Pamor Kejaksaan menguat di mata masyarakat, tatkala berani menguak peristiwa sepuluh tahun lalu. Perihal asuransi tertua di Indonesia mengalami masalah. Sempat terjadi pembelokan isu, yang membuat mantan presiden SBY mengklarifikasi.
Kerja Keras Kejaksaan RI Menyelamatkan Keuangan Negara
Penegakan hukum tidak boleh berhenti karena cuaca dan masalah apapun. Sebab sebagaimana dalam adagium hukum, keadilan harus tetap tegak biarpun langit runtuh.
Demikian pujian Pakar Hukum Pidana Abdul Ficar Hadjar terkait dengan kinerja Kejaksaaan Agung di bawah komando Jaksa Agung ST Burhanuddin yang terus memeriksa saksi-saksi untuk membongkar skandal Jiwasraya.
Walau relatif rumit dan memerlukan kecermatan dalam membongkar dan membuktikan terjadinya kasus tindak pidana korupsi Jiwasraya, yang investasi yang diduga merugikan negara hingga trilyunan rupiah.
PT Dana Wibawa Managemen Investasi, atau PT PAN Arcadia Capital, PT OSO Manajemen Investasi, PT Pinacle Persada Investama, PT Milenium Dana Tama, PT Prospera Asset Management, dan PT MNC Asset Management. Kemudian, Kejaksaan Agung juga menetapkan status tersangka kepada PT Maybank Asset Management, PT GAP Capital, PT Jasa Capital Asse Management, PT Pool Advista Management, PT Corvina Capital, PT Treasure Fund Investama, dan PT Sinar Mas Asset Management.
Kejagung dalam membongkar kasus Jiwasaya sejak 17 Desember 2019.
Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah bekerja secara marathon dan hampir setiap hari memeriksa saksi, ahli dan tersangka.
Juga melakukan penggeledahan dan penyitaan hingga akhirnya mengajukan perhitungan kerugian keuangan negara ke Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dan ditemukan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp16,81 Triliun.
Berkas perkara para tersangka pun telah lengkap dan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Masing-masing atas nama terdakwa Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, Syahmirwan, Heru Hidayat dan Beny Tjokrosaputro.Masing-masing pelaku melakukan suatu perbuatan yang mempunyai hubungan dengan pelaku yang lain sedemikian rupa yang semuanya itu memenuhi unsur tindak pidana.
“Ada itikad jahat yang dilakukan secara bersama-sama,” kata Profesor Mudzakir Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, saat memberikan pendapat sebagai saksi ahli di persidangan lanjutan Jiwasraya secara daring, Rabu (16/9/2020).
ST Burhanuddin Terlalu Berani, Malah Mendapat Serangan Balik
Rumors Jaksa Agung RI akan di ressufle kencang. Gedung Kejaksaan hangus. Disebut, ST punya gundik dan sebagainya.
Menjadi sosok yang familiar tatkala kasus Asuransi Jiwaraya ditelisik.
Jaksa Agung S Burhanuddin tenang, justru meminta masyarakat dan lembaga swadaya memantau persidangan dugaan korupsi dan pencucian uang (TPPU) yang dialami PT Asuransi Jiwasraya.
Burhanuddin mengatakan, Kejaksaan Agung (Kejakgung) sudah menuntaskan penyidikan, dan pemberkasan.
Kini, kasus tersebut, kata dia, penanganannya berada di wilayah pembuktian hukum, setelah Kejakgung mengajukan para tersangka ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta Pusat.
Pria kelahiran Cirebon, 17 Juli 1954 itu tak main-main untuk terus membongkar kasus korupsi. Bahkan, Jaksa Agung ST Burhanuddin memastikan bahwa penelisikan kasus ini terus berkembang.
Ia memastikan Kejaksan Agung akan terus mengejar untuk mengembalikan kerugian negara.
Menurut dia, aset-aset para tersangka yang telah disita tim penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung nilainya mencapai Rp 13,1 triliun, sedangkan perhitungan BPK Rp 16,9 triliun.
ST Burhanuddin juga memastikan sampai kapan pun akan mengejar dan mencari harta-harta atau aset-aset dari para tersangka dalam rangka pengembalian kerugian negara sebesar Rp 16,9 triliun.
