Budaya  

Sketsa Hidup

Hidup

Seorang penyair dijebak hidup. Ia terpaksa mencipta puisi puji-puja bagi seorang tokoh konglomerat yang suka menggusur tanah rakyat.

Padahal ia tahu si tokoh sungguh tak patut menerima pujian. Tapi tak adil pilihan lain.

Sesudah diawali dengan pengantar yang puitis (padahal itu hanya upaya mengais-ngais pembenaran), ia kemudian mendeklamasikan syair-syair. Ia memuji habis-habisan. Sesudah itu perut terisi dan untuk sementara hidup keluarganya terjamin.

Seorang pelukis, mempercantik wajah si pemesan potert diri. Demi hidup ia terpaksa melakukan hal itu, meski ia tahu wajah asli si pemesan jauh lebih buruk dari hasil lukisannya.

Di bawah todongan kekuasaan, demi rasa aman, adakah jalan lain untuk menghindari?

Hidup ini sangat kejam. Lagi pula, perut tak pernah sudi menunggu.

Seorang pencipta lagu mengangungkan tokoh lewat nyanyian. Tak ada orang lain seagung tokoh itu, demikian bunyi larik-larik lagu yang ditulisnya.

Tapi, ketika tokoh “agung” itu mati dan dibenci banyak orang, lalu muncul tokoh “agung” lain sebagai pengganti, dengan sigab ia mencipta lagu baru. Sudah lahir tokoh yang lebih agung lagi, demikian bunyi lirik lagu barunya.

Si pencipta lagu itu pun bisa tetap berdiri dipuncak, bertahan hidup, dan disenangi banyak orang. Hingga kini.

Dengan gagah perkasa, seorang politikus berkata. “Tidak! Tidak!” Tapi jangan lupa, itu dia ucapkan minggu lalu. Kini semua tahu, kemarin mendadak ia berkata, “Ya, ya, ya….” Dan ia pun batal disingkirkan.

Si Itu menolak nama. Padahal demi kepentingan tertentu dan lewat bawah meja ia mengantongi berpuluh nama. Si Anu tak butuh podium.

Tapi, lewat cara-cara diplomatis ia selalu berusaha berdiri di depan podium, fasih memanfaatkan momen. Makin lama berdiri di podium, semakin syur. Waktu dan kesempatan seakan sudah di genggaman. Jangan, jangan ada orang lain mendampingi sendiri…

Si Polan membenci uang hasil bisnis tak etis. Padahal lewat cara-cara tersembunyi ia gemar makan habis potongan kue yang sesungguhnya tak berhak ia lahap.

Dan akan terbit kemarahan jika ia disebut pedagang. “Bukan, aku tulen pejuang!” katanya. Impian di tangan kanan, bisnis di tangan kiri. Keduanya sama penting.

Di tengah keheningan, ada yang berkata lantang, “Aku berani menentang arus!” Tapi ketika tiba saatnya arus menyerbu, ia segera memohon orang lain untuk berkiprah maju.

Mendadak, ia cuma mampu menduduki kursi dan porsi seorang penasihat.

Inilah kaderisasi, katanya bersemangat. Meski begitu, gertakanya tetap mampu membikin langit bergetar. Lalu curiganya muncul ketika ada yang kurang sependapat. “Kamu, hei!” Begitulah. Dan hidup terus mengalir.

Dua sisi tetap berdampingan, selalu tarik-menarik. Perbedaan kepentingan bisa menerbitkan peluang untuk berbenturan. Dia marah karena mencinta. Dia melangkah karena ingin diam. Dia berhenti padahal sesungguhnya sedang bergerak.

Perkataanya membentengi diri dan menciptakan citra tertentu. Tapi perbuatannya sangat bertolak belakang dengan kata-kata dari mulutnya.

Hidup membuat ia terpaksa melancong ke banyak tempat dalam satu saat. Jangan tanyakan bagaimana caranya. Rumit jika dipecahkan dengan rumus teori. Yang penting, orang melihat kenyataannya.

Sungguh, hidup ternyata penuh kejadian yang memberitahukan adanya keterbalikan kenyataan. Kita sering terjepit dan bengong. Contoh konkretnya banyak, sangat banyak.

Yang tragis, terkadang kita jadi penonton tapi tak jarang malah ikut aktif bermain. Dan jadi korban. Luar biasa.

baca juga: majalah MATRA edisi cetak — klik ini —

Tinggalkan Balasan