Rahasia Tersembunyi di Balik Bahasa Pasangan: 4 Tanda yang Bisa Menghancurkan Hubungan Anda!

Mengapa Bahasa Stres Penting dalam Hubungan Pasangan

Rahasia Tersembunyi di Balik Bahasa Pasangan: 4 Tanda yang Bisa Menghancurkan Hubungan Anda!

MATRANEWS.ID – Bahasa adalah alat utama komunikasi manusia. Dalam konteks hubungan pasangan, bahasa berperan lebih dari sekadar menyampaikan pesan.

Bahasa merupakan cerminan dari perasaan, ekspektasi, dan hubungan emosional antara dua individu.

Ketika hubungan mulai memasuki fase stres, bahasa yang digunakan juga cenderung berubah menjadi lebih negatif dan penuh ketegangan.

Ini sering disebut sebagai “bahasa stres” atau stress language.

Bahasa stres adalah bentuk komunikasi yang muncul saat seseorang berada di bawah tekanan emosional, merasa tidak dipahami, atau frustrasi dengan situasi tertentu.

Biasanya, bahasa stres tidak hanya terdiri dari kata-kata negatif, tetapi juga mencakup nada suara, gestur tubuh, hingga ekspresi wajah yang menunjukkan ketegangan.

Meskipun bahasa stres merupakan hal yang lumrah terjadi dalam sebuah hubungan, pola komunikasi ini jika dibiarkan dapat menimbulkan keretakan dan bahkan memicu perpisahan.

Kami akan mengulas lebih dalam tentang bahasa stres, istilah-istilah penting yang sering muncul dalam komunikasi penuh tekanan, bagaimana dampaknya pada hubungan, serta apa kata para pakar mengenai cara mengatasinya.

Dengan memahami bahasa stres, pasangan dapat meningkatkan kesadaran mereka terhadap komunikasi yang sehat dan membangun hubungan yang lebih harmonis.

Apa Itu Bahasa Stres?

Bahasa stres mengacu pada pola komunikasi yang cenderung negatif atau destruktif ketika seseorang merasa stres, marah, atau tertekan. Berbeda dengan komunikasi yang sehat dan penuh kasih sayang, bahasa stres lebih sering didominasi oleh kritik, rasa marah, sikap defensif, atau bahkan ketidakpedulian.

Menurut pakar hubungan, John Gottman, bahasa stres seringkali menjadi indikator utama dari permasalahan yang mendasar dalam hubungan. Dalam teorinya yang dikenal dengan “The Four Horsemen of the Apocalypse” atau Empat Penunggang Kiamat, Gottman menjelaskan bahwa terdapat empat bentuk komunikasi yang bisa sangat merusak hubungan, yaitu kritik (criticism), cemooh (contempt), pembelaan diri (defensiveness), dan pengabaian (stonewalling).

  1. Kritik (Criticism)
    Kritik dalam konteks bahasa stres bukan hanya sekadar keluhan atau ketidakpuasan terhadap perilaku pasangan. Kritik biasanya mengarah pada serangan terhadap karakter atau kepribadian pasangan. Sebagai contoh, alih-alih mengatakan, “Saya merasa tidak dihargai ketika kamu terlambat,” seseorang yang menggunakan kritik mungkin akan berkata, “Kamu selalu terlambat, kamu tidak pernah peduli tentang apa yang saya rasakan.”
  2. Cemooh (Contempt)
    Cemooh atau rasa meremehkan adalah bentuk bahasa stres yang penuh dengan penghinaan dan superioritas. Biasanya disampaikan melalui sindiran, sarkasme, atau bahkan ejekan langsung. Menurut Gottman, cemooh adalah prediktor utama dari perceraian atau perpisahan karena bentuk komunikasi ini menunjukkan hilangnya rasa hormat dalam hubungan.
  3. Pembelaan Diri (Defensiveness)
    Ketika seseorang merasa diserang atau dikritik, respons alami yang sering muncul adalah membela diri. Ini bisa berbentuk membenarkan diri sendiri, mengalihkan kesalahan kepada pasangan, atau bahkan berusaha menghindari tanggung jawab. Sikap defensif ini dapat memperburuk situasi karena tidak menyelesaikan masalah yang ada, malah memicu konflik lebih lanjut.
  4. Pengabaian (Stonewalling)
    Stonewalling atau pengabaian adalah ketika salah satu pasangan menutup diri secara emosional dan fisik dari interaksi dengan pasangannya. Ini sering terjadi ketika seseorang merasa terlalu tertekan atau kewalahan dengan konflik yang ada, sehingga mereka memilih untuk menarik diri dan tidak lagi terlibat dalam percakapan.
Baca juga :  Gugatan Balik Intan Dikabulkan, Mael Lee Wajib Bayar Iddah

Dampak Bahasa Stres pada Hubungan Pasangan

Bahasa stres tidak hanya memengaruhi kualitas komunikasi antara pasangan, tetapi juga berdampak pada kepuasan hubungan secara keseluruhan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gottman Institute, sekitar 69% konflik dalam hubungan pasangan tidak pernah benar-benar terselesaikan. Konflik yang berulang-ulang terjadi sering kali disebabkan oleh pola komunikasi negatif seperti bahasa stres.

