MATRANEWS Repost BERITASENATOR.com — SEBELUM melanjutkan membaca tulisan ini, mari kita tutup mata sejenak, panjatkan doa bagi 500 nyawa yang melayang akibat terjangan tsunami dahsyat di Flores Timur, NTT tahun 1992.
Jejak Bencana pada Sebuah Nama
Hanya karena tahun 1992 belum marak media sosial, kejadian itu tidak terpublikasi luas seperti halnya tsunami Aceh tahun 2004.
Padahal, dampak tsunami begitu mengerikan, dan melekat menjadi kenangan buruk masyarakat Flores Timur hingga hari ini.
Tulisan ini terinspirasi ketika menyertai kunjungan Kepala BNPB Doni Monardo ke NTT dan NTB akhir tahun 2019.
Inspirasi datang dari seorang lelaki berusia 28 tahun. Bukan pada kulitnya yang gelap, bukan pula pada rambutnya yang ikal.
Tapi pada namanya yang unik: EMANUEL GEMPA LAKA TSUNAMI SLAMET RAHARJO.
Sontak terpikir, ini sebuah nama istimewa. Nama yang mewakili jejak bencana di daerahnya.
Nama yang diabadikan sebagai penanda saat ia lahir pada tanggal 13 Desember 1992.
Gempa dan tsunami hebat terjadi sehari sebelumnya, 12 Desember 1992.
Menguak lebih jauh ihwal “nama pencatat bencana” itu, ternyata sangat dramatis.
Terlebih ketika tragedi itu diceritakan langsung oleh orang tua Eman, yakni Ignasius Laka Liuk Maran.
Ya, Liuk Maran adalah ayah Emanuel Gempa Laka Tsunami Slamet Raharjo.
Kisah pun mengalir….
Seperti biasa, matahari mengintip bumi di pagi hari. Kokok ayam jago tidak menunjukkan kelainan.
Keluarga Liuk Maran tinggal di sebuah rumah sederhana, di Lamatutu, sebuah desa yang terletak di semenanjung Kecamatan Tanjung Bunga,
Kabupaten Flores Timur.
Ignasius Laka Liuk Maran menyambut pagi dengan segala rutinitasnya.
Sebentar ia sarapan bersama istri, Agustina Jawa Tana, dan dua anaknya. Selesai sarapan ia berpamitan pergi ke kebun.
Sehari-hari, Liuk Maran adalah petani.
Di sela-sela berkebun, ia pergi ke hutan untuk berburu, ditemani seekor
anjing setianya.
Tinggallah Agustina sang istri, dengan dua anaknya yang masih kecil, di rumah.
Di kebun, tekun ia bekerja, hingga matahari tepat di atas ubun-ubun. Itulah saat ia menghentikan kegiatan berkebun untuk makan siang.
Selesai makan siang, bekal yang dibawanya dari rumah, ia pun merebahkan badan, beristirahat barang sejenak. Jauh dari tidur lelap.
Seperti Ledakan Bom
Sekitar tiga-puluh menit, Liuk Maran bangun dan mengayun langkah ke arah pegunungan. Yang ia tuju kawasan hutan.
Ditemani anjing kesayangan, ia sampai ke wilayah hutan untuk berburu. Jika ukuran jam menjadi penting untuk dicatat, maka saat itu tidaklah jauh dari pukul 13.00.
“Tiba-tiba saya mendengar suara seperti ledakan bom. Keras menggelegar,” ujar Liuk Maran mengisahkan peristiwa 28 tahun lalu.
Suara keras disusul bumi yang bergoyang. Ia harus menjaga keseimbangan dengan susah payah, karena berada di lereng gunung.
Ditambah, ancaman bebatuan dan bendabenda lain yang bergelindingan dari atas.
“Saya berlari ke kiri dan ke kanan menghindari benda-benda yang jatuh dari
atas,” tambah lelaki berkacamata minus itu.
Tak lama berselang, goyangan bumi mereda. Hanya getargetar kecil yang terasa. Merasa kondisi sudah terkendali, ia bergegas turun hutan. Rumahlah tujuannya.
Pikirannya tertuju pada Agustina sang istri, dan dua anaknya.
Apa lacur, belum sampai menjejak rumah dari arah bawah ia melihat orang-orang beteriak sambil berlari-lari panik.
Jauh di depan sana, perkampungan tak lagi terlihat. Semua rumah sudah luluh-lantak tersapu ombak raksasa.
Bersamaan surutnya air laut, Liuk Maran bergegas ke arah rumah. Pada satu titik, ia melihat orang-orang berkerumunan di serumpun pohon bambu.