Kasus lanjutan skandal Asuransi Jiwasraya memasuki jilid dua.
Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai bahwa dalam kasus Jiwasraya dan Asabri, langkah Kejagung patut diapresiasi.
Benny Tjokro dalam sidang terdahulu sempat membuka kartu, taipan kakap pasar modal dan property, dalam sidangnya menyebut nama Grup B, mantan ketua partai G yang berada dalam kasus Asuransi Jiwasraya.
“Nyanyian” ini diungkapkan Benny sebelum menjalani sidang dengan agenda putusan di PN Jakpus, Rabu (24/6). Benny yang tengah duduk di kursi pengunjung sidang mengklaim, dirinya hanya kambing hitam atau tumbal dalam kasus itu.
Kasus Jiwasraya ini ibarat sebuah “puncak dari gunung es”.
Nampak kecil di atas permukaan, ternyata besar yang tidak kelihatan. Kalau secara kumulatif kerugian negara mencapai jumlah puluhan triliun, sebenarnya itu sudah tergolong krisis besar.
Sangat bisa bersifat sistemik, terstruktur dan masif. Barangkali tidak keliru apa yang dikatakan oleh BPK bahwa krisis keuangan Jiwasraya ini bersifat sistemik dan “gigantic”.
Yang menjadi korban, peserta asuransi di korporat tersebut. Bahkan, “korban” Jiwasraya juga berasal dari negara lain (Korea Selatan) sebanyak 474 nasabah dengan nilai 574 miliar rupiah.
Skema Ponzi di Asuransi Jiwasraya
Hiruk-pikuk “bail-out” Asuransi Jiwasaya, disebut karena polis JS Saving Plan. Dari sidang pengadilan, kasus gagal bayar Jiwasraya menurut Saksi ahli sekaligus Pakar Asuransi Irvan Rahardjo.
Jebloknya kinerja Jiwasraya hingga akhir 2019 lalu hingga memiliki utang Rp 52 triliun karena adanya produk JS Saving Plan.
Menurutnya dengan janji imbal hasil pasti di angka 9 persen hingga 13 persen, penerbitan JS Saving Plan oleh manajemen lama Jiwasraya menambah beban kinerja keuangan.
“Memang berizin dan boleh dalam aturan, tapi dalam prinsip asuransi itu tidak patut dilakukan. Asuransi itu bukan manajer investasi, tapi manajer risiko,” ujar Irvan menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Selain imbal hasil tinggi, lanjutnya, faktor yang menghancurkan kinerja keuangan Jiwasraya dari penerbitan JS Saving Plan juga karena ini akhirnya menjadi produk berskema ponzi atau gali lubang tutup lubang.
Dia menambahkan, skema ponzi dalam JS Saving Plan terjadi karena kinerja pengelolaan investasi Jiwasraya tidak mampu menutup tingginya janji imbal hasil.
Sampai akhirnya di satu titik, Jiwasraya sudah tidak mampu membayar pokok dan bunga investasi yang ditanam nasabah sampai saat ini.
Ini juga terjadi di lembaga asuransi atau menyangkut dana pensiun di lembaga-lembaga yang lain. Misalnya jika ternyata juga terjadi di Asabri yang katanya potensi kerugiannya mencapai 10 hingga 16 triliun rupiah.
Atau juga jika terjadi di PT. Taspen yang diinformasikan memiliki pertumbuhan investasi saham minus 23% dalam dua tahun terakhir.
Benarkah jebolnya keuangan di BUMN ini karena penempatan (placement) dana investasi perusahaan pada saham-saham yang berkinerja buruk?
Penempatan dana perusahaan yang ceroboh dan keliru ini disengaja atau tidak? Apakah memang penempatan dana korporat yang salah ini disengaja karena ada yang ingin mengambil keuntungan secara pribadi?
Nama Baru Dalam Mega Skandal Korupsi Jiwasraya
Mengenai dugaan keterlibatan Erick Thohir dalam mega skandal korupsi Jiwasraya pertama kali dilontarkan oleh politikus Partai Demokrat, Andi Arief dan politikus Partai Gerindra, Arief Puyuono melalui akun Twitternya.