Beberapa dampak yang dapat timbul dari penggunaan bahasa stres dalam jangka panjang antara lain:

  1. Penurunan Kepuasan Hubungan
    Pasangan yang sering berkomunikasi dengan bahasa stres cenderung merasa kurang puas dengan hubungan mereka. Komunikasi yang didominasi oleh kritik, cemooh, dan defensif menciptakan suasana yang penuh ketegangan dan ketidaknyamanan. Hal ini mengurangi rasa keintiman dan kedekatan emosional antara pasangan.
  2. Meningkatnya Konflik
    Bahasa stres memperburuk konflik yang ada karena tidak ada solusi yang dihasilkan dari pola komunikasi ini. Ketika pasangan lebih fokus pada saling menyalahkan atau mengabaikan satu sama lain, masalah yang seharusnya bisa diselesaikan menjadi semakin rumit.
  3. Gangguan Kesehatan Mental
    Stres yang terus menerus dihasilkan dari konflik yang tidak terselesaikan dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, atau bahkan trauma emosional. Pasangan yang terus menerus terlibat dalam konflik emosional berat juga dapat mengalami penurunan kualitas hidup secara keseluruhan.
  4. Risiko Perpisahan atau Perceraian
    Sebagaimana yang diungkapkan oleh John Gottman, cemooh merupakan prediktor paling kuat dari perceraian. Bahasa stres, terutama jika digunakan dalam jangka panjang, dapat membuat pasangan merasa tidak dihargai dan tidak lagi nyaman dalam hubungan tersebut. Akibatnya, banyak pasangan yang akhirnya memilih untuk berpisah.

Pandangan Para Pakar tentang Bahasa Stres

Berbagai pakar komunikasi dan hubungan telah memberikan pandangan mereka tentang bahasa stres dan cara mengatasinya. Selain John Gottman, ada beberapa pakar lain yang memiliki pendekatan berbeda untuk memahami dan mengelola bahasa stres dalam hubungan pasangan.

  1. Gary Chapman dan Bahasa Cinta
    Gary Chapman, penulis buku The 5 Love Languages, memperkenalkan konsep bahasa cinta yang dapat membantu pasangan memahami cara memberikan dan menerima cinta dengan lebih baik. Menurut Chapman, salah satu alasan utama munculnya bahasa stres adalah ketidakcocokan bahasa cinta antara pasangan. Misalnya, seseorang mungkin merasa dicintai melalui kata-kata afirmasi, sementara pasangannya lebih mengutamakan tindakan nyata. Ketika bahasa cinta ini tidak dipenuhi, frustasi dan ketidakpuasan akan muncul, yang pada akhirnya memicu bahasa stres.
  2. Marshall Rosenberg dan Komunikasi Non-Kekerasan (Nonviolent Communication)
    Marshall Rosenberg adalah pendiri dari metode komunikasi yang dikenal dengan Nonviolent Communication (NVC). Dalam pendekatan ini, Rosenberg menekankan pentingnya berbicara dan mendengarkan dengan empati, serta menghindari bentuk-bentuk komunikasi yang merusak seperti kritik dan cemooh. NVC mendorong pasangan untuk mengungkapkan perasaan dan kebutuhan mereka dengan cara yang tidak menyerang, sehingga konflik dapat diselesaikan tanpa menimbulkan rasa sakit hati.
  3. Esther Perel dan Hubungan Intim dalam Ketegangan
    Esther Perel, seorang terapis hubungan yang terkenal, berpendapat bahwa konflik dan ketegangan adalah bagian alami dari setiap hubungan. Namun, yang membedakan hubungan yang sehat dari yang tidak sehat adalah bagaimana pasangan menghadapi konflik tersebut. Perel menganjurkan agar pasangan belajar untuk menerima ketegangan sebagai kesempatan untuk pertumbuhan, daripada melihatnya sebagai ancaman. Dengan menggunakan konflik sebagai momen untuk refleksi dan komunikasi yang lebih mendalam, pasangan dapat mengurangi penggunaan bahasa stres dan memperkuat hubungan mereka.
Baca juga :  Ivan Gunawan Berencana Nikahi Ayu Ting Ting di 2023, Ini Klarifikasinya

Data Statistik tentang Bahasa Stres dan Kepuasan Hubungan

Penelitian mengenai pola komunikasi dalam hubungan telah menghasilkan beberapa data penting yang menunjukkan dampak bahasa stres terhadap kualitas hubungan pasangan. Salah satu penelitian yang paling dikenal dalam bidang ini adalah yang dilakukan oleh John Gottman dan timnya di Gottman Institute. Berikut adalah beberapa temuan penting dari penelitian tersebut:

  • 69% Konflik Tidak Pernah Terselesaikan:
    Dalam penelitiannya, Gottman menemukan bahwa sebagian besar konflik dalam hubungan tidak benar-benar terselesaikan, tetapi cenderung berulang. Ini sering kali disebabkan oleh perbedaan fundamental dalam kepribadian atau nilai-nilai yang tidak bisa diubah. Pasangan yang menggunakan bahasa stres dalam menghadapi konflik ini lebih mungkin merasa terjebak dan frustasi.
  • Pasangan yang Menggunakan Bahasa Positif Lebih Bahagia:
    Penelitian lain dari Gottman Institute menunjukkan bahwa pasangan yang lebih sering menggunakan bahasa positif, seperti pujian, pengakuan, dan apresiasi, memiliki hubungan yang lebih bahagia dan bertahan lebih lama dibandingkan mereka yang sering menggunakan kritik atau cemooh.
  • Rasio 5:1 dalam Komunikasi Positif-Negatif:
    Salah satu penemuan paling terkenal dari penelitian Gottman adalah konsep rasio 5:1, yang berarti bahwa untuk setiap interaksi negatif (seperti kritik atau cemooh), pasangan yang bahagia biasanya memiliki lima interaksi positif (seperti pujian atau sentuhan kasih sayang). Ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan dalam komunikasi sehari-hari.

Solusi dan Strategi Mengatasi Bahasa Stres

Setelah memahami dampak dan istilah dalam bahasa stres, penting bagi pasangan untuk belajar cara mengurangi atau mengatasi penggunaan bahasa ini. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat membantu pasangan mengelola bahasa stres dan meningkatkan kualitas komunikasi mereka:

  1. Soft Start-up
    Salah satu teknik yang dianjurkan oleh John Gottman adalah “soft start-up”, yaitu memulai percakapan dengan lembut dan penuh empati. Daripada memulai dengan kritik, cobalah untuk menyampaikan keluhan dengan nada yang lebih lembut dan fokus pada perasaan Anda sendiri. Misalnya, daripada mengatakan, “Kamu selalu lupa!”, Anda bisa berkata, “Aku merasa kesal ketika hal ini terjadi, karena itu penting buatku.”
  2. Aktif Mendengarkan (Active Listening)
    Mendengarkan adalah kunci dalam mengatasi konflik. Namun, mendengarkan bukan hanya tentang mendengar kata-kata pasangan, tetapi juga tentang mencoba memahami perasaan dan kebutuhan mereka. Ketika pasangan merasa didengarkan dan dipahami, mereka cenderung lebih terbuka dalam berkomunikasi dan konflik dapat diselesaikan dengan lebih efektif.
  3. Mengakui dan Memvalidasi Emosi Pasangan
    Seringkali, bahasa stres muncul karena salah satu pihak merasa emosinya tidak diakui atau divalidasi. Mengakui perasaan pasangan tidak berarti Anda setuju dengan mereka, tetapi ini menunjukkan bahwa Anda peduli dan menghargai apa yang mereka rasakan. Ini bisa berupa kalimat seperti, “Aku bisa memahami kenapa kamu merasa seperti itu” atau “Perasaanmu penting buatku.”
  4. Mengatur Ulang Ekspektasi
    Pasangan sering kali memiliki ekspektasi yang tidak realistis terhadap satu sama lain, yang kemudian memicu kekecewaan dan frustrasi. Dengan mengatur ulang ekspektasi, pasangan bisa lebih menerima kelemahan masing-masing dan fokus pada kelebihan yang mereka miliki. Ini akan membantu mengurangi stres dan tekanan dalam hubungan.
  5. Menggunakan Bahasa Cinta yang Tepat
    Sebagaimana yang diajarkan oleh Gary Chapman, memahami bahasa cinta pasangan dapat sangat membantu dalam mengurangi bahasa stres. Ketika pasangan merasa dicintai dan dihargai dengan cara yang mereka pahami, kemungkinan mereka menggunakan bahasa stres dalam komunikasi akan berkurang.
Baca juga :  Perjanjian Ekstradiksi Indonesia Singapura, Adakah Menciptakan Efek Gentar

Membangun Hubungan yang Lebih Baik dengan Komunikasi yang Sehat

Bahasa stres adalah hal yang umum terjadi dalam setiap hubungan, tetapi dampaknya dapat sangat merusak jika tidak dikelola dengan baik. Dengan memahami istilah-istilah dalam bahasa stres, mengenali dampaknya pada hubungan, serta menerapkan strategi-strategi yang tepat, pasangan dapat meningkatkan kualitas komunikasi mereka dan menciptakan hubungan yang lebih harmonis.

Komunikasi yang baik bukan hanya tentang menghindari konflik, tetapi juga tentang bagaimana pasangan menghadapi dan menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat. Dengan menerapkan prinsip-prinsip dari para pakar seperti John Gottman, Gary Chapman, dan Esther Perel, pasangan dapat membangun hubungan yang lebih kuat dan lebih penuh kasih sayang.

Tinggalkan Balasan