“Astaga! Ternyata mereka mengerubungi istri yang tersangkut di anak-anak pohon bambu yang menyerupai duri.”
“Istriku pingsan. Segera saya menurunkan, membersihkan, dan mengeluarkannya dari pepohonan bambu,” kisahnya.
Liuk Maran melakukan itu semua seorang diri. Orangorang yang tadi berkerumun, sudah hilang.
Rupanya, mereka pun segera menghambur ke berbagai penjuru untuk mencari
kerabatnya, orang tua mereka, anak-anak mereka.
Kerabat mereka…. mencari orang-orang terkasih.
Sedikit susah payah, Liuk Maran membopong istrinya dari daerah pantai ke arah daratan.
Agak berat ia rasa, karena istrinya memang sedang hamil tua.
Perkiraan dokter Puskesmas, satu-dua minggu lagi janin yang dikandung itu
diperkirakan lahir.
Ia tidak tahu harus membawa ke mana, karena rumahnya sudah rata tanah, tak lagi berjejak. Tak lama, istrinya sadar dan mengerang kesakitan. Liuk Maran panik bukan kepalang.
Senja kelabu. Semua orang hiruk-pikuk berlarian.
Terdengar orang-orang berteriak di ujung sana. Sebentar kemudian, terdengar teriakan dari arah berbeda.
Jeda teriakan, terdengar tangis histeris sperempuan.
Lalu, tangis meraungraung seorang bapak yang mendapati anaknya sudah jadi
mayat.
Kepala Liuk Maran seperti berputar sekencang-kencangnya, mengitari erang tangis kesakitan sang istri yang hamil tua dan keporakporandaan keadaan.
“Maaf, saya sulit menggambarkan perasaaan hati. Saya shock sekaligus panik melihat keadaan yang mendadak kacau.”
“Tak pernah sedikit pun membayangkan akan mengalami peristiwa seperti itu. Di hadapan saya istri mengerang kesakitan.
Sebagian pikiran saya tertuju pada dua anak saya yang entah di mana. Haruskah aku tinggalkan istriku agar bisa mencari anak-anak?
Atau haruskah aku berdiam di sisi istriku, sementara aku tak tahu nasib kedua anakku?”
Katanya dalam nada prihatin.
Dalam pikiran dan perasaan kalut, sempat muncul bisikan iblis yang menyuruhnya pergi ke ladang.
Buat galian yang dalam. Bawa istri masuk ke lubang itu. Masukkan jerami, ranting, dan daun kering. Masukklah ke dalam lubang.
Peluk sang istri. Dan… bakarlah!!!
“Sungguh… akal sehat tidak ada lagi. Yang ada hanya rencana mau mati habis,” kata Liuk Maran, kali ini dengan nada lirih.
Dalam kalut, matahari pun tertutup kabut. Tak tahu lagi kapan sang surya hilang dari cakrawala.
Liuk Maran hanya tahu, keadaan sudah gelap pertanda malam sudah datang.
Suasana di kampung Lamatutu tidak sepikuk sore tadi.
Hanya sesekali terdengar tangis seseorang. Dalam samar, lamatlamat ia bisa melihat para pria kian-kemari mencari entah apa yang dicari.
Berusaha entah apa yang diusahakan. Tendangan si Jabang Bayi Sang istri masih merintih dan menangis.
Panik ini masih juga menyergap perasaan. Harus ke mana meminta pertolongan. Harus pergi ke siapa memohon bantuan.
Bukankah semua orang berduka? Bukankah semua orang tertimpa bencana?
Perlahan Ignasius Laka Liuk Maran meraba perut sang istri.
Seperti tersentak dari lamunan buruk, kaki si jabang bayi menendang-nendang perut sang ibu.
Ia bisa merasakan dengan jelas. “Seketika sirna bayangan gila untuk bunuh diri
bersama.’
Tendangan si jabang bayi seperti menyuntikkan nyawa dan tekad, bahwa saya harus hidup. Istri saya harus hidup. Anak saya harus lahir selamat,” katanya bersemangat.
Malam makin larut. Lelah pun mengantar keduanya lelap.
Liuk Maran tak tahu lagi apa yang terjadi malam itu, hingga ia terbangun pagi harinya, bersamaan munculnya matahari.
Belum sempat ia berbuat sesuatu untuk istri dan dirinya, kepanikan segera menyergap demi melihat sang istri kembali mengerang kesakitan.
Instingnya sebagai manusia menuntun Liuk Maran menjadi “dukun bayi” bagi istrinya, demi kelahiran sang janin buah cintanya.
Berpikir mencari bantuan, adalah kesia-siaan dalam situasi chaos. Teguh hati ia membimbing Agustina melalui proses persalinan, sebuah proses antara hidup-dan mati bagi seorang perempuan.