Ada data, 23 Januari 2014, Jiwasraya dipastikan membeli saham perusahaan milik Erick Thohir, PT Mahaka Media Group (Tbk) dengan kode emiten ABBA. Nilai pembelian mencapai Rp 14,9 Miliar yang mana harga per lembar sahamnya Rp 95.
Tanggal 17 Desember 2014, Jiwasraya melepasnya dengan harga Rp 114 per lembar saham. Penjualan tahap dua dilakukan pada keesokan harinya dengan harga Rp 112 per lembar saham.
Dari penjualan ini, Jiwasraya mengklaim memperoleh keuntungan sebesar Rp 2,8 Miliar atau setara 18 persen. Satu hal yang menjadi pertanyaan, jika memang Jiwasraya diuntungkan melalui “saham gorengan” ini, kenapa investasi tidak dilanjutkan dan hanya dilakukan sekali?
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari sumber yang bisa dipercaya, Harry Prasetyo diduga sengaja direkrut (sebagai tim KSP 2018 hingga Oktober 2019) berkaitan dengan kepentingan Pemilu 2019 yang lalu sebagai pundi-pundi uang. Agar mister M, jadi wakil Jokowi.
Rumor & Desas-Desus Berkembang.
Menyasar ke sana ke mari. Fakta dan opini bercampur aduk. Terkadang tak mudah membedakan mana berita yang benar, dan mana yang “hoax” dan fitnah.
Awal Januari 2020, isu Jiwasraya makin ramai dibicarakan. Ditambah dengan isu Asabri. Bisik-bisik, sejumlah lembaga asuransi dan BUMN lain, konon juga memiliki permasalahan keuangan yang serius.
Di kalangan DPR RI mulai dibicarakan desakan untuk membentuk Pansus. Tujuannya agar kasus besar Jiwasraya bisa diselidiki dan diselesaikan secara tuntas.
Bahkan, menurut sejumlah anggota DPR RI dari Partai Demokrat, yang menggebu-gebu untuk membentuk Pansus juga dari kalangan partai-partai koalisi.
Tentu ini menarik. Meskipun belakangan diketahui bahwa koalisi pendukung pemerintah lebih memilih Panja. Bukan Pansus.
Masyarakat Tak Ngeh beda Pansus dan Panja.
Dalam kasus Jiwasraya ini bertebar “mainan”.
Menteri BUMN yang lama, Rini Sumarno harus kena. Menteri yang sekarang Erick Thohir harus diganti. Menteri Keuangan Sri Mulyani harus bertanggung jawab. Presiden Jokowi juga harus dikaitkan.
Situasi mirip pasca Pemilu 2009, dunia politik digaduhkan oleh isu “bail-out” Bank Century. Kala nama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan juga mantan Gubernur BI, Wakil Presiden Boediono “diseret-seret”.
Rumor dan berita yang dibangun juga tak kalah seramnya. Diisukan jumlah dana 6,7 triliun dalam penyelamatan Bank Century semuanya mengalir ke Tim Sukses SBY dalam Pilpres 2009. Termasuk para petinggi Partai Demokrat.
“Bail-out” pada Bank Century menjadi sejarah keputusan yang harus diambil. Sejarah menunjukkan bahwa setelah itu Indonesia selamat dari krisis. Pertumbuhan ekonomi kita hanya sempat turun satu tahun, dari 6% di tahun 2008, menjadi 4,6% di tahun 2009.
SBY Klarifikasi ke Jokowi
“Pasang surut keadaan keuangan perusahaan, sehat-tidak sehat, boleh dikata lumrah. Namun, ketika dalam perkembangannya saya ketahui angka kerugiannya mencapai 13 triliun rupiah lebih, saya mulai tertarik untuk mengikutinya. Ini cukup serius,” tutur mantan Presiden SBY.
Ketika Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan bahwa permasalahan Jiwasraya sudah terjadi sejak 10 tahun lalu, maka SBY menguak cerita dengan runut.
Masalah Jiwasraya Bermula Tahun 2006, Jebolnya Tiga Tahun Terakhir.
