehingga, yang bisa di”monetisasi” atau honor dibayar tak lagi sekedar karya foto, tapi bagaimana karya itu diterima di masyarakat, dengan memasukan ke medsos atau memuatnya terlebih dahulu di media digital, agar lebih kredibel.
Nah, di sinilah, peran medsos. Si buzzer akan menulis cerita disamping karya foto itu. Inilah harta dari dunia maya. Internet yang bak magnit menarik banyak orang mempertebal kantong atau menumpuk cuan.
#ssbudirahardjo – pengamat gaya hidup digital (0816-1945-288)