Pecah tangis bayi merah, menandai selesainya proses persalinan darurat di pagi itu. Ia segera membungkus si jabang bayi dengan daun pisang.
“Yang terpikir hanya membungkus bayi dengan daun pisang. Kami tak punya apa-apa lagi. Baju pun hanya yang melekat di badan,” ujarnya.
Satu soal sudah selesai. Sedikit rasa lega membuka kesempitan ruang di dada Liuk Maran.
Sedikit membuka akal sehatnya. Seketika ia teringat nasib dua anaknya.
“Setelah persalinan. Bayi berbungkus daun pisang saya serahkan ke istri. Saya kasih bicara kepada istri dan anak yang baru lahir, ‘kamu mau mati atau hidup, tetap di sini jangan pernah kemana-mana’,” usai berkata begitu, ia menghambur ke arah pantai, guna mencari dua anaknya.
Tak jauh dari bibir pantai, ia melihat sosok anak tergeletak.
Ia berlari menghampiri…. Satu anaknya berhasil ia temukan, dalam keadaan sudah tidak bernyawa.
Ia bopong jazad anaknya ke arah istri dan anak yang baru lahir. Setelah meletakkan jazad sang anak, ia bergegas lari turun mencari anak yang satu lagi.
Satu jam, dua jam, tiga jam… tak ada tanda-tanda. Ia menuju satu semenanjang ke semenanjung yang lain.
Tak juga ditemui jazad satu anaknya yang lain. Dan, ketika hari mulai gelap, gontai langkah Liuk Maran kembali ke istri, bayi yang baru lahir, dan satu jenazah anaknya.
Keesokan harinya, hari ketiga setelah kejadian tampak tangan-tangan dermawan terulur ke Desa Lamatutu, semenanjung Kecamatan Tanjung Bunga.
Sejauh itu, bantuan belum terulur ke keluarga Liuk Maran. “Sudah habis sebelum
sampai ke tempat saya,” katanya.
Apalagi, akses jalan terputus, sehingga sangat sulit menjangkau Lamatutu, kecuali dengan kapal motor. Sedangkan, ombak masih lumayan besar.
Apa lacur, seminggu setelah kejadian, sehelai baju pun belum sampai ke keluarganya. Mereka masih memakai baju yang sama yang dikenakan saat musibah terjadi.
Bak pasukan malaikat, atau laksana sekelompok dewa penolong, manakala pasukan ABRI (TNI) berhasil menerobos medan dan masuk hingga ke Desa Lamatutu.
“Anak-anak ABRI dari Jawa datang memberi bantuan. Merekalah yang bekerja keras membuka lahan, membuka ladang, membuat permukiman baru. Saya yang sedikit bisa berbahasa Jawa,
jadi cepat akrab dengan para tentara itu,” katanya antusias.
Meski belum bisa dibilang layak, setidaknya Liuk Maran, Agustina, dan si jabang bayi sudah bisa dikatakan berhasil melalui masa kritis, dan hidup lebih baik.
Bisa berganti baju dan mengisi perut. “Tuhan memberkati istri saya, sehingga bayi kami tercukupi oleh air susu ibunya,” ujar sang ayah.
Tibalah satu hari, di saat senggang waktu, para prajurit bertandang ke rumahnya.
Tentu saja, di tengah basa-basi, topik lahirnya bayi yang begitu dramatis, menjadi bagian dari obrolan mereka.
“Emanual Gempa Lagamaran,” ujar Liuk Maran, menyebut nama anaknya yang baru berumur kurang lebih sebulan.
Usulan ABRI dari Jawa
Salah seorang prajurit lalu menukas, “Usul bapa… tambahkan nama Tsunami Slamet Raharjo pada nama anak bapa.”
Si prajurit itu menjelaskan, bahwa yang terjadi bukan hanya gempa, tetapi juga tsunami. Dijelaskan pula apa itu tsunami, yakni gelombang tinggi. Sedangkan kata “slamet” artinya
“selamat”, sedangkan kata “raharjo” artinya sejahtera.
Liuk Maran merasa usulan itu sebagai usulan yang baik, sekaligus ia anggap sebagai penghargaan sekaligus restu “anak-anak ABRI dari Jawa” kepada anaknya.
Maka, ia pun mengubah, atau tepatnya menambah nama anaknya menjadi Emanuel Gempa Laka Tsunami Slamet Raharjo.
Emanuel diambil dari bahasa Ibrani yang artinya “Allah beserta kita”.
Gempa, menggambarkan gempa bumi yang terjadi saat kelahirannya.