“Dulu saya tak pernah dilapori bahwa terjadi krisis keuangan yang serius di PT. Jiwasraya,” demikian SBY bersaksi yang menyesalkan ketika mulai dibangun opini, dan makin kencang, bahwa seolah tidak ada kesalahan pada masa pemerintahan sekarang ini, dan yang salah adalah pemerintahan SBY.
“Saya mulai bertanya… apa yang terjadi? Kenapa isunya dibelokkan? Kenapa dengan cepat dan mudah menyalahkan pemerintahan saya lagi? Padahal, saya tahu bahwa krisis besar, atau jebolnya keuangan Jiwasraya ini terjadi 3 tahun terakhir,” tutur SBY.
Karenanya, di hadapan staf dan beberapa SBY bertutur soal krisis keuangan Jiwasraya, yang telah menjadi pembicaraan dan perhatian rakyat Indonesia. Kegaduhan politik terjadi. Termasuk di kalangan parlemen, wakil rakyat.
Ia berpendapat DPR RI lebih tepat menggunakan hak angket agar penyelidikan dapat dilaksanakan secara menyeluruh.
Anggota Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan mengatakan, pihaknya berhak memanggil siapapun terkaat masalah dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya, terlebih jika itu untuk penanganan hukum dan pengembalian kerugian negara.
Menurutnya, bukan tidak mungkin komisi yang terkait hukum itu untuk memanggil Pricewaterhouse Cooper (PWC) soal dugaan manipulasi pencatatan keuangan, atau melakukan window dressing.
“Intinya semua yang terlibat harus didalami. Termasuk temuan PWC, bisa juga kita panggil,” kata Trimedya yang menyebut PWC memberikan opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan asuransi persero itu.
Intinya, menurut Trimedya, pihaknya meminta Kejaksaan Agung untuk tidak berhenti pada nama-nama yang tengah disidang menjadi terdakwa atas kasus yang ditaksir merugikan negara nyaris Rp18 triliun itu.
Pada Agustus 2018, Menteri BUMN Rini Soemarno mengumpulkan direksi untuk mendalami potensi gagal bayar perseroan. Ia juga meminta BPK dan BPKP untuk melakukan audit investigasi terhadap Jiwasraya.
Di Oktober 2018, perseroan gagal membayar polis JS Saving Plan sebesar Rp802 miliar.
Pada bulan yang sama, pemegang saham menunjuk Hexana Tri Sasongko sebagai direktur utama Jiwasraya. Ia menggantikan posisi Asmawi. Selanjutnya, pada Juni 2019, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mulai mendalami kasus Jiwasraya.
Pada Desember 2019, Kejaksaan Agung mengambil alih penanganan kasus Jiwasraya indikasi korupsi direksi lama, 13 manajer investasi dan mafia pasar modal dengan kerugian negara mencapai Rp13,7 triliun.
Gara-garanya, saham-saham yang ditempatkan di Jiwasraya cukup besar pada saham-saham yang tidak likuid seperti PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM), nilainya di atas Rp 2 triliun. Saham PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP), di atas Rp 1 triliun. Sedangkan emiten lainnya adalah PT Pool Advista Indonesia Tbk (POOL), PT Semen Baturaja (Persero) Tbk (SMBR), PT Alfa Energi Investama Tbk (FIRE), dan PT SMR Utama (SMRU).
Jaksa Agung telah melakukan investigasi siapa saja yang menyebabkan jebolnya keuangan BUMN tersebut. Ada info yang belum dikonfirmasi, soal aktor intelektual yang bekerja “di belakang. Termasuk ada uang yang mengalir dan digunakan untuk dana politik (pemilu).
Saat Gedung Kejaksaan musnah terbakar.
Jaksa Agung Burhanudin dan Kapuspenkum Hari Setiyono menegaskan, dokumen perkara aman. Yang terbakar adalah data kepegawaian, perencanaan, keuangan, dan intelijen yang hard copy,
ST Burhanudin sejak awal menjabat sudah mendorong persuratan menuju paperless. Intinya telah dilakukan digitalisasi persuratan. Kasus di dua menteri BUMN dan Dua Presiden sedang sidang. Uhuy!