Rafale Terbakar di Langit Asia: Ketika Prabowo dan AURI Tercengang oleh Teknologi China

Rafale Terbakar di Langit Asia: Ketika Prabowo dan AURI Tercengang oleh Teknologi China

MATRANEWS.idRafale Terbakar di Langit Asia: Ketika Prabowo dan AURI Tercengang oleh Teknologi China

 

 

 

 

 

Dunia terhenyak. Langit di perbatasan India-Pakistan kembali menyala merah. Dentuman rudal, gemuruh mesin jet, dan pekikan sirene mengawali sebuah babak baru dalam sejarah rivalitas dua negara nuklir Asia Selatan. Namun yang lebih mengejutkan bukan semata perang itu sendiri, melainkan siapa yang menang dan siapa yang jatuh.

Dua unit jet tempur Dassault Rafale milik Angkatan Udara India dilaporkan ditembak jatuh di atas wilayah sengketa Kashmir oleh sistem pertahanan udara Pakistan dan jet tempur JF-17 Thunder dan Chengdu J-7 — semuanya buatan Tiongkok.

Bersama Rafale, satu unit Sukhoi Su-30MKI, kebanggaan India hasil kolaborasi Rusia, juga tak sempat kembali ke pangkalan. Tiga burung besi rontok, dunia berbisik—apakah ini simbol kejatuhan kebanggaan Barat dan Timur di hadapan teknologi Negeri Tirai Bambu?

Di Jakarta, berita ini sampai di meja Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan petinggi TNI AU seperti petir di siang bolong.

Indonesia baru saja menandatangani kontrak pemesanan 42 unit Rafale dari Prancis senilai Rp2 triliun per unit—total mencapai Rp84 triliun, sebuah langkah strategis sekaligus mahal dalam modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista) nasional.

“Bagaimana bisa pesawat sekelas Rafale, pesawat yang kami impikan, jatuh oleh teknologi China yang jauh lebih murah?” bisik seorang perwira AURI yang enggan disebut namanya, dengan nada antara kecewa dan cemas.

Baca juga :  Bagaimana Posisi Bakamla Sebagai Coast Guard Indonesia?

Pertanyaan itu menggema luas, bukan hanya di koridor Kementerian Pertahanan RI, tetapi juga di ruang publik digital. Netizen bertanya, pengamat militer berspekulasi, dan rakyat—yang dananya terpakai untuk pembelian tersebut—mulai membandingkan strategi pertahanan Indonesia dengan negara tetangga.

Ironi Teknologi dan Diplomasi

Rafale adalah lambang superioritas udara Eropa. Cepat, gesit, dilengkapi radar AESA dan sistem avionik mutakhir. Sementara JF-17 Thunder adalah jet ringan hasil kerja sama Pakistan dan China, dengan harga jauh lebih murah dan kemampuan yang tak seharusnya bisa menandingi Rafale—setidaknya di atas kertas.

Namun realita berbicara lain.

Sistem pertahanan udara Pakistan, termasuk varian dari HQ-9 dan radar yang terintegrasi dengan teknologi AI buatan Beijing, terbukti mampu membaca manuver Rafale dan Su-30 dengan akurasi tinggi. Dalam waktu singkat, rudal menghujam sasaran. Tiga bintang jatuh, dan efeknya bergema hingga ke langit Nusantara.

Pelajaran untuk Indonesia

Indonesia memiliki sejumlah Sukhoi Su-30MK2 buatan Rusia, pesawat yang serupa dengan milik India namun kini terbukti rentan.

Dengan pembelian Rafale yang sudah diumumkan secara megah, pertanyaan pun muncul: Apakah Indonesia membeli masa lalu dari Eropa, sementara masa depan sudah dikuasai oleh teknologi murah-meriah dari Tiongkok?

“Ini bukan sekadar soal pesawat, tapi soal doktrin tempur dan kesiapan sistem,” kata seorang analis militer. “Pakistan tidak hanya beli pesawat, tapi juga membangun ekosistem digital tempur berbasis AI dan radar jangkauan jauh, yang selama ini kita anggap hanya milik negara maju.”

Baca juga :  Dibalik Kisah Penangkapan OTT KPK

Di Simpang Jalan Sejarah

Prabowo kini berada dalam dilema strategis. Apakah Indonesia akan terus mengandalkan Rafale dan teknologi Barat yang terbukti bisa dijatuhkan, atau mulai menoleh ke kekuatan Timur—yang diam-diam menunjukkan taring dan gigi?

Perang India-Pakistan mungkin masih jauh dari Indonesia secara geografis. Tapi jatuhnya Rafale dan Su-30 di langit Kashmir, seakan menjadi panggilan keras: dalam era peperangan digital dan drone, yang kuat bukan hanya yang mahal, tetapi yang mampu beradaptasi.

Langit telah berubah. Dan Indonesia harus cepat membaca arah angin.