Laka, adalah petikan nama sang ayah (Ignasius Laka Liuk Maran). Dalam bahasa lokal, Laka berarti kerusakan.
Tsunami, gelombang tinggi yang terjadi pasca gempa, jelang kelahirannya.
Slamet, artinya selamat.
Raharjo, artinya sejahtera.
Sebuah nama yang sarat makna. Bukan saja nama sebagai pencatat bencana, tetapi juga penuh doa dan restu.
“Itulah keseluruhan nama anak saya. Tidak boleh ada yang hilang satu kata pun. Biar saja panjang namanya.”
“Karena ia memang menyimpan kenangan panjang,” kata Liuk Maran tersenyum.
Anak yang dibicarakan, tampak duduk serius mendengarkan bapaknya menceritakan riwayat namanya.
Di sebelahnya, duduk ibunda tercinta.
Kini, Emanuel Gempa Laka Tsunami Slamet Raharjo sudah menginjak usia 28 tahun.
Ia menamatkan SD, SMP Negeri 1, dan SMA Negeri 1 di Tanjung Bunga Flores
Timur.
Sayang memang, Eman, panggilan akrabnya, tidak melanjutkan ke jenjang
perguruan tinggi.
Berbekal ijazah SMA, ia kini –setidaknya—sudah bisa menjadi pejabat desa.
Jabatannya, Kaur Umum Desa Lamatutu.
Sedangkan, Kepala Desa Lamatutu kini dijabat oleh Sebastianus Pehu Koten. Ia pun
masih bisa mengingat peristiwa itu dengan jelas.
Bahkan pak Kades yang menjabat untuk periode 2015 – 2021 itu mengisahkan, hingga hari ini ada masyarakat di desanya yang trauma pada ombak laut.
Sebastianus mengisah-kan, tahun 1992 saat gempa dan tsunami dahsyat meluluhlantakkan Flores Timur, Desa Lamatutu dipimpin oleh seorang Kades muda yang masih
bujang.
Sebagai Kades, tentu saja ia menjadi “bapak desa”.
Konsekuensinya, ia menjadi bapak dari rakyatnya yang dihantam bencana.
Kades pun stres.
Bukan saja karena sama-sama kehilangan banyak anggota keluarga tersapu tsunami, tetapi ia juga kebingungan mendapati rakyatnya menumpahkan semua persoalan kepada dia sebagai “bapak desa”.
Ia depresi hebat.
“Beliau sampai sekarang masih kaku dan tidak nyaman kalau diwawancarai seputar bencana tsunami tahun 1992,” ujar Kepala Desa Sebastianus Pehu Koten.
Mengikuti proses regulasi dan aturan baru dalam perekrutan perangkat desa, akhirnya Sebastianus Pehu Koten merekrut Emanuel Gempa Laka Tsunami Slamet Raharjo membantunya sebagai aparat Desa dengan jabatan Kepala
Urusan Umum (Kaur Umum).
“Benar, saya yang merekrut Emanuel Gempa menjadi perangkat desa,” ujar Sebastianus.
Ditambahkan, dari sekitar 500 korban meninggal dunia pada peristiwa 1992, sejumlah 148 korban di antaranya adalah warga Desa Lamatutu.
“Entah berapa mayat yang urus waktu itu. Untuk mengambil air bersih guna memandikan jenazahjenazah, saya dan warga lain harus berjalan setengah kilo bolak-balik,” ujar Sebastianus mengenang kejadian saat itu.
Saat ditanya, bangsa Indonesia baru akrab dengan kata tsunami kurang lebih tahun 2004, pasca tsunami Aceh.
Tetapi, ternyata sudah ada penduduk Indonesia memakai nama tsunami, yang lahir tahun 1992.
Kades Sebastianus tanpa ragu mengatakan, istilah tsunami sudah akrab di telinga masyarakat Flores Timur.
Sebab, tiga hari pasca tsunami, datang tiga peneliti Jepang melakukan survei di sana. Mereka adalah Prof Yoshiaki Kawata, Prof Tsujii, dan Prof F. Imamura.
“Dan jangan salah, tahun 1992, majalah Tempo dan koran Kompas sudah memasang istilah tsunami, dari hasil wawancara dengan para peneliti tadi.”
“Setahu saya, para wartawan lokal maupun yang datang dari ibukota dan kota-kota
lain ke sini, mendapat brief yang cukup dari para peneliti Jepang tentang tsunami. Tapi memang, publikasi tentang kebencanaan saat itu sangat minim, di samping belum ada
media sosial,” papar Kades Sebastianus.
Begitulah. ***
BACA JUGA: Majalah MATRA edisi Desember 2021