Budaya  

Mengenang Dunia Fotografi Tahun 80-an

MATRANEWS.id — Romantisme itu terjadi begitu saja. Lewat media sosial, aku upload mengenai situasi jaman analog. Sejenak mengenang dunia fotografi di tahun 80-an.

Romantisme tahun 80-an diunggah ke medsos. Ketika itu, aku masih menjadi wartawan lepas (jurnalis free lance).

Fotografer yang “ngetop” di era itu antara lain; Ida Bagus Putra Adnyana (Gustra), Rio Helmi, dan John Wiranata. Ada juga Koes, K Sujana, Widiatmika, Djaja Tjandra Kirana, dan Silvio serta Djoko Soegianto. Termasuk nama Ida Bagus Raka Suardana, Made Artha dan lain sebagainya.

Pada masa itu, tak mudah menjadi wartawan, baik wartawan tulis maupun wartawan poto.

Ada proses ketat yang harus dilewati sebelum menjadi wartawan tetap. Banyak istilah yang dipergunakan oleh perusahaan media dalam menyeleksi kualitas awak medianya, antara lain ; stringer, koresponden, hingga kontributor.

Kendatipun demikian, perusahaan media yang bersangkutan, memberi surat keterangan/surat tugas yang berlaku tiga bulanan.

Surat keterangan tersebut, berukuran A-4 dan bermanfaat sebagai sarana kerja sebelum jurnalis yang bersangkutan direkrut dan mendapat kartu pers.

Wartawan senior majalah Tempo Putu Wirata Dwikora, suka melaminating surat keterangan/surat tugas dari Tempo, agar aman dari kerusakan saat bertugas di musim hujan.

Pada prakteknya, narasumber tak pernah menanyakan surat tugas, kecuali kantor-kantor formal.

Bagi wartawan dan fotografer di Bali tahun 80-an, tentu tak akan lupa dengan nama Made Subagia yang akrab disebut pak Bagia.

Beliau adalah pemilik studio poto (jasa afdruk) hitam-putih BAHAGIA, yang melayani kepentingan media cetak (yang ketat dengan ‘dead line’), terutama koran harian atau majalah berita.

Setiap hari, puluhan wartawan tulis (yang merangkap wartawan poto) dan juga wartawan poto yang membutuhkan jasa pak Bagia untuk cuci film dan cetak poto hitam-putih.

Memang ada beberapa studio poto di Denpasar, seperti Tati Photo yang ada di Jl. Sumatra Denpasar. Namun, studio-sudio formal tersebut terlalu banyak konsumennya hingga tak memungkinkan melayani teman-teman jurnalis yang ketat dengan ‘dead line’.

Dan, konsumen studio-studio formal tersebut, sebagian besar adalah konsumen poto berwarna.

Foto berwarna, memang sedang populer ketika itu, sebelum kita memasuki era fotografi digital yang effisien dan ekonomis.

Kreatifitas pak Bagia, membuatnya bisa melayani kepentingan para jurnalis yang berpacu dengan waktu, dan fleksible dalam jumlah cetak.

Sebab, pak Bagia bisa memotong film sang Jurnalis yang hendak dicetak, sesuai kebutuhan jurnalisnya.

Jadi, film yang hendak dicuci tak harus 1 roll semuanya (36, 24, 12 adalah jumlah standard per-roll film).

Artinya, andai jurnalis hanya membutuhkan 2 atau 4 buah foto sesuai gambar yang ia potret untuk mendukung berita, maka pak Bagia bisa memenuhi permintaan itu. Fleksible dan ekonomis kan? Konsekuensinya, terbuang beberapa kolom film untuk ‘area’ pemotongan.

Selanjutnya, setelah selesai proses afdruk di kamar gelap yang penuh resiko dengan bau bahan-bahan kimia ‘developer’ dan ‘fixer’ yang merusak paru-paru, maka pak Bagia juga mengkreasi alat pengeringannya.

Untuk menyingkat waktu pengeringan, pak Bagia membuat semacam drum pengeringan yang dialiri panas dari kompor.

Hanya hitungan menit, maka selesailah poto-poto hitam-putih yang diperluklan oleh wartawan untuk melengkapi beritanya. Terkadang –

ketika masih jadi wartawan lepas, sering juga saya mesti ‘ngebon’ dulu pada pak Bagia. Pasalnya, tulisan-tulisan yang dimuat diatas tgl 20, honornya baru bisa cair bulan depannya. Hal ini, mungkin semacam CSR nya pak Bagia, jika dikaitkan dengan terminologi kekinian.

Itulah sekilas peran pak Bagia pada dunia jurnalistik di Bali.

Menurut saya, ia adalah bagian ‘infrastruktur’ media massa di Bali pada masa lalu.

Sebelum dunia fotografi merambah era digital. Pak Bagia, mendedikasikan dirinya pada dunia berita (gambar), tanpa memikirkan kesehatannya yang tiap hari tergerus oleh bahan-bahan kimia yang dihirupnya.

Selain itu, beliau juga banyak melancarkan kerja wartawan yang ketika itu (bisa dikata) berpenghasilan tidak berlebihan.

Tentu, banyak cerita yang bisa digali dari para wartawan dan fotografer senior tentang kiprah pak Bagia di sebuah gang sempit di belakang RRI Denpasar yang di jalan Melati pada masa itu.

Kini, beliau membuka studio foto di bilangan Pasar Kreneng.

Saya mencari beliau disana, tapi tidak ketemu. Saya hanya ketemu dengan anak dan menantunya.

Jika saya ketua sebuah lembaga Jurnalis, maka saya berkeinginan memberi pak Bagia penghargaan sepantasnya. Suka tidak suka pak Bagia adalah bagian dari sejarah perjalanan media massa di Bali.

Ah, saya jadi ingat ketika majalah MATRA, majalah Trend Pria demikian ngetop dan laris saat itu, edisi cetaknya.

baca juga: majalah MATRA cetak (print) terbaru — klik ini

Kalau ingat, klik ini: #HartantoBali

Tinggalkan Balasan